Setelah DPR menambah Ayat 6a dalam Pasal 7 UU APBN No. 22/2011 yang memberi ruang pemerintah menaikkan harga BBM apabila selama 6 bulan rata-rata ICP melebihi 15%, apa hal pokok yang bisa ditulis? Saya punya dua pendapat soal ini. Pertama, pokok soal ekonomi selama ini hanya dianggap sebagai isu teknis yang tak punya jejak dengan rentetan masalah lainnya. Dalam kasus BBM, ketika harga minyak internasional meroket, solusi mudah adalah menaikkan harga minyak domestik agar tidak membebani APBN. Tak pernah dipersoalkan kenapa produksi minyak terus turun, biaya pemulihan (cost recovery) makin meningkat, peran asing yang dominan dan tidak pernah bergeser, dan aneka problem lainnya. Kedua, tiap negara punya konstitusi agar sistem dan kebijakan (ekonomi) yang diproduksi tetap berada dalam kerangka “kontrak sosial†tersebut. Celakanya, tak pernah penyelenggara negara merujuk konstitusi untuk menyelesaikan persoalan ekonomi yang muncul, tak terkecuali soal kenaikan harga BBM ini.
Kerapuhan Argumen Moral
Seluruh rakyat paham dengan baik argumen pemerintah maupun ahli ekonomi yang berpendapat bahwa BBM murah punya potensi merusak lingkungan, kebanyakan dikonsumsi oleh golongan menengah/kaya, mengambil hak generasi yang akan datang, dan seabrek penjelasan “moral†lainnya. Setelah sekian alasan itu ditambahkan dengan realitas bahwa Indonesia saat ini menjadi net importir dan harga minyak internasional terus meningkat, maka jalan keluar menaikkan harga BBM merupakan keniscayaan yang tak bisa dicegah agar APBN tetap sehat. Sampai di sini nyaris tidak ada ruang kesalahan yang dapat ditembak untuk membela pandangan yang sebaliknya, karena semua alasan itu faktual dan determinatif. Tapi bila ditelisik lebih mendalam, maka argumen-argumen itu sebenarnya mudah sekali patah. Misalnya, jika pemerintah memang peduli dengan isu lingkungan atau generasi mendatang, mengapa eksploitasi batu bara, hutan, gas, kelapa sawit, tembaga, nikel, timah, emas, dan seterusnya dibiarkan terus berlangsung?
Demikian pula, jika memang benar sebagian besar “subsidi†BBM diminum golongan menengah/kaya, mengapa tak pernah dipersoalkan belanja barang (sarang bagi birokrat untuk menggarong APBN) rata-rata tiap tahun naik 38%, padahal belanja pemerintah pusat hanyak tambah 19%? Tak pula dijelaskan secara meyakinkan mengapa reformasi birokrasi selalu paralel dengan kenaikan gaji yang fantastis, meskipun hasilnya jauh panggang dari api? Jika memang subsidi BBM dianggap aib, lantas subsidi apa yang selama ini telah diberikan pemerintah kepada rakyat dan para pembayar pajaknya? Apakah rakyat pernah merasakan subsidi dalam pengurusan KTP, akta kelahiran, izin usaha, setifikasi lahan, jalan desa yang mulus, akses listrik yang merata, pendidikan yang terjangkau, irigasi yang makin bagus, bunga kredit yang murah, biaya logistik yang rendah, ongkos berobat yang laik, air bersih yang merata, dan aneka layanan publik lainnya. Jika seluruh jawaban itu negatif, maka sebetulnya yang terjadi tak lebih dari silat lidah.
