Pada Jumat, 3 Desember 2010 lalu, saya (bersama seorang ekonom dari sebuah bank swasta ternama di Indonesia) diundang oleh Dr. Chi Zhang, Chief Asia Economist BP (China) Holdings Limited, untuk mendiskusikan soal prospek hubungan ekonomi Indonesia dan China di masa mendatang. Bagi Zhang, Indonesia merupakan negara yang terlalu penting untuk diabaikan dalam konstelasi perekonomian dunia, khususnya bagi China sendiri, karena kemajuan ekonomi dan potensi penduduknya yang besar. Sebaliknya, China sendiri merupakan magnet yang tidak mungkin dihindari tarikannya oleh sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia, mengingat penetrasi ekonominya yang sedemikian dahsyat dalam satu dekade terakhir. Sungguh pun begitu, terdapat beberapa poin penting dari diskusi itu yang dapat menjadi catatan Indonesia untuk berbenah agar relasi ekonomi di antara dua negara ini saling menguntungkan.
Beijing Consensus
Hampir semua menyepakati bahwa salah satu titik tumpu keberhasilan perekonomian China adalah efektivitas pemerintahannya dalam membuat keputusan. Hal ini bisa dicapai karena rezim politik di sana masih menggunakan sistem otoriter, sehingga tidak dimungkinkan adanya negosiasi yang bertele-tele di antara kekuatan politik. Padanan yang hampir mendekati adalah sistem politik di masa Orde Baru, yang menempatkan presiden dan satu partai politik sebagai kekuatan tunggal penentu seluruh gerak kehidupan ekonomi, politik, dan sosial negara. Di bidang ekonomi, efektivitas pemerintahan di China itu antara lain terpantul dalam wujud pembangunan infrastruktur yang luar biasa pesat dalam 10 tahun terakhir, misalnya pembangunan pembangkit listrik, jalan tol, dan jalur kereta api. Penyediaan infrastruktur inilah yang menjadi penopang percepatan pembangunan ekonomi di China sehingga mendulang pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Sebaliknya, Indonesia boleh dikatakan gagal total mengembangkan penyediaan infrastruktur akibat peliknya masalah negosiasi dengan pihak lain (baca: masyarakat), di antaranya masalah pembebasan lahan. Zhang menceritakan bahwa di China tidak mungkin masyarakat menolak rencana pemerintah membangun infrastruktur (seperti jalan tol), meskipun pembangunan itu akan menggusur lahan yang ditempati masyarakat. Semua itu bisa terlaksana akibat dominasi negara yang sedemikian kuat sehingga tidak memberi ruang bagi rakyat untuk melakukan protes. Menurut Zhnag, ini memang menjadi problem dari kerangka kebebasan politik masyarakat, meskipun secara ekonomi kebijakan itu dalam jangka menengah dan panjang memberi menfaat bagi rakyat. Sungguh pun begitu, mayoritas rakyat China sampai kini masih menganggap sistem ini merupakan pilihan terbaik bagi negara tersebut, walaupun di masa depan masih memungkinkan untuk berubah.
Di luar itu, meskipun sistem politiknya sangat kental dengan hegemoni negara, namun di bidang ekonomi peran negara sudah menciut akibat penyerahan sebagian besar kegiatan ekonomi ke dalam sistem pasar. Zhang memberikan contoh tentang keikutsertaan China dalam WTO (world trade organization), ruang bagi investasi asing, privatisasi BUMN, dan pembesaran korporasi swasta domestik. Negara hanya sedikit melakukan intervensi kebijakan di bidang infrastruktur, kepemilikan BUMN, dan kebijakan moneter (seperti penentuan nilai tukar). Inilah model pembangunan China, yang dalam istilah Zhang disebut dengan istilah “Beijing Consensus†(BC) atau kapitalisme negara , untuk membedakan dengan “Washington Consensus†(WC). Jika WC menyerahkan seluruh urusan kepada pasar, maka BC secara selektif memberi peran terhadap negara supaya pasar dapat bekerja secara optimal. Model inilah, dengan segenap kekurangannya, yang menjadi landasan pembangunan China.
Model yang Otentik
Sebelum diskusi diakhiri, saya mengajukan pertanyaan terakhir kepada Zhang, apa sebetulnya kata kunci dari daya saing ekonomi China sehingga barang dan jasanya bisa merangsek ke negara-negara lain, termasuk negara maju? Â Zhang menyatakan tidak ada kebijakan tunggal untuk menjelaskan itu, tapi merupakan akumulasi dari beragam kebijakan yang konsisten sehingga membentuk daya saing perekonomian. Sekadar contoh, saat ini China telah memiliki 900 Gigawatt (GW) pasokan listrik, yang sebagian kecil disumbang dari pembangkit listrik tenaga nuklir/PLTN (yang saat ini berjumlah 9 unit). Dalam 10 tahun ke depan, China akan menambah PLTN itu menjadi 60 unit demi mengurangi ketergantungan terhadap batubara (sebagai energi penopang penyediaan listrik). Tentu, di China juga ada soal serius, seperti penyediaan lapangan kerja dan ketimpangan pembangunan, namun Zhang optimis itu tidak akan terlalu mengganggu karena seluruh rencana telah dirancang dan diimplementasikan secara serius oleh pemerintah.
Indonesia pada tahun ini ditaksir mengalami defisit perdagangan sekitar 6 miliar dolar dengan China, sebuah angka yang fantastis. Tidak mungkin pola ini diredam hanya dengan jalan melakukan negosiasi bilateral perdagangan antarkedua negara. Dalam jangka panjang, cara yang paling efektif adalah meningkatkan daya saing ekonomi, yang celakanya menghendaki serangkaian kebijakan yang konsisten, seperti penyediaan infrastruktur, regulasi, perizinan, dan iklim investasi lainnya. Masalahnya, kapabilitas pemerintah untuk menggerakkan itu semua terlihat sangat lemah pascareformasi ekonomi/politik 1998. Pilihan kembali ke otoritarianisme memang bukan opsi yang laik untuk diambil, meskipun memberi harapan terhadap efektivitas pemerintahan. Tapi, dalam beberapa aspek, apa yang dilakukan China merupakan pelajaran yang baik bahwa setiap negara berhak mencari model pembangunan sendiri yang otentik, tidak harus membebek negara lain.