Hari-hari ini sebaiknya pemerintah dan Bank Indonesia (BI) membuka kembali buku teks ilmu ekonomi dan memantulkan kembali cermin ke masa silam. Menghadapkan teori baku ilmu ekonomi dan persoalan yang dihadapi itu barangkali bisa menggeser keyakinan atas kebijakan-kebijakan ekonomi yang dibuat. Seyogyanya pula, komparasi terhadap pengalaman dan kebijakan ekonomi negara lain laik pula dilakukan untuk menambah bobot kebijakan domestik yang diproduksi. Pernyataan ini perlu dikemukakan setelah sekian lama kritik terhadap kebijakan moneter untuk meredam jatuhnya nilai tukar yang dibangun oleh BI (dan pemerintah) tidak diindahkan. Hasilnya, sekarang tingkat suku bunga deposito/kredit meningkat (akibat kenaikan BI rate) tanpa mengurangi impor maupun defisit neraca transaksi berjalan. Implikasinya, anjloknya nilai tukar tetap tidak dapat ditahan. Jika kebijakan ini diteruskan, maka masa-masa gelap perekonomian akan berjalan lebih panjang lagi.
Fragile Five
Mari disingkap sedikit demi sedikit problem ekonomi yang tengah dihadapi Indonesia saat ini. Krisis ekonomi global 2011 telah melantakkan ekonomi Eropa dan AS (juga Jepang) sehingga mengganggu kinerja ekspor nasional. Harga komoditas primer di pasar internasional merosot, padahal Indonesia mengandalkan produk tersebut untuk perolehan ekpor. Sebagian (besar) ekspor nasional menuju ke Eropa, AS, dan Jepang (sekitar 40%). Di sisi lain, pengendalian impor tidak bisa dijalankan secara maksimal karena 70% impor adalah produk bahan baku yang diolah untuk keperluan sektor manufaktur. Jika impor ditekan, maka produksi sektor manufaktur akan menurun dan selanjutnya lebih menenggelamkan ekspor (karena sebagian ekspor adalah produk manufaktur). Implikasi yang ditimbulkan makin terang, neraca perdagangan negatif dan menjadi salah satu sumber munculnya defisit neraca transaksi berjalan, yang kemudian memicu terpelantingnya nilai tukar.
Selanjutnya, defisit neraca transaksi berjalan jauh lebih rumit dikendalikan karena lalu lintas modal sangat terbuka, misalnya uang yang hilir mudik di pasar modal, Surat Utang Negara (SUN), dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI); serta transfer pendapatan maupun jasa yang terus mengalir ke luar. Ini bukan kisah baru sebab telah berjalan lama meskipun berulang kali diultimatum agar pasar sektor finansial segera dikendalikan, transfer pendapatan (melalui repatriasi PMA) dikerangkeng, dan defisit jasa (khususnya transportasi laut) diselesaikan. Naasnya lagi, harga minyak dunia terus meroket sejak tahun lalu sehingga defisit fiskal tak dapat dihindari. Pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM sebagai cara meredam perluasan defisit fiskal, namun harga yang harus dibayar adalah kenaikan inflasi (mendekati 9% tahun ini). Kombinasi defisit neraca perdagangan, defisit transaksi berjalan, defisit fiskal, dan defisit neraca pembayaran (quarto deficit) plus inflasi menyergap ekonomi nasional sekaligus.
Masalah itulah yang membuat nilai tukar menjadi rawan. Di luar Indonesia, ada empat negara lain yang memiliki persoalan serupa, yaitu Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki. Kelima negara ini paling terguncang nilai tukarnya sebagai respons (sebagian) dari pembalikan arus modal asing akibat The Fed yang hendak mengurangi kebijakan quantitative easing (tapering-off). Kelima negara itu kemudian populer disebut sebagai “fragile fiveâ€. Fragile five tersebut mempunyai karakteristik yang seragam: inflasi tinggi, perlambatan pertumbuhan ekonomi, defisit neraca transaksi berjalan, dan defisit fiskal. Afrika Selatan merupakan negara yang paling buruk defisit neraca transaksi berjalan dan nilai tukarnya, yang mencapai 20,99%. Menariknya, Bank Sentral Afrika Selatan malah tidak menaikkan suku bunga sama sekali (Indef, 2013), berbeda secara diametral dengan BI. Hal ini bisa dibaca Afrika Selatan lebih memilih mengejar pertumbuhan ekonomi ketimbang pengedalian inflasi atau nilai tukar.
Membangunkan Pemerintah
Teori standar menyatakan bila di sisi fiskal mengalami kontraksi (inflasi dan perlambatan ekonomi), maka permintaan total (aggregate demand) akan turun, produksi meredup, dan pengangguran meledak. Posisi ini sekarang sudah terjadi di Indonesia, sehingga angka penganggguran meningkat pada tahun ini dibanding tahun lalu. Respons yang mesti dilakukan oleh kebijakan moneter adalah melakukan relaksasi dengan menambah pasokan uang. Caranya: tingkat bunga diturunkan (bukan malah dinaikkan) untuk mestimulasi pengeluaran investasi dan meningkatkan permintaan total. Kerangka pikir inilah yang diamini oleh Afrika Selatan, tapi dihindari oleh BI. Bank Indonesia berpikir saat ini ekonomi memang harus dilambatkan karena inflasi terlalu tinggi dan defisit neraca transaksi berjalan tidak ada tanda-tanda berkurang. Faktanya, dengan kebijakan moneter ketat sekarang justru akan memicu inflasi (karena suku bunga naik) dan impor tetap tinggi karena struktur produksi nasional yang rapuh.
Lantas, apakah problem saat ini hanya menjadi tanggung jawab otoritas moneter? Tentu saja tidak, pemerintah justru harus berada di garda depan karena dua hal. Pertama, persoalan defisit fiskal dan neraca perdagangan merupakan dosa pemerintah yang dicicil sejak lama. Industri migas tidak diurus dari hulu sampai hilir hingga menciptakan ketergantungan impor yang tinggi. Berikutnya, industrialisasi tidak dijalankan dengan rencana matang dan eksekusi terukur sehingga sekarang tersungkur. Kedua, kebijakan relaksasi moneter tidak akan meningkatkan investasi dan memerbaiki struktur produksi jika agenda penyusunan insentif fiskal, pembangunan infrastruktur, dan aneka pekerjaan rumah untuk meningkatkan iklim investasi abai dijalankan pemerintah. Jika pada kasus ini BI salah membaca peta, maka pemerintah punya jejak rekam yang lebih buruk: tak punya hasrat membaca atlas sama sekali. Pemerintah sudah saatnya siuman dan sigap berjibaku menjalankan amanah yang disandangnya, bukan malah asik bersenandung dan membikin aneka forum.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef