Perekonomian nasional saat ini sebetulnya tengah limbung di tengah tren kenaikan pertumbuhan ekonomi. Di luar pertumbuhan ekonomi, penampilan makroekonomi lainnya, seperti inflasi, nilai tukar, kinerja ekspor dan impor, dan yang lain juga menunjukkan stabilitas yang bagus. Namun, di balik performa tersebut tersimpan kerapuhan yang memiliki efek besar terhadap masa depan perekonomian, khususnya kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah. Salah satu yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah ketidakseimbangan pertumbuhan sektoral perekonomian. Meskipun saat ini pertumbuhan ekonomi telah mendekati pencapaian sebelum krisis 1997/1998, tapi secara pasti sektor pertanian dan industri terus berada dalam zona pertumbuhan rendah. Hal ini menjadi persoalan serius karena secara kumulatif kedua sektor itu menjadi pilar penting perekonomian nasional, khususnya dari aspek penyerapan tenaga kerja.
Pemihakan Sektor Perbankan
Data BPS memerlihatkan, pada 2010 pertumbuhan ekonomi mencapai 6,1%. Tapi sektor pertanian dan industri masing-masing tumbuh 2,9% dan 4,5%. Sementara itu, sektor non-tradeable membukukan pertumbuhan yang tinggi, misalnya pengangkutan dan komunikasi (13,5%) dan perdagangan, hotel dan restoran (8,7%). Jika dirata-rata, pertumbuhan sektor non-tradeable pada 2010 mencapai 7,7%. Pertumbuhan sektor pertanian ini terendah kedua dalam beberapa tahun terakhir (setelah 2005 yang tumbuh 1,79%). Hal yang sama juga terjadi pada sektor industri. Pada 2005 sampai 2007 sektor industri pengolahan tumbuh 4,6%; 4,6%; dan 4,7%. Setelah itu pertumbuhan sektor industri terjun bebas pada 2008 dan 2009 menjadi 3,7% dan 2,1%. Untungnya pada 2010 pertumbuhan sektor industri sudah meningkat lagi, meskipun masih sangat jauh dibandingkan sebelum krisis ekonomi yang hebat pada 1997/1998.
Implikasi dari pertumbuhan kedua sektor yang merosot tersebut dapat dilihat dari kontribusinya terhadap PDB yang juga terus menurun. Pada 2005, sektor industri masih menyumbang 28,08% terhadap PDB, tapi pada 2010 donasinya tinggal 24,8%. Padahal, sektor industri masih mampu menyerap tenaga kerja/TK 13,82% pada Agustus 2010 (meningkat ketimbang Agustus 2009 yang sebesar 12,84%). Jadi, di sini terdapat realitas ganjil: kontribusi terhadap PDB turun, namun penyerapan TK-nya meningkat. Pola yang sama juga terjadi di sektor pertanian. Pada 2005, sektor pertanian mampu menyumbang terhadap PDB sebesar 14,5%. Namun, pada 2010 kontribusinya tinggal 13,17%. Seterusnya, persis seperti yang terjadi pada sektor industri, sumbangan TK sektor pertanian justru meningkat pada saat kontribusinya terhadap PDB menurun (pada Agustus 2009 menyerap TK 41,61%, tapi Agustus 2010 melesat menjadi 43,47%).
Terpuruknya kedua sektor yang menjadi tumpuan perekonomian nasional itu tidak lepas dari merosotnya dukungan sektor perbankan terhadap pembiayaannya (di samping komitmen pemerintah sendiri yang lemah). Data dari Bank Indonesia yang diolah Indef (2011) menunjukkan, pada 2000 perbankan masih mengucurkan kredit ke sektor pertanian dan industri sebesar 46,11% (pertanian 7,07% dan industri 39,04%) dari total kredit. Tapi pada 2010 kedua sektor itu cuma mendapat porsi kredit sebesar 20,75% (pertanian 5,15% dan industri 15,60%). Sehingga, dalam kurun waktu satu dekade kontribusi perbankan terhadap sektor pertanian dan industri merosot hampir 60%. Hal ini tentu sangat mengecewakan, karena menunjukkan lemahnya pemihakan perbankan terhadap sektor riil, padahal pada saat yang bersamaan perbankan memeroleh keuntungan yang terus meningkat secara berlipat.