Keputusan KPPU yang menghukum Temasek Holdings Pte Ltd karena memiliki saham silang (cross-ownership) di PT Telkomsel dan PT Indosat, sebetulnya menginformasikan satu isu yang penting. Isu itu bukan soal kepemilikan asing ataupun praktik monopoli, melainkan realitas bahwa lembaga investasi pemerintah masih mewarnai percaturan ekonomi domestik, bahkan perekonomian global. Dalam kasus di atas, Temasek merupakan perusahaan investasi milik pemerintah Singapura yang dengan kedigdayaannya berhasil mencaplok sebagian saham korporasi paling strategis di Indonesia, yakni PT Telkomsel dan PT Indosat. Fenomena itu ternyata sudah merayap di banyak negara lain, sebut saja China, India, Kuwait, Uni Emirat Arab (UEA), Brunei, Korsel, Venezuela, Qatar, Kazakhstan, dan lain-lain. Di negara-negara tersebut, pemerintahnya memiliki lembaga investasi yang mengelola dana sangat besar dan diinvestasikan ke korporasi-korporasi bonafit dunia.
Gelombang Tandingan
Abad 20 dianggap oleh para ekonom sebagai periode paling gemilang dari kapitalisme. Pada masa itu, negara-negara yang dianggap maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa (Barat), memproklamasikan ekonomi pasar sebagai instumen untuk mendorong kegiatan dan pertumbuhan ekonomi. Dalam desain tersebut, negara ditempatkan sebatas regulator untuk mengatur dan mengatasi kegagalan pasar (market failure). Oleh karena itu, di negara-negara tersebut praktis seluruh urusan dan kegiatan ekonomi dikerjakan oleh sektor privat (rumah tangga atau perusahaan) sehingga negara mundur dari gelanggang ekonomi. Hasilnya, negara-negara itu dianggap sebagai ikon keberhasilan ekonomi dengan menempatkan sektor swasta sebagai pioner pergerakan perekonomian. Di negara maju tersebut tumbuh subur korporasi global yang bukan hanya menyumbangkan perekonomian domestik, tetapi juga mendonorkan pertumbuhan ekonomi internasional.
Perusahaan dunia milik swasta yang beroperasi ke penjuru dunia itu kemudian dikenal dengan istilah MNCs (Multinational Corporations) atau juga TNCs (Transnational Corporations). Begitu besarnya MNCs tersebut sehingga banyak di antaranya yang memiliki aset melebihi PDB sebuah negara (berkembang). Sebut saja General Motors dari AS yang menempati urutan pertama MNCs terbesar, pada 1997 berhasil mengakumulasi asetnya senilai US$ 594 miliar. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan PDB-nya Argentina atau Polandia. Contoh lain adalah Nothrop Grumman (AS) yang menempati urutan nomor 500 MNCs dunia, pada 1997 mempunyai aset setara dengan PDB-nya Algeria, bahkan melebihi pendapatan nasionalnya Kenya dan Kongo (Perkins, et. al, 2000). Data tersebut mendeskripsikan betapa besarnya kekuatan MNCs untuk memengaruhi perekonomian negara berkembang akibat kepemilikan aset ekonomi yang melebihi pendapatan nasional suatu negara.
Ternyata, gurita sektor privat terhadap perekonomian global tersebut hanya sebagian kecil dari perkembangan gelombang ekonomi dunia. Pada saat yang hampir bersamaan juga terdapat gelombang lain yang tidak kalah ganas, yakni arus investasi yang digelontorkan oleh lembaga investasi milik pemerintah/SWFs (sovereign wealth funds). Sekadar contoh, lembaga investasi milik pemerintah UEA, yakni ADIA (Abu Dhabi Investment Authority) saat ini mengelola dana sekitar US$ 625 miliar, jauh lebih besar ketimbang General Motors. Demikian pula China Investment Corporation menguasai dana sebesar US$ 200 miliar. Negara-negara itu berhasil menghimpun dana yang besar berkat penumpukan cadangan devisa (China memiliki cadangan devisa sekitar US$ 1.400 miliar!), bonanza minyak, dan dana pensiun dalam negeri. Jadi, tanpa disadari telah muncul gelombang balik (setidaknya gelombang tandingan) kekuasaan ekonomi, dari semula dikuasai oleh pelaku swasta ke aktor negara (kapitalisme negara).
Serangan Balik
Fenomena lain yang membedakan antara MNCs dengan SWFs adalah soal tujuan investasi. MNCs yang tumbuh dan besar di negara maju, seperti diketahui melanjutkan ekspansi ekonominya ke negara-negara berkembang. Negara berkembang dijadikan sebagai penjualan produknya karena pasar negara maju sudah jenuh. Sebaliknya, SWFs (yang besar dimiliki oleh negara berkembang) justru beroperasi ke negara maju dengan jalan membeli atau mengakuisisi korporasi-korporasi besar dunia. Misalnya, baru-baru ini AIDA menyuntikkan dana sebesar US$ 6,7 miliar ke Citigroup akibat perusahaan tersebut kolaps diterjang kasus subprime mortgage di AS. Di luar itu, msaih terdapat puluhan perbankan, perusahaan bursa saham, pelabuhan, dan korporasi negara maju lainnya yang disantap oleh SWFs milik negara berkembang. Gejala serangan balik (counter-attack) ini tentu sangat menarik diamati karena melawan pandangan umum yang selama ini dipercaya kebenarannya.
Tampaknya, fenomena ini belum banyak diketahui oleh khalayak sehingga sektor swasta (melalui kendaraan kapitalisme) dianggap satu-satunya potensi untuk menyebarkan pertumbuhan ekonomi. Padahal, negara -juga dengan menumpang ekonomi pasar- berhak pula untuk menebarkan kegiatan ekonomi melalui pilihan-pilihan investasi yang prospektif. Lebih menarik lagi, pola negara maju yang menggerogoti perekonomian negara berkembang melalui MNCs dibalas kontan oleh negara berkembang lewat SWFs. Jika pelaku swasta negara berkembang sampai sekarang belum mampu mengerjakan itu, maka serangan balik dilakukan oleh SWFs. Inilah yang dilakukan oleh SWFs di India, China, UEA, Korsel, Singapura, Taiwan, dan lain-lain. Indonesia –dengan derajat yang berbeda- tentu juga mempunyai kemampuan itu karena sekarang cadangan devisa, dana pensiun, dan sumber dana yang lain berada dalam genggaman pemerintah. Jadi, ketimbang berjibaku soal privatisasi, akan lebih cerdas bila pemerintah ikut dalam gelombang serangan balik ini.
Jawa Pos, 24 Desember 2007
*Ahmad Erani Yustika, PhD KPS Magister
Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE Unibraw;
Founder INSEF (Institute for Strategic Economics and Finance)