Pada APBN 2013 pemerintah kembali mendesain anggaran defisit, artinya pengeluaran lebih besar dari penerimaan. Seperti biasa, defisit anggaran itu akan dibiayai oleh utang, baik utang domestik maupun luar negeri. Dalam beberapa tahun terakhir, porsi utang domestik lebih besar dari utang luar negeri sehingga saat ini total utang domestik sudah lebih banyak dibandingkan luar negeri. Utang domestik itu bersumber dari surat utang negara (SUN) yang bunganya lebih tinggi, sehingga pemerintah mesti hati-hati mencermati hal ini karena menjadi beban APBN. Di luar itu, APBN 2013 berpotensi mengalami penggelembungan pengeluaran akibat asumsi harga BBM yang kemungkinan lebih rendah dari kenyataan. Implikasinya, jika pemerintah tidak mengambil opsi kebijakan penghematan atau kenaikan harga, maka subsidi dipastikan akan menjadi lebih besar, baik untuk minyak maupun listrik. Pada APBN 2013 pemerintah mengalokasikan subsidi BBM sebesar Rp 193,8 triliun dengan asumsi harga ICP sebesar US$ 100/barrel.
Secara lebih detail, pembengkakan subsidi BBM itu bisa bersumber karena tiga hal berikut. Pertama, seperti yang telah diungkapkan di muka, kemungkinan rata-rata harga minyak internasional sepanjang 2013 diperkirakan di atas US$ 100/barrel akibat pemulihan ekonomi secara bertahap di Eropa dan AS. Jika ini yang terjadi, maka kebutuhan subsidi akan meningkat. Kedua, dipastikan pemerintah akan sulit mengendalikan volume konsumsi BBM pada kisaran 48 juta kiloliter, seperti dalam asumsi APBN, jika upaya penghematan dan kenaikan harga tidak diambil pemerintah. Sangat mungkin terjadi volume konsumsi menembus angka 50 juta sehingga subsidi meningkat. Terakhir, subsidi juga akan meningkat bila lifting minyak lebih kecil dari asumsi yang sebesar 900 ribu barrel/hari. Dalam beberapa tahun terakhir lifting minyak selalu di bawah angka asumsi itu, sehingga diprediksi tahun inipun kondisinya tidak jauh berbeda.
Tentu saja potensi pembengkakan pengeluaran APBN 2013 tidak hanya berasal dari subsidi, tapi dimungkinkan pula oleh risiko fiskal yang membesar, pembayaran utang yang lebih banyak karena depresiasi rupiah, atau pos lainnya. Pertanyaannya, jika memang pembengkakan pengeluaran itu benar-benar terjadi, dari mana sumber untuk menutupnya? Jawaban yang paling gampang tentu saja dengan menambah utang. Namun, model ini sangat riskan karena menjadi beban fiskal dalam jangka panjang dan membuatnya menjadi tidak sehat. Selama ini saja sekitar Rp 120 triliun uang dihabiskan untuk pembayaran bunga dan cicilan pokok utang, sehingga mengurangi kapasitas fiskal untuk menggerakkan perekonomian. Jadi pemerintah  mesti bekerja keras untuk mencari sumber lainnya, misalnya peningkatan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Tentu saja langkah ini jauh lebih berat dan rumit ketimbang lewat jalur utang.
Pajak sangat mungkin dinaikkan karena rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) masih rendah, hanya di kisaran 12%, padahal potensi tax ratio bisa di atas 15%. Sampai 2011 lalu ketaatan membayar pajak hanya sekitar 55% untuk pajak perorangan dan 33% untuk pajak badan. Jika ketaatan pajak dinaikkan menjadi 75% saja, baik perorangan maupun badan, maka tax ratio bisa naik mendekati 15%. Bila hal itu diiringi dengan penambahan wajib pajak (tax payer), yakni mereka yang sudah punya NPWP, maka tidak sulit mendapatkan tax ratio sebesar Rp 16%. Sumber lainnya juga tak kalah besar, yaitu penerimaan dari hasil sumber daya alam (minyak, gas, batu bara, ikan, hutan, dan lain-lain) yang kerap bocor karena tata kelola yang buruk. Isu tata kelola ini juga terjadi di BUMN sehingga laba yang diperoleh belum mencapai titik optimal. Jadi, sumber penerimaan sebetulnya sangat banyak, namun jalan yang harus ditempuh memang berliku. Sekarang terpulang kepada pemerintah untuk memilih jalur yang mana.
*Ahmad Erani Yustika,
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef