Krisis listrik di Indonesia betul-betul menjadi kenyataan, bukan lagi ancaman. Pemadaman bergilir saat ini menjadi menu harian, yang tidak saja melumpuhkan dunia usaha/industri, tetapi juga mematikan aktivitas rumah tangga. Sektor usaha besar dan kecil menderita kerugian besar akibat keterbatasan pasokan listrik, bahkan sebagian sudah gulung tikar. Situasi ini makin diperburuk dengan tingginya biaya produksi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Celakanya, kebijakan pemerintah selama ini justru lebih banyak bergerak di sisi permintaan (mengimbau pengurangan konsumsi listrik), bukan memacu jumlah penawaran (menambah pasokan listrik). Inilah yang membuat upaya perbaikan iklim investasi tidak pernah berhasil, karena pembangunan infrastruktur ekonomi nyaris tidak ada perbaikan.
Jika dalam waktu dekat ini tidak ada langkah serius untuk mengatasi masalah ini, bisa dipastikan kemajuan ekonomi hanya sebatas angan-angan. Hubungan antara pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi memang belum menunjukkan temuan yang seragam. Berdasarkan riset yang dilakukan Ashauer (1998), Easterly dan Rebelo (1993), Canning dkk (1994), dan Sanches-Robles (1998), investasi infrastruktur di suatu negara memiliki imbal hasil yang sangat tinggi, sehingga begitu berperan dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi di negara tersebut (Esfahani dan Ramires, 2003). Di sisi lain, berbagai penelitian (misalnya, Munnel, 1992; Tatom, 1993; dan Gramlich, 1994) juga memperlihatkan pembangunan infrastruktur dapat terjadi jika pertumbuhan ekonomi di suatu negara relatif tinggi, sehingga output agregat merupakan modal penting untuk mendorong investasi infrastruktur oleh negara. Apabila hal ini direlasikan dengan fakta di Indonesia memperlihatkan bahwa kedua pola tersebut telah terjadi, tentu dengan dimensi yang berbeda dengan negara lain.
Jadi, paparan di atas meyakini bahwa investasi infrastruktur dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain pertumbuhan ekonomi yang diperoleh masih menjadi kendala untuk melakukan investasi infrastruktur lebih jauh. Dalam kasus di Indonesia, investasi infrastruktur yang dilakukan pada dekade 1970-an dan 1980-an membuktikan sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu sulit untuk dialokasikan lagi bagi ekspansi pembangunan infrastruktur. Hal ini karena tertindih oleh kebutuhan yang lain, misalnya, pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri, program pembangunan (kemiskinan), dan bantalan masalah sosial (bencana alam, konflik, dan lain-lain). Akibatnya, sejak krisis ekonomi hampir 11 tahun lalu sulit sekali bagi pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, sehingga upaya meningkatkan realisasi pembangunan infrastruktur pun turut berhenti.
Ragam Krisis
Sebetulnya bukan hanya soal listrik yang menggelayuti Indonesia. Terdapat setidaknya empat infrastruktur vital lainnya yang sekarang dalam kondisi mencemaskan. Pertama, jalan raya strategis. Jalan di Indonesia sampai 2007 memiliki panjang sekitar 34.000 km, di mana sebagiannya merupakan warisan Pemerintah Kolonial Belanda. Jika dilihat dari kelaikannya, jalan raya yang dalam keadaan baik hanya 9.500 km (27,94%). Sisanya, yang dalam kondisi rusak berat dan ringan 2.500 km dan 3.800 km. Bahkan yang dalam keadaan sedang hanya 18.000 km atau lebih dari 50% dari total jalan yang ada (Departemen PU, 2008). Kedua, jalan tol. Sampai akhir 2007, jalan tol yang ada di Indonesia sepanjang 630 km, atau 1,82% dari total jalan umum di negeri ini. Panjang jalan yang diharapkan bebas hambatan ini tidak mengalami pertumbuhan nyata sejak dibangun pertama kali pada 1978. Hampir 30 tahun terakhir ini hanya terjadi penambahan 603 km panjang jalan tol.
Ketiga, pelabuhan. Di Indonesia, terdapat pantai sepanjang 81.000 km (atau lebih dari dua kali lipat jalan raya nasional). Namun, dari panjang pantai ini hanya ada 18 pelabuhan, di mana lima pelabuhan samudera, dan sisanya pelabuhan nusantara.
Data ini menunjukkan bahwa dalam 4.500 km panjang pantai, hanya ada satu pelabuhan laut. Dibandingkan dengan Jepang, jumlah pelabuhan di Indonesia masih tertinggal sekitar 7.364 pelabuhan laut lagi, sebab setiap 11 km pantai di Jepang, terdapat satu pelabuhan laut. Sementara itu, Thailand memiliki 52 pelabuhan dengan pantai sepanjang 2.600 km. Ini berarti setiap 50 km panjang pantai terdapat satu pelabuhan laut (Afifi, 2005). Keempat, irigasi. Kondisi infrastruktur di sektor pertanian yang sangat penting ini juga mengenaskan. Hal ini karena sekitar 40% irigasi dalam kondisi rusak. Sementara itu, yang masih berfungsi dengan baik kerap terkendala dengan debit air yang terus menurun.
Menyikapi soal itu, diperlukan strategi dan komitmen utuh pemerintah untuk mengatasi kelangkaan infrastruktur tersebut. Kendala terbesar yang dihadapi pemerintah tentu saja adalah keterbatasan anggaran. Oleh karena itu, strategi pembangunan infrastruktur hanya dimungkinkan lewat dua skenario. Pertama, keterbatasan dana dipecahkan dengan cara mengeluarkan surat utang sebagai modal pembiayaan pembangunan infrastruktur. Surat utang ini diprioritaskan dibeli oleh BUMN yang memiliki kinerja dan prospek bagus. Model ini cocok untuk membangun infrastruktur listrik, jalan raya, dan irigasi. Kedua, menjalin kerja sama dengan sektor privat domestik untuk mengerjakan infrastruktur jalan tol dan pelabuhan. Di sini pemerintah tinggal memberi aneka insentif agar sektor swasta tertarik masuk ke bidang infrastruktur tersebut. Implementasinya tentu tidak sesederhana ini, tetapi dengan cara ini kendala pembangunan infrastruktur setidaknya dapat diterobos. Lebih penting lagi, dibutuhkan komitmen politik untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur.
Bisnis Indonesia, 24 Juli 2008
*Ahmad Erani Yustika,
Direktur Eksekutif Indef dan Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi, Universitas Brawijaya, Malang