Lebih miris lagi adalah keberadaan Pasal 18 dan 19 UU No. 22/2011 yang luput dari perhatian. Pasal 18 Ayat (a) dan (b) intinya membebankan bantuan kontrak rumah, tunjangan biaya hidup, evakuasi dan pelunasan kekurangan pembayaran tanah dan bangunan di luar peta area dampak lumpur Lapindo – Sidoarjo kepada APBN. Berikutnya, Pasal 19 memaklumatkan biaya kegiatan mitigasi penanggulangan semburan lumpur (termasuk penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong) diserahkan juga kepada APBN dengan pagu paling tinggi Rp 155 miliar. Di sini konsistensi argumen “subsidi ditenggak oleh kaum kaya†betul-betul berada dalam ujian besar. Jika subsidi BBM dianggap aib karena lebih banyak mengalir ke golongan kaya (argumen ini masih sumir karena data BPS lainnya mengatakan hal yang berbeda), maka anggaran yang dibelanjakan untuk menjalankan Pasal 18 dan 19 tersebut harus dinamakan subsidi apa? Paradoksnya: soal privat dibebankan publik, sedangkan urusan publik hendak dikeluarkan dari APBN!
Ekonomi Konstitusi
Narasi di atas sebetulnya merupakan ujian apakah terma “rasionalitas teknis†dan “argumen moral†memang layak keluar dari mulut pemerintah. Rasionalitas teknis kenaikan BBM hanya bisa diukur dari kebersihan proses terjadinya eksplorasi minyak itu sendiri: dari mulai mekanisme kontrak pengelolaan SDA, proses produksi, pilihan kebijakan ekspor sebagian produksi, desain jalur distribusi, manajemen pencegahan penyelundupan, struktur dan pelaku impor, hingga kesepakatan biaya pemulihan. Jika seluruh catatan di balik itu penuh noda, maka pilihan kenaikan harga minyak adalah cara ringkas pemerintah lari dari masalah. Berikutnya, argumen moral gagah yang dikumandangkan akan kukuh bila soal-soal yang sejenis juga diperlakukan tidak berbeda. Isu lingkungan, komitmen berbagi untuk generasi yang akan datang, dan subsidi untuk rakyat miskin hanya punya tuah jika pemerintah memakai jargon moral itu bagi seluruh komoditas yang sama (tanpa perkecualian), khususnya sumber daya alam.
Selanjutnya, para penganjur ekonomi konstitusi selalu dipandang sebagai demagog yang naif dalam menyikapi modernisasi ekonomi. Di sini terdapat selisih jalan yang serius dalam menyikapi modernisasi ekonomi. Bagi kaum epistemis liberal, yang berada di balik gagasan liberalisasi ekonomi, modernisasi ekonomi tak lain adalah kerangka yang disusun untuk memberi jalan agar pasar mengatur seluruh urusan bersama. Celakanya, urusan bersama itu tak lain dan tak bukan adalah proses pemulusan peran modal dalam kerja-kerja ekonomi. Jika konstitusi menghalangi proses tersebut, maka atas nama modernisasi ekonomi keberadaan konstitusi mesti dibunuh (jika memang tidak bisa diubah). Sebaliknya, bagi kelompok ekonom konstitusi jalur pembangunan ekonomi apapun yang dipilih, termasuk modernisasi ekonomi, harus tunduk terhadap “kontrak sosial†tersebut. Jika di dalam prinsip-prinsip modernisasi ekonomi terdapat nilai yang menabrak spirit konstitusi, maka atas nama konstitusi pilihan pembangunan itu haruslah dikubur.
Sayangnya, justru proses pemakaman konstitusi inilah yang sekarang sedang dirayakan. Keputusan kenaikan harga BBM merupakan keniscayaan dari dogma pasar tersebut, yang prinsip-prinsipnya bersandar kepada nilai keekonomian. Maksud dari nilai keekonomian adalah harga yang terbentuk di pasar (domestik maupun internasional), tanpa memahami bahwa harga itu sendiri merupakan ciptaan para bandar yang bermain dengan bahasa modal. Cerita berikutnya gampang diterka: pemerintah tidak berdaya menghadapi harga keekonomian dunia karena sektor hulu pertambangan minyak sudah dibajak oleh kepentingan modal (asing). Aneka kesepakatan dan UU telah didesain terlebih dulu untuk menguasai sektor hulu, sehingga nasib di hilir hanya diberi satu opsi yang harus dijalani. Kondisi ini bersifat sistemik dan struktural, tapi selalu ditutupi seolah-olah ini masalah teknis terkait hukum permintaan dan penawaran. Ujung kisah ini pasti akan berbeda seandainya konstitusi dijadikan sandaran bernegara, yang memberi mandat sumber daya alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef