Analisis demografi saat ini hanya mendapakan porsi yang kecil dari pembuat kebijakan maupun analis ekonomi (sosial). Akibatnya, strategi pembangunan (ekonomi) yang didesain abai terhadap realitas demografi. Inilah yang menjadi salah satu dasar sulitnya merampungkan soal-soal ekonomi yang hampir menjadi klise, seperti pengangguran dan kemiskinan. Boleh saja masalah pengangguran dan kemiskinan itu dianggap sebagai buah dari instabilitas ekonomi internasional maupun volatilitas ketahanan ekonomi domestik, namun argumentasi ini belum menunjuk analisis yang lebih mendasar. Di sinilah aspek demografi menjadi salah satu tiang yang amat penting untuk mengisi kekosongan analisis mengenai rentannya strategi pembangunan. Dari perspektif ini, sebenarnya hanya terdapat dua hal yang penting untuk dikaji, yakni pertumbuhan penduduk yang sulit dikendalikan dan mobilitas penduduk desa-kota intranegara/urbanisasi.
Urbanisasi dan Aglomerasi
Konfigurasi mobilitas penduduk di dunia dalam beberapa dekade terakhir ini mengalami perubahan yang sangat pesat. Pada 1950, jumlah penduduk dunia yang tinggal di wilayah desa masih sekitar 70%, sedangkan sisanya (30%) menetap di kota. Pada 1980, jumlah penduduk dunia yang tinggal di desa turun menjadi 60% dan yang menetap di kota sekitar 40%. Pada 2008 ini diperkirakan jumlah penduduk dunia yang bermukim di desa dan kota sudah seimbang, yakni masing-masing sebesar 50%. Sedangkan pada 2015 diprediksi jumlah penduduk yang tinggal di kota sudah lebih besar ketimbang penduduk yang menetap di desa, yakni 60% berbanding 40% (United Nations, 2007). Tentu saja, deskripsi umum tersebut masih menyembunyikan data-data yang lebih rinci, misalnya perbedaan konfigurasi jumlah penduduk di negara maju (industri/jasa) dan negara berkembang (pertanian). Jika ini yang dicari, maka jelas proporsi penduduk yang tinggal di kota lebih besar di negara maju.
Akibat dari proses urbanisasi yang massif tersebut menjadikan beberapa kota besar di dunia dihuni lebih dari 10 juta penduduk. Sekurangnya terdapat 20 kota di dunia yang pada 2005 penduduknya lebih dari 10 juta, antara lain Tokyo, Mexico City, New York, Sao Paulo, Mumbai, Delhi, Shanghai, Calcutta, Jakarta, dan Buenos Aires. Di antara kota-kota itu, diperkirakan pada 2015 ada empat kota di dunia (Tokyo, Mexico City, Sao Paulo, dan Mumbai) yang menjadi “metacity”, yakni kota yang dihuni lebih dari 20 juta penduduk (dikenal juga dengan istilah urban agglomerations). Bahkan, Tokyo sejak 1975 sudah tergolong metacity karena ukuran jumlah penduduk yang tergolong jumbo. Pada 2005 saja penduduk kota Tokyo sudah mencapai 35 juta jiwa (United Nations, 2006). Jadi, saat ini telah terjadi proses pemerataan penduduk antara wilayah desa dan kota hampir disemua negara di dunia sehingga menimbulkan pantulan cermin yang berbeda dengan kondisi 50 tahun lampau.
Tentu saja, perubahan konfigurasi penduduk itu menimbulkan konsekuensi yang tidak sedikit. Bloom dan Khanna (2007) mencatat fenomena urbanisasi itu menyembulkan tiga sisi positif: (i) urbanisasi menyebabkan kenaikan pendapatan penduduk yang tinggal di perkotaan. Bahkan, di China pendapatan penduduk di kota lebih besar tiga kali lipat ketimbang penduduk desa; (ii) urbanisasi juga memicu peningkatan pendapatan pada level nasional karena produktivitas sektor industri/jasa lebih tinggi ketimbang sektor pertanian; dan (iii) urbanisasi berkontribusi terhadap pembangunan perdesaan melalui aliran dana dari kota (remittances). Namun, argumentasi itu tidak selamanya terbukti karena data lain menunjukkan gambaran yang sebaliknya. Salah satunya, urbanisasi ternyata diikuti dengan ketimpangan karena pada 1993 jumlah penduduk di kota yang miskin (pendapatan < 1 US$) hanya 18,5%, namun pada 2002 melonjak menjadi 24,2% (Revallion, et. al., 2007).
Pergeseran Kegiatan Ekonomi
Deskripsi tersebut sebetulnya mengabarkan bahwa tidak mungkin lagi di wilayah kota dilakukan aktivitas-aktivitas ekonomi yang boros lahan, termasuk di Indonesia. Sektor industri yang dulu dan sekarang menjadi motor penggerak perekonomian kota, mulai sekarang sudah sulit diteruskan karena keterbatasan lahan. Pendirian pabrik-pabrik, gudang-gudang, dan piranti pendukungnya lambat laun harus digeser ke pinggiran kota. Jika tidak, maka wajah kota akan kian semrawut, polutif, dan gersang. Sehingga, di masa depan aktivitas ekonomi yang layak dilakukan di wilayah kota hanyalah sektor jasa dan perdagangan. Sebagai kota jasa, peran kota cuma menjadi instrumen yang memfasilitasi kegiatan administrasi, keuangan, dan distribusi barang/jasa. Sedangkan sektor industri yang berbasis nonsumber daya alam (nonpertanian) digeser menuju ke wilayah pinggiran kota. Model ini sekaligus akan mengeliminasi persoalan kemiskinan dan pengangguran di perkotaan.
Seterusnya, di Indonesia harus diputuskan sejak sekarang arah pembangunan desa adalah industrialisasi dengan basis sektor pertanian lewat skala usaha kecil/menengah. Pemerintah bertugas memberikan insentif kebijakan untuk merangsang sektor swasta melakukan investasi tersebut, sekaligus mendesain aturan main yang tidak menempatkan pelaku sektor hulu (baca: petani) kalah dalam desain baru ini. Di luar itu, infrastruktur ekonomi yang memadai di desa juga harus dibangun untuk menopang program tersebut. Jika pola ini dilakukan secara konsisten, maka 20 tahun ke depan perekonomian desa akan tumbuh dengan pesat tanpa kehilangan karakter perdesaan. Jalan ini di samping akan menerobos kemandegan ekonomi desa, juga akan mencegah pergerakan penduduk ke wilayah kota dan memastikan tidak terjadi perbedaan tingkat kesejahteraan antara desa dan kota. Di sinilah baru tampak betapa pentingnya pengetahuan demografi untuk mendukung keberhasilan strategi tersebut.
Seputar Indonesia, 4 Februari 2008
*Ahmad Erani Yustika, PhD Ketua Program Studi Magister
Ilmu Ekonomi FE Unibraw dan Ekonom Indef, Jakarta