Memetakan Jalan Keluar
Dengan deskripsi itu, apa yang harus dilakukan Indonesia untuk mencegah kerugian dan memeroleh manfaat dari ACFTA? Hal utama yang harus dipahami terlebih dulu adalah skema eliminasi tarif yang ada dalam perjanjian ACFTA. Di sini ada tiga skenario yang perlu ditelisik, yakni: early harverst programme (EHP), normal track programme (NTP), dan sensitive and highly sentitive (SHS). EHP merupakan produk spesifik yang tarif masuk (custom tax) harus 0% dan ini telah berjalan sejak 1 Januari 2004 – 1 januari 2006. Produk yang masuk dalam skema ini antara lain: ternak, daging, ikan, kayu, sayuran dan buah-buahan. Sedangkan untuk NTP pengurangan tarif dimulai 20 Juli 2005 - sampai 0% pada 2010 lalu. Sementara itu, untuk SHS pengurangan tarif diawali pada 2012, di mana sampai 2020 nanti tarif harus mencapai 0-5% (Mutakin dan Salam, 2009). Tiga skenario inilah yang dijalankan dalam bingkai ACFTA dan China sudah terlibat dalam kesepakatan ini sejak 4 November 2004.
Dengan dasar skenario di atas, maka yang sebenarnya masih terbuka untuk dinegosiasikan kembali adalah skema SHS, karena baru akan diimplementasikan pada 2012. Hal ini lebih relevan lagi kalau diperhatikan karakteristik perdagangan Indonesia dan China. Selama ini produk-produk yang diimpor Indonesia dari China antara lain produk besi baja, plastik, makanan olahan, perkakas listrik, mesin, tekstil, pupuk, aluminium, garmen, kerajinan tangan, dan produk makanan minuman. Produk-produk yang diimpor dalam jumlah besar dari China ini mesti diidentifikasi yang tergolong masuk dalam skema SHS. Jika produk-produk tersebut ada yang masuk dalam SHS, maka hal ini perlu diperjuangkan sebagai obyek renegosiasi. Indonesia harus punya data yang kuat mengenai daya saing komoditas tersebut sebagai bahan perundingan. Tanpa data dan skenario yang akurat, pasti sulit diraih hasil yang menggembirakan dalam forum renegosiasi itu.
Di samping itu, Indonesia juga perlu berjuang melindungi produk-produk yang selama ini digeluti oleh pelaku UMKM, khususnya yang bergerak di bidang makanan minuman, plastik, keramik, peralatan rumah tangga, barang mainan, kerajinan tangan, dan lain sebagainya. Menurut Catatan IGJ (Institute for Global Justice), selama kurun 2006-2008 (sebelum ACFTA diberlakukan secara penuh) telah terdapat 1650 industri yang bangkrut karena kalah bersaing dengan produk-produk China. Implikasinya, tidak kurang 140.584 tenaga kerja yang menganggur akibat gulung tikarnya industri tersebut. Tentu sangat tidak adil apabila disatu sisi pemerintah kurang memberikan dukungan kepada pelaku UMKM, sementara di sisi lain persaingan dibuka lebar-lebar dengan pelaku ekonomi asing (yang di negaranya didukung oleh pemerintah dengan aneka insentif ekonomi). Poin ini harus benar-benar digarisbawahi oleh pemerintah.
Akhirnya, terlepas dari soal perjanjian pasar bebas (ACFTA dan yang lain) yang sudah telanjur diratifikasi oleh Indonesia, sebetulnya separuh persoalan ekonomi nasional adalah kualitas implementasi kebijakan ekonomi (domestik) sendiri. Serangkaian kebijakan reformasi ekonomi yang diproduksi sejak 10 tahun lalu boleh dikatakan gagal dijalankan. Proyek revitalisasi pertanian, penguatan sektor riil, pemapanan sektor keuangan, perbaikan iklim investasi, regulasi pembebasan lahan, pembangunan infrastruktur, peningkatan pasokan energi, dan lain-lain hampir seluruhnya macet di lapangan. Hal inilah yang membuat daya saing perekonomian tidak beranjak bagus, sementra negara-negara lain telah berlari kencang. Oleh karena itu, aspek penguatan ekonomi domestik merupakan pekerjaan rumah yang genting. Selanjutnya, perjanjian ACFTA menjadi pelajaran yang penting bagi pemerintah, bahwa perdagangan (bebas) harus disikapi secara kritis. Bagi negara yang ekonominya rapuh (seperti Indonesia), perdagangan bebas dalam banyak hal terbukti menjadi racun ketimbang vitamin yang bermanfaat bagi upaya pencapaian kemandirian ekonomi nasional.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef