Periode 2005-2013 boleh disebut merupakan waktu yang hilang dalam episode ekonomi dunia. Nyaris dalam 8 tahun terakhir ini ekonomi dunia lebih banyak disibukkan untuk mengatasi krisis ekonomi yang hadir silih berganti ketimbang menikmati kemakmuran yang diperoleh. Pada 2005 ekonomi global diguncang kenaikan harga pangan dan energi, 2008 diterpa krisis subprime mortgage, dan 2010 dihajar oleh krisis fiskal di negara-negara maju. Tiga krisis itu nyaris tak memberi kesempatan bernapas bagi sebagian besar negara untuk menjalankan kegiatan ekonomi secara tenang, termasuk Tiongkok sekalipun. Negara berkembang didikte untuk menjalankan manajemen ekonomi yang hati-hati, tapi negara maju malah mempraktikkan tata kelola ekonomi yang amburadul. Liberalisasi ekonomi membuat sekat-sekat antarnegara menjadi lumer sehingga krisis di negara yang buruk tata kelolanya dengan mudah ditransmisikan ke negara lain yang sudah hati-hati mengemudikan ekonominya.
Kepentingan Nasional
Kishore Mahbubani (2013), pemikir terkemuka dari National University of Singapore (yang pada 2005, 2010, dan 2011 masuk ke dalam top 100 global thinker versi Foreign Policy), memperkenalkan istilah baru “the new norms†(norma baru) dunia dalam konteks pembangunan, yaitu: peran ilmu pengetahuan yang meningkat (modern science), argumen yang rasional (logical reasoning), promosi pasar bebas (free-market economics), perubahan kontrak sosial (social contract), dan kesepakatan multilateral (multilateralism). Hampir semua negara mengarahkan kegiatan ekonomi dengan berbasis pengetahuan dan inovasi menggeser praktik ekonomi berdasarkan tradisi. Pilihan-pilihan kebijakan dikerjakan secara saksama sesuai dengan informasi dan penjelasan yang logis. Tak kalah penting, kontrak sosial dibubuhkan berdasarkan kesepakatan antara yang mengatur dan yang diatur. Selebihnya, pasar bebas dan kesepakatan internasional merupakan tata kelola baru dalam menggerakkan perekonomian.
APEC (Asia-Pasific Economic Cooperation) yang sudah berdiri sejak 1989 merupakan bagian dari norma baru tersebut, bersama dengan fenomena IMF dan Bank Dunia yang sudah berdiri sejak 1940-an, WTO yang diratifikasi pada 1994, dan puluhan blok perdagangan yang didirikan dalam 20 tahun terakhir ini. APEC, seperti halnya blok perdagangan dan misi lembaga multilateral lainnya (IMF, Bank Dunia, dan yang lain) aktif mempromosikan tata kelola ekonomi global dengan bersandar kepada pranata globalisasi/liberalisasi. Argumen dari inisiatif tersebut tak semuanya salah, sebab koneksi ekonomi memang menjanjikan percepatan sirkulasi kegiatan ekonomi yang berdampak terhadap pembesaran hasil (perdagangan, investasi, dan lain sebagainya). Gagasan ini pula yang dibangun oleh APEC, meskipun ini bukan merupakan organisasi yang punya ikatan kuat (sifatnya hanya sukarela). Setiap tahun Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) digelar untuk memapankan ide tersebut.
Tapi, ada dua hal yang luput dari norma baru global tersebut. Pertama, tak selamanya kepentingan nasional (national interest) mati setelah tata kelola global (global governance) ditandatangani. Kepentingan nasional muncul bisa dari sumber persoalan domestik masing-masing negara (akibat malpraktik manajemen ekonomi) maupun dampak dari kesepakatan global tersebut. Dalam situasi seperti itu, kepentingan nasional kerap berbeda secara diametral dengan konsensus global yang sudah disepakati. Bahkan, AS dan Eropa sekalipun bisa mengisolasi ekonominya dari negara lain (misalnya dengan jargon: beli produk AS), padahal merekalah pendiri gagasan liberalisasi ekonomi. Kedua, pada saat norma baru itu disepakati, sesungguhnya juga terjadi kecemasan atas kondisi daya saing masing-masing negara. Liberalisasi secara diam-diam dianggap sebagai sumber daya rusak ketimbang anak tangga untuk mencapai posisi ekonomi yang lebih tinggi. Faktanya, arus baru norma ekonomi kini sedang disiapkan secara diam-diam pula.
Perjamuan Saudagar
Pada pertemuan KTT APEC di Bali kali ini nuansa konservatisme tata kelola ekonomi global tersebut masih terasa, yakni dengan menguatnya agenda peningkatan pertumbuhan dan percepatan konektivitas. Pertumbuhan ekonomi hendak digeber kembali untuk memulihkan periode yang hilang di atas. Demikian pula, aneka tarif dan rintangan perdagangan/investasi akan diturunkan secara masif untuk mempercepat terjadinya konektivitas. 1200 pemimpin puncak korporasi besar dari masing-masing negara anggota APEC hadir untuk menjajaki kerjasama di antara mereka. Forum itu bahkan lebih mirip pertemuan para saudagar daripada persuaan pejabat pemerintah yang hendak merumuskan regulasi. Forum APEC tanpa dapat dielakkan merupakan pertemuan antarnegara yang sebetulnya seluruh gerak kesepakatan yang diambil berasal dari suara korporasi kakap. KTT kali ini kembali menjadi saksi atas perjamuan ekonomi tersebut tanpa kejelasan manfaat yang bakal diperoleh bagi kepentingan nasional.
Pertemuan dan kesepakatan yang dibuat dalam APEC bukan merupakan hal yang spesifik, karena pola yang sama dilakukan oleh Indonesia dalam hubungan dengan negara lain (dalam semangat multilateralisme). Sebagai forum yang mempertemukan ide-ide antarnegara tetap saja peristiwa peristiwa KTT semacam ini memiliki nilai penting. Namun, interaksi itu menjadi tak memiliki makna bagi kepentingan nasional apabila sebagian besar agendanya dibajak oleh segelintir negara maju dan pemain swasta besar. Indonesia mesti merumuskan peran dan agenda yang harus dimainkan dalam forum semacam itu agar regulasi yang disusun paralel dengan kepentingan nasional. Selebihnya, urusan ekonomi suatu negara merupakan hajat publik yang tak laik hanya disuarakan oleh para eksekutif perusahaan besar, tapi harus merepresentasikan keseluruhan kepentingan anak bangsa, yang di dalamnya ada petani, nelayan, pelaku UMKM, pedagang, pekerja sektor informal, buruh, dan seterusnya. Pemerintah, secara sadar, telah melupakan hal paling elementer ini.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef