Praktis sejak krisis ekonomi besar 1997/1998, perekonomian global selalu dirundung instabilitas ekonomi (krisis) dalam intensitas yang makin kerap terjadi. Implikasi dari ekonomi yang terbuka juga mengakibatkan suatu negara yang fundamental ekonominya kuat sekalipun sulit berkelit dari pengaruh krisis tersebut, tak terkecuali Indonesia. Pada 2005, misalnya, Indonesia ekonominya limbung akibat kenaikan harga pangan dan minyak internasional. Pada 2008 situasinya juga mirip, ditambah dengan krisis di AS yang bersumbu dari subprime mortgage. Kondisi ekonomi belum sepenuhnya pulih, pada 2011 perekonomian global kembali guncang karena ledakan di Eropa dan AS akibat manajemen fiskal yang amburadul, sehingga defisit anggaran dan rasio utang jauh melampaui konsensus internasional. Realitas itu bukan hanya menunjukkan krisis makin kerap terjadi, namun juga penjalaran krisis tersebut makin mudah terjadi ke negara-negara lain secara cepat.
Pengendalian Inflasi
Peristiwa krisis ekonomi yang makin rajin hadir itu menghendaki kesigapan pemerintah untuk mengantisipasi dan memitigasinya. Di sini ada dua instrumen kebijakan penting yang dimiliki pemerintah, yakni fiskal dan moneter. Kebijakan fiskal sepenuhnya di bawah otoritas pemerintah, tapi kebijakan moneter di bawah kendali bank sentral (Bank Indonesia/BI). Kebijakan fiskal pada aspek pendanaan berasal dari anggaran negara, misalnya dalam wujud stimulus fiskal. Sumber penerimaan negara itu bisa berasal dari pajak (mayoritas), utang (domestik maupun luar negeri), pendapatan negara bukan pajak (PNBP), dan hibah. Sementara itu, kebijakan moneter wujudnya juga bermacam-macam, seperti himbauan moral, operasi pasar, jumlah uang beredar, sistem dan lalu lintas pembayaran, penentuan suku bunga, dan lain sebagainya. Dari segi pendanaan, bank sentral menggantungkan kepada pencetakan uang (dengan syarat yang ketat) dan cadangan devisa.
Sejak UU Bank Indonesia diubah pasca krisis 1997/1998, mandat yang dibebankan kepada BI juga mengalami pergeseran dengan menerapkan target tunggal dari kebijakannya, yakni menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi. Dalam literatur moneter, kebijakan itu dikenal dengan istilah inflation targeting framework. Pilihan ini sebetulnya masuk akal, karena dari sisi moneter inflasi merupakan sumbu dari semua masalah perekonomian, yakni investasi, penyerapan tenaga kerja, daya beli, dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga, apabila inflasi bisa dikendalikan maka indikator makroekonomi lainnya juga dapat diselamatkan. Tetapi, dalam perkembangan terakhir, negara yang mengadopasi ITF ini juga tidak banyak, tidak lebih dari 20 negara (Levine, at. al, 2004). BI sendiri mengadopsi ITF ini secara ketat sejak 2005, meskipun dilihat dari kinerja inflasi itu sendiri sebetulnya hasilnya tidak menggembirakan karena sebagian besar inflasi lebih tinggi dari target.
Jika dibandingkan dengan negara lain, maka memang sebagian besar negara tidak mengadopsi target inflasi dimaksud. Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BOJ), misalnya, hanya fokus kepada sistem pembayaran dan peredaran uang, sedangkan inflasi tidak masuk dalam target BOJ. Bank Sentral AS (The Fed) kurang lebih juga menerapkan kebijakan serupa. Lebih dari itu, dalam situasi trade-off antara inflasi dengan target makroekonomi lainnya, katakanlah pengangguran, maka tidak selamanya inflasi harus diprioritaskan. Kasus di AS dalam 3 tahun terakhir ini menarik dianalisis, bagaimana otoritas fiskal dan The Fed tidak mempedulikan persoalan inflasi atau deflasi dalam formulasi kebijakan untuk mengatasi krisis. Mereka mengeluarkan kebijakan quantitative easing untuk menghidupkan aktivitas ekonomi dan menciptakan lapangan kerja (karena pengangguran yang membumbung), meskipun sebetulnya terdapat ancaman inflasi yang mengintip (akibat kenaikan jumlah uang beredar).
Jika kasus di AS tersebut disandingkan dengan kebijakan BI dalam meredam krisis ekonomi yang terjadi terdapat perbedaan yang mencolok. Pada saat pemerintah menaikkan harga minyak pada Juli 2013 sehingga potensi inflasi melonjak, ditambah dengan krisis nilai tukar dalam 4 bulan terakhir, maka BI memakai instrumen (menaikkan) BI rate sebagai langkah memitigasi krisis. Kebijakan ini dengan mudah dimaksudkan untuk mengendalikan inflasi dan nilai tukar sesuai dengan mandat yang dimanahkan kepada BI di dalam UU. Pada sisi ini BI tentu tidak salah karena wajib mengamankan perintah UU tersebut. Tapi, apa harga yang harus dibayar dari kebijakan itu? Suku bunga deposito dan kredit pasti merokek, kredit melambat, investasi melemah, pertumbuhan ekonomi menurun, dan pengangguran/kemiskinan membengkak. Jadi, terlepas apakah kebijakan itu efektif atau tidak dalam meredam inflasi atau nilai tukar, namun yang pasti ongkos dari kebijakan itu sungguh besar.
Asean Stability Mechanism
Lantas, apakah sekarang sudah sebegitu penting untuk memutar haluan perubahan mandat yang dibebankan kepada bank sentral dalam perekonomian? Ada dua argumen utama untuk menjawab hal ini. Pertama, inflasi dan nilai tukar bukanlah fenomena moneter saja, tapi dibeberapa negara, termasuk Indonesia, merupakan peristiwa yang banyak terkait dengan aspek di luar moneter. Sejarah inflasi di Indonesia sebagian besar disumbang oleh bahan pangan dan energi (minyak). Harga pangan dunia yang fluktuatif menyebabkan harga pangan domestik ikut terkerek karena sebagian (besar) dicukupi dari impor, seperti bawang, daging, gula, kedelai, jagung, dan lain-lain. Demikian pula, harga pangan mudah merambat naik akibat perubahan cuaca, bencana, dan logistik yang buruk. Hal ini masih ditambah dengan penguasaan distribusi yang digenggam oleh sedikit pelaku sehingga gampang bagi mereka mengontrol harga. Pola yang sama terjadi di energi karena Indonesia adalah net-importir minyak.
Kedua, liberalisasi perekonomian, baik di sektor perdagangan, investasi, keuangan, tenaga kerja, dan lain sebagainya membuat rentan setiap negara terkena imbasnya. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang paling gigih terlibat dalam pusaran liberalisasi perekonomian tersebut. Dari sisi perdagangan, rata-rata tarif impor Indonesia, baik di sektor industri maupun pertanian, sangat rendah dibandingkan negara lain. Demikian pula di sektor keuangan, keterbukaan Indonesia di level Asean hanya kalah dikomparasikan dengan Singapura. Bahkan sektor perbankan nasional lebih liberal dibandingkan dengan Singapura. Implikasinya, krisis yang terjadi sumbernya kian beragam sehingga solusinya tidak harus ketat terkait dengan pengendalian inflasi dan nilai tukar. Lebih-lebih, tiap krisis hadir selalu memberikan dampak yang luas, bukan hanya sisi moneter. Krisis tidak hanya mengguncang sisi moneter, tapi kerap pula meruntuhkan sektor industri dan pertanian.
Dengan deskripsi tersebut, menjadi jelas bahwa pemerintah juga memiliki tanggung jawab dalam pengendalian inflasi, terutama dari sudut pencapaian stabilitas harga pangan dan energi. Tidak mungkin bank sentral saja yang dibebankan untuk pengendalian inflasi dan nilai tukar, padahal sebagian sumber masalah ada di sisi fiskal. Seperti saat ini, sumber inflasi adalah harga pangan/energi dan akar persoalan krisis nilai tukar adalah defisit transaksi berjalan. Sebaliknya, tidak laik pula tanggung jawab untuk memulihkan perekonomian diserahkan kepada pemerintah. Bank sentral juga harus memformulasikan kebijakan moneter yang adaptif dengan situasi terkini perekonomian. Jika masalah ekonomi yang mendasar adalah penciptaan lapangan kerja, misalnya, maka kebijakan moneter harus mendorong agar investasi meningkat dengan jalan relaksasi tingkat suku bunga. Dengan begitu, kebijakan moneter dan fiskal itu merupakan satu paket yang tidak boleh saling memunggungi.
Di luar isu itu, pada 2015 nanti Asean Economic Community mulai berjalan penuh, di mana salah satunya peerapan liberalisasi sektor keuangan dan modal. Lantas, apa yang bisa dikerjakan bank sentral untuk memitigasi kemungkinan terjadinya krisis yang timbul dari sektor keuangan/modal? Pertama, aktivasi regulasi bantuan modal jika krisis terjadi pada salah satu negara. Dalam kasus cadangan devisa terlalu kecil untuk melawan krisis, maka bantuan modal dibutuhkan. Dalam konteks ini mungkin dibutuhkan Asean Stability Mechanism (ASM) yang beranggotakan seluruh bank sentral anggota Asean. Kedua, pelarian modal biasanya dipicu oleh insentif laba yang bisa didapat dari negara lain. Oleh karena itu, perlu dibuat forum koordinasi kebijakan bank sentral di tingkat Asean, sehingga bisa dicegah kebijakan praktik capital flight akibat insentif dari satu bank sentral. Dua hal ini merupakan bagian yang mesti dipersiapkan (tentu masih banyak hal lainnya), meski sebetulnya kebijakan liberalisasi itu bagian dari akar masalah instabilitas itu sendiri.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef