China dipuja sebagai negara yang luar biasa kinerja ekonominya dalam 20 tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi hampir selalu di atas 10%, kecuali saat terjadi krisis ekonomi global (itupun biasanya masih pada kisaran 8%). Nilai ekspor China pada 2010 menjadi yang terbesar di dunia, meninggalkan Jerman yang sebelumnya selalu menjadi juara. Hasilnyapun mudah ditebak, China menjadi negara dengan cadangan terbesar di dunia. Saat ini China memupuk cadangan devisa sekitar US$ 3,3 triliun atau US$ 3.300 miliar. Bandingkan dengan cadangan devisa Indonesia yang hanya US$ 110 miliar. Pada 2008 saat AS mengalami krisis akibat subprime mortgage, China menjadi penyelamat karena membeli sebagian besar surat utang AS. Sekarang sekitar US$ 1,16 miliar surat utang AS dibeli oleh China. Salah satu letak keberhasilan laju pembangunan ekonomi di China adalah pembangunan infrastruktur secara konsisten selama 2 dekade terakhir, tentu dengan ongkos yang sangat besar.
Krisis Utang
China termasuk salah satu negara di dunia yang mengalokasikan anggaran pembangunan infrastruktur dalam jumlah besar, sekitar 9% dari PDB. Dalam konteks ini, persentase anggaran China lebih besar daripada negara-negara maju lainnya, seperti AS, Jerman, Jepang, dan lain-lain. Indonesia sendiri selama ini hanya mengalokasikan dana infrastruktur 2,1% terhadap PDB. Hampir semua ekonom berdecak kagum dengan upaya dan pencapaian ekonomi China tersebut. Di sana-sini memang terdapat kritik terhadap pembangunan ekonomi di China, seperti pendapatan per kapita yang masih rendah (hanya sedikit di atas Indonesia) dan pembangunan cuma terkonsentrasi pada wilayah tertentu, seperti Shengzen yang ekonominya sangat gemerlap melebihi Beijing. Â Namun, kritik itu bisa ditutup oleh kinerja makroekonomi yang mencengangkan tadi. Tapi, kali ini, tampaknya seluruh pikiran perlu dipusatkan dengan mencermati perkembangan mutakhir yang mengagetkan di China: krisis utang.
Krisis utang itu tak lain untuk mengongkosi pembangunan infrastruktur dan proyek investasi untuk menstimulasi ekonomi saat terjadi krisis global, khususnya pada 2008 lalu. Pembangunan infrastruktur yang menyedot dana terbesar berasal dari pembangunan jalur rel kereta api dan jalan tol. Sampai 2010 saja sudah ratusan milar dana digelontorkan untuk pembangunan dua infrastruktur itu, belum termasuk pembangunan nuklir untuk mencukupi kebutuhan listrik. Dari mana dana untuk pembangunan tersebut? Ternyata sebagian anggaran itu diperoleh dari pembiayaan bank yang dijamin oleh pemerintah daerah, sehingga berakibat naiknya utang off-budget (di luar anggaran). Inilah awal mula krisis utang yang dapat mengakibatkan suhu tubuh China meningkat (demam). Pada 2007 neraca fiskal China masih surplus 2%, tahun lalu telah minus 2%. Saat ini diperkirakan rasio utang terhadap PDB sekitar 48%, sedangkan Indonesia 27%. Total utang China saat ini pada kisaran US$ 685 miliar dan PDB US$ 8,2 triliun (Kontan, 10 April 2013).
Jika dilihat lebih detail, komposisi utang off-budget itu disumbangkan oleh perusahaan infrastruktur pemerintah daerah (31,2%), departemen di pemerintah daerah (15,6%), unit layanan publik pemerintah daerah (20,2%), kementerian perkeretaapian (12,1%), dan perusahaan aset manajemen (20,9%). Di samping sebagai penjamin dari pembiayaan perbankan, pemerintah daerah itu (bahkan daerah yang kecil sekalipun) juga menerbitkan surat utang untuk berlomba-lomba membangun infrastruktur dan peningkatan investasi. Obsesi terhadap pertumbuhan ekonomi telah menenggelamkan sebagian pemerintah daerah dalam pusaran arus utang. Diperkirakan seluruh jumlah utang telah menggerogoti sekitar 20-40% kapasitas ekonomi daerah sehingga ke depan kemampuan mengalokasikan anggaran pembangunan dan sosial akan berkurang. Lebih dari itu, sekarang yang paling dicemaskan adalah ketika penerimaan anggaran jeblok, misalnya akibat krisis ekonomi, maka ekonomi China bakal terperosok.
Pelajaran China
Kasus China ini menarik dicermati karena dua hal pokok, khususnya bagi Indonesia. Pertama, pada saat ini (sampai kira-kira tahun 2025) pemerintah juga merencanakan pembangunan infrastruktur secara besar-besaran, utamanya lewat program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi). Kedua, secara formal pemerintah daerah telah dibekali dengan regulasi yang memungkinkan menerbitkan surat utang atau melakukan pinjaman untuk pembiayaan daerah. Dalam soal infrastruktur, pemerintah tidak salah memprioritaskannya karena kondisinya yang amat tertinggal dibanding negara lain sehingga menyulitkan percepatan pembangunan ekonomi. Namun, seperti pengalaman China, pemerintah mesti mengukur kemampuan agar ambisi mengejar pembangunan infrastruktur tidak sampai melebihi kapasitas pembiayaan nasional. Tugas lainnya, pembangunan infrastruktur di Indonesia sarat dengan kasus korupsi sehingga pekerjaan rumah ini juga mesti diselesaikan sebelum penggelontoran anggaran secara besar-besaran.
Berikutnya, meskipun beberapa daerah di Indonesia secara ekonomi memiliki kapasitas mengeluarkan surat utang maupun melakukan pinjaman, rasanya niat itu sebaiknya ditunda. Bukan semata karena “China syndrome†tersebut, namun secara keseluruhan tata kelola keuangan daerah (sebenarnya juga pusat) yang masih carut marut. Tata kelola yang buruk bukan semata karena faktor kapasitas birokrasi, tetapi akibat sistem politik berbiaya mahal yang memperbesar peluang terjadinya penyimpangan aturan main. Dalam situasi seperti sekarang, kebajikan lama yang mengutamakan kehati-hatian rasanya lebih tepat diutamakan ketimbang mencoba melayani seluruh ambisi yang kurang terukur. Jadi, kasus di China itu memang belum terbukti akan menjadi pemicu krisis ekonomi, namun fluktuasi ekonomi selalu didahului dengan gejala-gejala. Kalkulasi ekonomi menunjukkan kemungkinan datangnya krisis utang di China, sehingga Indonesia mesti menyiapkan dua hal berikut: mengantisipasi jika krisis terjadi dan memastikan praktik yang sama tidak diamalkan di sini.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef