Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan secara lengkap kinerja ekonomi nasional 2012. Banyak hal menarik yang bisa diungkap dari data-data tersebut, sehingga nantinya dapat menjadi bahan perbaikan pada tahun-tahun mendatang. Pertumbuhan ekonomi, seperti diduga, tidak bisa mencapai target pemerintah. Pada 2012 pertumbuhan ekonomi pada 2012 hanya 6,23%; di bawah target pemerintah sebesar 6,5% (sebelumnya target pemerintah malah 6,7%). Meski perolehan pertumbuhan ekonomi itu tergolong cukup tinggi dalam situasi ekonomi global, namun sebagian penyebab tidak tercapainya target juga terdapat andil ketidakcakapan pemerintah dalam memanfaatkan sumber daya yang dipunyai. Di luar itu, jika dilihat dari kontribusi masing-masing sektor ekonomi terhadap PDB, terdapat masalah yang makin mencemaskan, yaitu kian menurunnya donasi sektor tradeable (riil) terhadap PDB (produk domestik bruto). Pada saat perekonomian dihantui persoalan ketenagakerjaan dan kemiskinan, berita ini tentu menyedihkan.
Kemerosotan Sektor Riil
Penurunan pertumbuhan ekonomi pada 2012 ini sebetulnya merupakan akibat dari dua hal pokok. Pertama, perdagangan internasional (ekspor-impor) tekor akibat ketidakmampuan pemerintah mendorong ekspor sehingga neraca perdagangan defisit. Sepanjang 2012 perdagangan mengalami defisit sebesar US$ 1,6 milar. Pada 2012 itu sebanyak 7 kali (bulan) perekonomian mengalami defisit, hanya pada awal tahun neraca perdagangan agak bagus. Kedua, pemerintah juga tidak bisa memanfaatkan anggaran (APBN) untuk mendukung pertumbuhan ekonomi secara optimal akibat penyerapan yang buruk dan alokasi yang salah arah. Pemerintah tidak dapat menyerap keseluruhan anggaran, termasuk belanja modal yang diharapkan menjadi stimulus investasi. Di luar itu, alokasi APBN sebagian besar habis untuk belanja birokrasi sehingga ruang untuk menyuntik sektor tertentu agar tumbuh bagus menjadi hilang, seperti sektor pertanian, industri, atau pelaku ekonomi skala kecil.
Selanjutnya, kualitas pertumbuhan juga makin menurun sebab kontribusi sektor pertanian dan industri terhadap PDB juga merosot dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2012 sumbangan sektor pertanian (peternakan, kehutanan, dan perikanan) terhadap PDB hanya 14,44%; turun dibandingkan 2011 (14,70%) dan 2010 (15,29%). Sementara itu, sektor industri kontribusinya pada 2012 hanya 23,94%, padahal pada 2011 mencapai 24,33% dan pada 2010 sebesar 24,80%. Perkembangan ini makin menyulitkan pemerintah untuk keluar dari jalur “deindustrialisasiâ€. Sebaliknya, sektor nontradeable, seperti perdagangan, transportasi dan komunikasi, konstruksi, jasa, dan lain-lain donasinya terhadap PDB makin bertambah. Sebetulnya struktur tersebut tidak terlalu bermasalah apabila pada sisi penyerapan tenaga kerja juga mengalami pergeseran. Persoalannya, penurunan kontribusi sektor riil terhadap PDB tidak diikuti dengan penurunan pekerja di sektor itu sehingga memunculkan problem kemiskinan dan ketimpangan (juga ketimpangan pendapatan).
Berita agak menggembirakan sebetulnya terjadi di sektor pertanian yang tumbuh nyaris 4% (meningkat dibanding 2011 dan 2012), namun pertumbuhan itu tetap belum bisa meningkatkan sumbangan sektor tersebut terhadap PDB. Sebaliknya, sektor industri pertumbuhannya di bawah 6%, turun ketimbang 2011, sehingga wajar bila kontribusinya terhadap PDB juga merosot. Akhirnya, problem yang lebih serius dari kinerja ekonomi 2012 adalah ketimpangan Jawa dan luar Jawa yang makin dalam. Pada 2012, kontribusi Pulau Jawa mencapai 57,63% terhadap (pada 2011 sebesar 57,59%) dan Sumatera 23,77% (pada 2011 sebesar 23,55%). Pulau lain, seperti Kalimantan kontribusinya 9,3% (sebelumnya 9,55%) serta Maluku dan Papua 2,06% (sebelumnya 2,13%) makin mengecil terhadap perekonomian (Investor Daily, 6 Februari 2012). Situasi ini tentu mengecewakan karena instrumen yang telah didesain untuk membuat perekonomian menjadi lebih seimbang antarpulau, seperti desentralisasi ekonomi, ternyata tidak berhasil.
Menata Struktur Ekonomi
Perdangan internasional dan investasi merupakan ekonomi ke depan. Tanpa bermaksud mengorbankan pasar ekonomi domestik yang memang besar, keberhasilan memacu perekonomian juga dipengaruhi oleh daya saing komoditas di pasar global. Pemerintah tidak bisa lagi hanya mengandalkan komoditas yang terpusat pada sumber daya alam dan pasar negara tertentu saja. Permintaan dunia sudah berubah drastis dan negara yang berhasil mencapai kemakmuran baru juga makin bertambah banyak, sehingga pemerintah mesti mengikuti perkembangan dan perubahan itu dalam mengelola ekonomi domestik, khususnya dalam melakukan diversifikasi komoditas ekspor. Demikian pula, investasi juga mengikuti perubahan tersebut dengan memprioritaskan kegiatan penanaman modal yang memiliki nilai tambah. Orientasi ini tidak harus diartikan dengan mengadopsi teknologi tinggi, tapi menggandakan aktivitas dari sumber daya ekonomi dengan teknologi madya.
Perubahan mendasar yang segera harus dilakukan pemerintah adalah menggeser tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa (nontradeable). Kebijakan ini harus ditempuh sebab kontribusi sektor pertanian sudah menyusut sangat besar terhadap perekonomian, tapi penyerapan tenaga kerjanya besar sehingga memproduksi kemiskinan. Ini jelas langka yang tidak mudah sebab menggeser tenaga kerja ke sektor industri dibutuhkan keterampilan dan pendidikan, padahal 67% tenaga kerja hanya tamat SMP ke bawah. Ada dua upaya gradual yang bisa dikerjakan pemerintah untuk mendongkrak kembali sektor industri. Pertama, membangun sektor industri dan jasa yang mengolah sektor pertanian dengan teknologi sedang, sehingga lompatan keterampilan yang dibutuhkan tidak terlalu tinggi (serta bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar). Kedua, akselerasi yang massif untuk mendorong pendidikan masyarakat sehingga sekurangnya 75% sudah berpendidikan minimal SLTA.
Terakhir, kasus makin besarnya kontribusi Jawa dan Sumatera dalam konfigurasi ekonomi nasional merupakan peringatan yang mesti diperhatikan pemerintah. Desentralisasi ekonomi ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan. Persentase dana transfer sebaiknya dipikirkan untuk diubah dengan memberi porsi yang lebih besar kepada daerah, misalnya 60% dari total anggaran (sekarang pada kisaran 30%). Tentu saja penambahan anggaran itu harus diikuti dengan aturan main baru, misalnya pembatasan alokasi anggaran untuk belanja birokrasi dan kewajiban mendahulukan program terkait pengurangan kemiskinan dan pengangguran (juga pembangunan infrastruktur). Di luar itu, kebijakan pembangunan infrastruktur juga menambah bobot ketimpangan Jawa dan luar Jawa. Sudah saatnya pembangunan infrastruktur 75% dilakukan di luar Jawa sehingga percepatan pembangunan ekonomi lebih mungkin dikerjakan. Hanya dengan langkah-langkah inilah proyek memenangkan ekonomi Indonesia di masa depan dapat dicapai.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef