Presiden pada 16 Agustus 2012 lalu telah membacakan pokok-pokok kebijakan pembangunan (ekonomi) yang akan diprioritaskan pada 2013. Di bidang ekonomi, Presiden antara lain menyampaikan perlunya memikirkan soal ketahanan pangan dan energi, pengurangan kemiskinan yang berkelanjutan (melalui empat klaster yang telah didesain), pengurangan kesenjangan pembangunanan antardaerah, penciptaan lapangan kerja lewat program MP3EI (masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia), dan menyusun anggaran fiskal yang sehat. Terkait dengan yang terakhir itu, pada tanggal yang sama di malam hari Presiden juga menyampaikan Nota Keuangan RAPBN 2013 dengan isi antara lain: (i) defisit anggaran direncanakan sebesar 1,6% dari PDB; (ii) pertumbuhan ekonomi dirancang sebesar 6,8%; (iii) subsidi energi dan nonenergi sebesar Rp 316,1 triliun; (iv) penerimaan pajak Rp 1178,9 triliun; dan (v) belanja modal mendekati Rp 200 triliun.
Kualitas Pertumbuhan
Kami yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan juga telah membuat konsep APBN Alternatif lengkap, baik dari sisi asumsi ekonomi makro, alokasi anggaran, sumber pertumbuhan, maupun postur APBN keseluruhan. Terkait dengan inilah beberapa poin kunci perlu disampaikan untuk menanggapi APBN versi pemerintah tersebut. Pertama, asumsi pertumbuhan ekonomi pada APBN Alternatif 2013 tidak dirancang setinggi pemerintah, tapi 6,56%. Angka ini dibuat berdasarkan dua pertimbangan: (i) situasi ekonomi dunia belum sepenuhnya pulih dari krisis sehingga mengurangi kesempatan perolehan pertumbuhan ekonomi nasional, khususnya dari sisi penetrasi ekspor. Pada 2013, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 6,4%; LIPI 6,5%, dan Bank Indonesia 6,3-6,7%; dan (ii) pertumbuhan ekonomi tidak terlalu tinggi, namun memiliki mutu yang lebih baik karena bersandarkan kepada pertumbuhan sektor riil. Poin ini jauh lebih penting diupayakan ketimbang mengejar capaian pertumbuhan ekonomi semata.
Kedua, APBN Alternatif menambahkan tiga asumsi baru ekonomi makro untuk memastikan pembangunan ekonomi menjadi lebih bermutu, yaitu: (a) asumsi ketimpangan pendapatan (yang diukur dengan Gini Rasio). Asumsi ini dimasukkan untuk memastikan agar pertumbuhan ekonomi benar-benar jatuh ke sebagian besar masyarakat. Gini Rasio Indonesia dalam 7 tahun terakhir mengalami pemburukan, sehingga pada 2011 angkanya menyentuh 0,41. Oleh karena itu, dalam APBN Alternatif 2013 asumsi Gini Rasio diturunkan menjadi 0,35; (b) proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor informal pada Februari 2012 sebesar 62,71%. Ini tentu menggambarkan rendahnya kualitas ketenagakerjaan nasional. Asumsi ini juga perlu dimasukkan, sehingga proporsi pekerja informal turun menjadi 55%; dan (c) asumsi rasio pajak (tax ratio) dietatpkan sebesar 14% dari PDB sehingga penerimaan pajak pada 2013 ditargetkan minimal Rp 1200 triliun.
Ketiga, kami menggunakan ukuran yang berbeda dalam menghitung jumlah kemiskinan dan pengangguran. Definisi penduduk miskin yang hanya dinilai setara Rp 248.704 ribu/bulan jauh dari spirit nilai-nilai kemanusiaan. Dengan dasar itu, kami menggunakan data BPS dengan menggabungkan penduduk sangat miskin, miskin, dan hampir miskin sebesar 55,52 juta (22,8%). Jika memakai pendekatan ini, maka penduduk miskin diukur dengan pendapatan minimal Rp 298.448/bulan/kapita (hampir Rp 10.000/orang/hari). Pada 2013 ditargetkan dapat menurunkan kemiskinan pada level 20,5% (berkurang 5 juta jiwa). Sementara itu, pengangguran tidak menggunakan patokan bekerja satu jam/minggu, tapi kurang dari jam 15/minggu. Pertimbangannya, mereka yang bekerja kurang dari 15 jam per minggu pendapatannya masih jauh dari laik. Pada Februari 2012 jumlah tenaga kerja yang bekerja kurang dari 15 jam/minggu jumlahnya 12,5% (BPS, 2012), sehingga pada 2013 ditargetkan turun menjadi 11,0%.
Penguatan Sektor Riil
Dengan pertimbangan itu, dalam penyusunan alokasi anggaran APBN Alternatif ini sektor pertanian (dalam pengertian luas), UMKM, ketenagakerjaan, dan perindustrian mendapatkan alokasi anggaran yang lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya atau ketimbang sektor lainnya. Sektor pertanian dan industri (sektor riil) minimal anggaran naik 100% daripada tahun sebelumnya. Terdapat dua argumen mengapa kedua sektor ini diberi porsi anggaran yang cukup besar. Pertama, kedua sektor ini menyerap sekitar 55% dari total tenaga kerja, sehingga pertumbuhan sektor ini dipastikan akan menyerap tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan sektor lainnya. Ini sesuai dengan problem pengangguran yang masih tinggi. Kedua, bila kedua sektor ini tumbuh bagus, maka persoalan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan dapat diselesaikan sekaligus. Problem yang selama ini terjadi, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh sektor lainnya, sehingga justru menyulitkan upaya mengatasi masalah-masalah di atas.
Berikutnya, sektor industri harus dikembangkan lagi setelah dalam 6 tahun ini mengalami proses deindustrialisasi. Sekarang sumbangan sektor industri terhadap PDB hanya 24%, padahal pada 2005 lalu mencapai 28%. Anggaran untuk sektor perindustrian dipakai untuk mengembangkan industri pengolahan, khususnya yang memanfaatkan bahan baku domestik, seperti di sektor perkebunan dan perikanan. Saat ini Indonesia menjadi penyumbang ekspor terbesar untuk kelapa sawit, namun sayangnya tidak banyak dari komoditas itu yang diolah terlebih dulu sehingga memberikan nilai tambah yang lebih besar, seperti yang dilakukan oleh Malaysia. Hal yang sama juga terjadi pada komoditas karet, coklat, ikan, pertambangan, dan lain-lain. Di luar itu, industri tekstil, alas kaki, dan kulit yang banyak menyerap tenaga kerja perlu direvitalisasi sehingga menjadi pemain besar dunia. Industri tersebut bahan bakunya ada di dalam negeri, tapi selama ini tidak memeroleh dukungan dari pemerintah.
Dengan pola itu pula sektor koperasi/UMKM dan ketenagakerjaan perlu ditambah anggarannya agar memiliki bobot yang besar untuk menciptakan lapangan kerja. Koperasi dan UMKM harus menjadi motor perekonomian, di mana salah satu misi yang harus diemban adalah memindahkan pelaku ekonomi sektor informal masuk ke sektor formal. Kementerian Koperasi dan UMKM perlu bersinergi dengan Kementerian Pertanian dan Perindustrian untuk memastikan kegiatan di kedua sektor itu berbasis koperasi dan UMKM. Selama ini baru sekitar 25% UMKM yang dilegalisasi dan mudah mendapatkan akses keuangan. Dengan seluruh program-program tersebut akan bisa diciptakan 6 juta lapangan kerja baru dan mengurangi 5 juta orang miskin (sehingga pengangguran bisa berkurang sebesar 2,3% per tahun, tidak seperti selama ini pengangguran yang turun sangat lambat). Bila desain ini yang dipakai, maka akan terdapat perbedaan sumber pertumbuhan ekonomi sektoral (lihat tabel).
Akhirnya, secara keseluruhan format APBN Alternatif ini akan mengusung besaran APBN Rp 1.650 triliun, yang bersumber dari pajak Rp 1200 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 450 triliun. Belanja barang akan ditekan sehingga hanya sekitar Rp 180 triliun, subsidi sebesar Rp 250 triliun yang dibagi Rp 75 triliun untuk nonenergi dan Rp 175 triliun untuk energi (konversi gas harus jalan sehingga tidak memiliki implikasi terhadap kenaikan harga premium/solar), belanja modal dinaikkan menjadi Rp 200 triliun (khususnya untuk infrastruktur pertanian dan 75% untuk luar Jawa), dan dana transfer Rp 550 triliun, dengan asumsi seluruh dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah menjadi transfer daerah dan alokasi DAU dilaksanakan sesuai mandat Undang-undang. Anggaran ini juga didesain berimbang sehingga pemerintah tidak perlu menambah utang baru. Dengan postur ini, struktur ekonomi akan berpihak kepada sektor riil sehingga mempunyai dampak yang lebih besar terhadap kesejahteraan rakyat.
*Ahmad Erani Yustika, Ekonom Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif INDEF; Dewan Nasional Seknas FITRA
Pertanian, Peternakan   3,7-4,1   4,5
Pertambangan dan Penggalian   2,8-3,2   2,5
Industri Pengolahan   6,5-6,9   7,2
Listrik, Gas dan Air Bersih   6,6-7,0   6,3
Konstruksi   7,5-7,9   7,1
Perdagangan, Hotel, dan Restoran   8,9-9,3   8,5
Pengangkutan dan Komunikasi   12,1-12,5   11,0
Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan   6,1-6,5   6,0
Jasa-jasa   6,0-6,4      6,0
Produk Domestik Bruto   6,8-7,2   6,56