Obama menang dan histeria massa berlangsung di seantero dunia. Tentu ada yang janggal di sini, karena kemenangan Obama tidak lantas membuat negara di luar AS menjadi lebih bebas, damai, atau sejahtera. Bahkan, kemenangan Obama tidak otomatis menggaransi kehidupan ekonomi dan politik di AS menjadi lebih baik. Tetapi, kejanggalan itu tetap dapat diterima dengan sekurangnya dua alasan berikut. Pertama, slogan kampanye Obama fokus kepada perubahan, yang idiom lengkapnya menjadi judul tulisan ini. Perubahan yang diharapkan Obama adalah rotasi kebijakan (ekonomi dan politik) yang berlainan dengan pendahulunya. Kedua, Obama menjadi buah bibir dunia bisa jadi karena politik â€merangkul/memeluk†(to hold) yang dia ekspresikan setiap kali berbicara soal politik luar negeri. Sehingga, warga dunia merasa lebih aman (secure) dengan kehadirannya. Kedua faktor inilah yang menyebabkan tema perubahan yang ditawarkan Obama diterima oleh warga AS dan dunia.
Perubahan Kebijakan
AS merupakan pigura yang bagus untuk menunjukkan bagaimana ekonomi pasar dikelola dengan baik, sampai kemudian krisis ekonomi 2008 melantakkan susunan ekonomi mereka. Dengan pijakan sistem ekonomi pasar tersebut (di bawah bendera liberalisasi), AS selama kurun waktu yang cukup panjang telah memberi inspirasi kepada seluruh negara di dunia tentang makna dan prospek ekonomi pasar. Hasilnya, sistem ekonomi negara (sosialisme) yang sempat dipuja oleh negara-negara di Eropa Timur, Amerika Latin, dan beberapa negara di kawasan Asia secara pasti ditinggalkan untuk segera berkiblat ke AS. Proses transisi ekonomi ke sistem pasar itu mulai massif dilakukan sejak dekade 1980-an, sehingga hari ini sistem ekonomi serba negara itu nyaris kehilangan semua pengikutnya. Bahkan, kemenangan total sistem ekonomi pasar itu sudah di genggaman tangan tatkala pada 1994 telah diratifikasi perdagangan bebas di bawah payung WTO (World Trade Organization).
Namun, khayalan indah tentang pasar bebas yang sudah di ujung kenyataan itu tiba-tiba pudar seketika saat ekonomi AS ambruk diterjang krisis keuangan, yang sebetulnya sudah tercium sejak Juli 2007 lalu (pada saat krisis subprime mortgage muncul ke permukaan). Semua ekonom menyepakati bahwa salah satu sebab krisis ini adalah absennya regulasi (khususnya di pasar uang) sehingga problem moral hazard menyeruak dalam kegiatan ekonomi. Di luar †perilaku menyimpang†tersebut, krisis global ini juga dianggap merupakan cacat bawaan dari sistem ekonomi pasar, di mana kekebasan ekonomi menjadi instrumen yang ampuh untuk mengakumulasi kesejahteraan bagi pihak yang bermodal dan meminggirkan pelaku ekonomi yang tunakapital. Negara-negara yang mengamalkan sistem ekonomi pasar secara menyeluruh membuktikan bahwa peningkatan pendapatan per kapita diiringi dengan ketimpangan pendapatan.
Tema itulah yang menjadi isu utama dari Obama, walaupun secara eksplisit tidak pernah berbicara mengenai ketidakadilan ekonomi antarwarga negara maupun pada level dunia. Secara jelas dia menyatakan akan menerapkan pajak progresif bila terpilih menjadi presiden, dimulai dari warga negara yang memiliki pendapatan per kapita di atas US$ 250 ribu. Tidak itu saja, Obama akan memberikan akses kredit untuk masyarakat yang berpendapatan rendah untuk berbagai keperluan, misalnya kredit rumah dan memulai usaha. Fokus kebijakan Obama ini jelas berbeda secara diametral dengan kebijakan ekonomi McCain yang memang mewakili kubu ekonomi pasar (walaupun dalam kasus krisis sekarang mereka tetap meminta negara melakukan bailout sebesar US$ 700 miliar). Terpilihnya Obama jelas mewakili konstituen yang menginginkan peran selektif negara, khususnya dalam pemihakan ekonomi. Inilah yang menandai fase baru ekonomi AS: mekanisme pasar harus tunduk terhadap visi negara.
Inspirasi Kebijakan
Situasi psikologis yang sama juga dirasakan warga diberbagai belahan dunia lainnya (rest of the world), di mana ketimpangan pendapatan kian menganga dan banyak pelaku ekonomi yang terlempar dari kegiatan ekonomi formal (push-out). Bagi kelompok ekonomi yang terkalahkan, slogan “change we believe in†menjadi semacam obat mujarab untuk mengobati luka yang dialami selama ini. Sehingga, setiap kebijakan (ekonomi) yang berpotensi mengubah nasib hidup kaum yang terpinggirkan tersebut mendapatkan apresiasi yang sangat tinggi. Perasaan kolektif itu kemudian bertemu dengan tawaran kebijakan yang diracik oleh Obama sehingga pertautan hati terjadi. Inspirasi kebijakan inilah yang diperkirakan akan menjadi wabah di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, sehingga warna kebijakan yang akan laku adalah afirmasi ekonomi yang tegas bagi kaum papa (the poor). Pemihakan itu tentu tidak berhenti pada level normatif, tapi juga model kebijakan yang lebih operatif.
Peristiwa politik di AS sekarang ini sekurangnya memberi tiga hikmah penting bagi pengelolaan negara. Pertama, tidak bisa kegiatan ekonomi semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar. Negara memiliki tanggung jawab untuk merawat semua warga negara, tanpa kecuali. Sayangnya, pasar tidak mampu secara jernih mengurus itu semua karena justru kebebasan yang dimilikinya. Kedua, pada ghalibnya politik selalu bermakna pemihakan, tentu dengan segala konsekuensinya. Dalam kasus Obama, pajak progresif yang diterapkan pasti akan memukul kelompok kaya. Tapi, ongkos itu harus diambil selama dengan cara itu sebagian besar kelompok masyarakat yang lain (miskin) mendapatkan jaminan hidup yang layak. Di sini harmoni sosial menempati posisi yang lebih tinggi ketimbang kesejahteraan individu. Ketiga, kebijakan populis tidak selamanya menakutkan kelompok makmur (the have) karena harmonisasi sosial justru menjadi syarat keberlangsungan kegiatan ekonomi mereka. Pelajaran ini semoga menjadi inspirasi bagi calon pemimpin (presiden) Indonesia.
Jawa Pos, 8 November 2008
*Ahmad Erani Yustika,
Ketua Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef