Bulan Juli sekarang nyaris ’dirayakan’ sebagai peringatan satu dekade pascakrisis ekonomi di Asia (Timur). Tentu saja, perayaan ini bukan dimaknai untuk mengenang kegembiraan atas peristiwa yang pernah berlangsung, melainkan diartikan sebagai cara untuk mencegah agar peristiwa menyedihkan itu tidak terulang lagi. Para ekonom, pelaku bisnis, pemerintah, dan sebagian masyarakat pasti ingat, pada Juli 1997 kehidupan ekonomi tiba-tiba menjadi gelap padahal sebelum itu semuanya seperti berjalan di jalur yang benar. Di Thailand, Malaysia, Filipina, Korsel, dan Indonesia (sekadar menyebut sebagian negara di Asia) perekonomian tumbuh dengan pesat dan jumlah penduduk miskin berkurang drastis. Pendeknya, pembangunan ekonomi yang telah dijalankan sekitar 30 tahun sudah berada di jalur yang benar. Pertanyaannya, bagaimana krisis ekonomi saat itu terjadi dan antisipasi kebijakan seperti apa yang mesti dipersiapkan agar kejadian itu tidak terulang?
Liberalisasi Pasar Modal
Secara empiris, krisis ekonomi 1997 diawali oleh terdepresiasinya mata uang bath (Thailand) yang kemudian menyebar hingga ke Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Korsel (empat negara selain Thailand yang paling pernah krisis ekonominya). Jadi, terdapat kesepakatan bahwa krisis ekonomi tersebut dipicu dari sisi moneter (monetary side). Beberapa kaum monetaris menganggap saat itu sebagian mata uang negara-negara Asia ’over-valued’ terhadap dolar AS sehingga menjadi sasaran empuk para spekulan (hedge funds). Salah satu tanda mata uang itu terlalu tinggi terhadap dolar bisa dilacak dari tingkat kompetisi komoditas yang rendah di pasar internasional sehingga neraca perdagangan cenderung defisit (implikasinya cadangan devisa sangat rendah). Dengan cermat, para spekulan paham bahwa di sebagian negara Asia ekonominya ditandai oleh dua hal: cadangan devisa yang mepet dan utang luar negeri yang bejibun (baik pemerintah maupun korporasi swasta).
Situasi itulah yang dibidik oleh para spekulan untuk mengeruk laba dengan cara mengobok-obok ekonomi negara berkembang. Tapi, sebetulnya sebagian argumentasi lainnya bisa dilihat dari sudut yang lain. Seperti diungkapkan oleh Stiglitz (2007), negara-negara yang parah diterjang krisis ekonomi paling tidak ditandai oleh hal. Pertama, liberalisasi pasar modal (capital market liberalization). Liberalisasi inilah yang membuka pintu lebar-lebar bagi hilir mudiknya ’uang panas’ (hot money) di negara-negara berkembang. Modal panas ini tidak bersinggungan dengan sektor riil dan dengan cepat keluar dari suatu negara begitu ada insentif yang lebih besar di negara lain. Kedua, runtuhnya kredibilitas lembaga keuangan internasional (seperti IMF) sebagai desainer untuk memperkuat stabilitas global dan mempromosikan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Celakanya lagi, beberapa konsep yang mereka sodorkan justru kontraproduktif, misalnya kebijakan uang ketat dan likuidasi bank.
Restriksi Liberalisasi
Pendalaman krisis ekonomi tahun 1997 juga dirasakan di Indonesia, bahkan sebagian getarannya dapat dirasakan hingga kini. Majalah Asiaweek (17/7/1998) mencatat setidaknya terdapat lima perkembangan yang mengkhawatirkan di sisi moneter saat krisis ekonomi terjadi: (i) nilai mata uang rupiah sudah merosot mencapai 83,2 terhadap dolar sejak krisis pertama kali menyerang pada bulan Juli 1997 (terbesar dibanding negara lainnya yang juga mengalami krisis); (ii) indeks saham turun cukup besar walaupun kondisinya tidak terlampau parah dibandingkan dengan negara lain; (iii) nilai kapitalisasi pasar turun paling tinggi mencapai angka 88%, yang sesungguh¬nya ini mendeskripsikan bahwa perusahaan-perusahaan telah “mati”; (iv) tingkat suku bunga meroket mencapai 65% pada tahun 1998 akibat kebijakan uang ketat; dan (v) neraca modal selalu defisit, di mana penyumbang defisit terbesar berasal dari sektor swasta, khususnya repatriasi laba dari penanaman modal asing.
Setelah melalui beberapa terapi lewat serangkaian kebijakan ekonomi yang (tidak selamanya) konsisten, akhirnya sedikit demi sedikit stabilitas makroekonomi Indonesia membaik. Sekurangnya hal itu bisa dilihat dari indikator pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, stabilitas mata uang, dan inflasi. Namun, sesungguhnya di balik kinerja makro yang bagus itu masih terdapat beberapa hal lain yang merisaukan. Pertama, jumlah utang luar negeri memang terus berkurang setiap tahunnya, tapi jumlah utang domestik (baik dalam wujud surat utang negara/SUN, obligasi, dan SBI) terus meningkat. Celakanya, sebagian surat utang itu dibeli oleh asing, misalnya melalui instrumen SUN. Kedua, pertumbuhan ekonomi lebih banyak dipicu oleh sektor keuangan (pasar saham) yang tidak memiliki pengaruh terdapat pergerakan sektor riil. Ketiga, jumlah pengangguran dan kemiskinan terus meroket yang diakibatkan oleh malpraktik kebijakan maupun pertumbuhan yang terkonsentrasi di sektor keuangan.
Belajar dari pengalaman negara lain yang berhasil keluar dari krisis, maka setidaknya tiga tipe kebijakan yang patut didalami oleh Indonesia (Thomas dan Grindle, 1990). Pertama, kebijakan makro ekonomi (macroeconomic policy). Kebijakan makro ini secara umum bertujuan menata iklim kompetisi dan daya saing negara sehingga ekonominya berjalan efisien. Kedua, kebijakan sektoral (sectoral policy). Kebijakan ini diorientasikan bagi negara-negara yang memiliki berbagai macam potensi ekonomi sehingga memerlukan prioritas bagi penanganannya, seperti di India. Ketiga, perubahan organisasi (organizational change). Tujuan dari tipe kebijakan ini adalah membangun sistem kelembagaan yang berjalan secara efisien sehingga dapat menopang kinerja bidang ekonomi, seperti di Argentina. Akhirnya, Indonesia sebaiknya melakukan restriksi yang selektif terhadap arus modal (asing) jika tidak ingin seluruh perbaikan ekonomi ditelikung kembali oleh penetrasi liberalisasi (keuangan).
Seputar Indonesia, 17 Juli 2007
*Ahmad Erani Yustika, PhD dosen Departemen Ilmu Ekonomi Unibraw
dan Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute)