Ibarat musim, saat ini sebetulnya perjalanan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) di Indonesia sedang memasuki musim semi. Proses transformasi BUMN yang dilakukan dalam 10 tahun terakhir telah menghasilkan beberapa capaian bagus, khususnya kinerja keuangan perusahaan negara tersebut. Beberapa BUMN besar yang dulu dikenal sebagai “produsen kerugianâ€, misalnya PLN, Pertamina, dan PT Garuda Indonesia, saat ini telah menunjukkan kinerja yang membaik, walaupun tentu saja belum sepenuhnya seperti yang diharapkan. Namun, di tengah upaya perbaikan tersebut, ada dua kebijakan berkenaan dengan BUMN yang layak diperhatiakan secara saksama. Pertama, rencana Kementerian BUMN membentuk delapan holding dan super holding sebagai pijakan menjadikan BUMN sebagai perusahaan kelas dunia. Kedua, soal privatisasi beberapa BUMN strategis yang selama ini sudah menunjukkan kinerja yang bagus, seperti PT Krakatau Steel, Bank Mandiri, BNI, dan PT Garuda Indonesia.
Rantai Birokrasi Baru
Rencananya, kedelapan holding yang akan dibuat Kementerian BUMN itu adalah sektor perkebunan, pelabuhan, penerbangan, pelayaran, perhutani, pertambangan, pupuk, dan virtual holding (bagi bank-bank milik negara). Dengan adanya holding ini, Kementerian BUMN berharap perusahaan-perusahaan pelat merah tersebut menjadi kinclong kinerjanya dan masuk dalam deretan korporasi kelas dunia (world class company), khususnya melalui empat inisiatif berikut: transformasi budaya kinerja, restrukturisasi, privatisasi, dan pengembangan sinergi. Tampaknya, BUMN yang masuk dalam sektor perkebunan masuk dalam gelombang pertama rencana ini, karena prosesnya sekarang sudah berjalan. Lewat model holding ini, diharapkan sampai akhir tahun jumlah BUMN tinggal 126 (dari jumlah saat ini 146). Terakit rencana holding ini, ada beberapa isu strategis yang patut dilayangkan sebelum ini dilaksanakan sepenuhnya.
Pertama, menyangkut rentang birokrasi. Jika tidak dibuat matriks kewenangan dan delegasi tugas yang jelas antara Kementerian BUMN dan perusahaan holding, maka dipastikan rentang birokrasi di tubuh BUMN akan kian panjang, sehingga ini bertentangan dengan semangat perbaikan tata kelola korporasi. Dalam kasus di PTPN, misalnya manejemen Pabrik Gula (PG), direksi PG kurang memiliki kewenangan yang memadai untuk memutuskan sejumlah proses kegiatan produksi yang sederhana, misalnya pembelian alat/mesin, semuanya harus persetujuan direksi PTPN. Jika rentang birokrasi ini ditambah (dengan adanya holding), bisa dibayangkan betapa makin panjangnya prosedur adminsitrasi yang harus dilewati dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, pembentukan holding tersebut harus dikaji secara lebih cermat dampaknya terhadap soal ini agar terhindari dari jebakan birokrasi.
Kedua, begitu holding itu dibuat, maka secara otomatis perusahaan yang ada di bawahnya tidak lagi terikat UU No, 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Artinya, keputusan-keputusan strategis perusahaan tersebut, misalnya penjualan saham, tidak lagi memerlukan persetujuan pemerintah atau DPR. Memang pemerintah masih dapat memengaruhi keputusan itu lewat holding yang berada dalam kenalinya, namun pengaruh itu tidak secara langsung, berbeda dengan struktur saat ini yang pemerintah/DPR dapat secara langsung menyetujui atau menolak BUMN yang hendak melakukan penjualan saham. Ketiga, pemerintah (melalui Kementerian BUMN) sudah menghimbau agar BUMN tidak membuat anak atau cucu perusahaan karena akan menyulitkan pengendaliannya. Namun, dengan adanya holding ini justru berpotensi menyulitkan Kementerian BUMN melakukan pengendalian (loss of control), sehingga dari aspek ini sebetulnya kebijakan pembuatan holding menjadi inkonsisten.
Amanat Konstitusi
Di luar hal-hal di atas, laik juga dibuka kemungkinan terdapatnya dua hal buruk berikut, yakni pembengkakan biaya operasional dan moral hazard pada holding BUMN tersebut. Bisa dipastikan pembentukan holding ini membutuhkan biaya yang besar, dari mulai setting organisasi, pengadaan sarana fisik (pembangunan gedung), dan pembiayaan pimpinan dan staf. Pertanyaannya, ongkos ini dibebankan kepada siapa? Apakah ditanggung perusahaan yang berada di bawah holding tersebut atau diambilkan dari APBN? Semua ini tentu harus mendapatkan jawaban yang pasti agar dapat dikalkukasi untung ruginya. Berikutnya, dalam situasi seperti sekarang, peluang masuknya kepentingan politik dan birokrasi masih cukup besar dalam operasi BUMN ataupun holding, sehingga kecemasan yang utama adalah pada proses pengisian personel yang bakal berada di holding tersebut. Jika tidak diatur dan ditegakkan dengan baik, maka praktik seperti pada masa Orde Baru dengan mudah bisa terulang.
Last but not least, misi terpenting dari holding ini sebetulnya jangan disederhanakan kepada penyederhanaan jumlah BUMN semata, baik melalui proses merger ataupun privatisasi. Jika ini yang dikedepankan, maka misi yang diamanatkan kepada BUMN (melalui konstitusi) untuk menafkahi hajat hidup orang banyak dan pelayanan publik (public service) menjadi menguap. Right sizing tidak boleh dimaknai sebatas pengurangan jumlah korporasi, namun juga dilihat dari sisi pengurangan biaya dan perbaikan efisiensi, yang ini bisa dilakukan dengan perbaikan tata kelola (bukan dengan jalan tunggal merger atau privatisasi). Poin-poin ini perlu dipertimbangkan secara masak agar upaya transformasi BUMN yang selama ini telah berjalan cukup bagus tidak berhenti di tengah jalan, bahkan berbalik arah dari tujuan semula. Dalam soal pengelolaan BUMN ini bukankah garisnya sudah amat tegas: tidak boleh mencederai amanat konstitusi dan menghindarkan dari kepentingan (politik) jangka pendek.
*Ahamd Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef