Lazimnya, setiap akhir tahun para ekonom (dan juga pemerintah) sibuk membuat proyeksi ekonomi di tahun mendatang. Saat ini pula, proyeksi ekonomi itu juga terjadi, tentu dengan nada getir. Sebabnya jelas, krisis finansial yang bersumbu di AS menjadi titik api yang menyebar ke semua negara lain, tidak terkecuali Indonesia. Prediksi moderat memperkirakan gempa ekonomi ini baru akan berakhir pada awal 2010. Sedangkan yang memiliki kalkulasi lebih pesimis menyebut krisis ekonomi sekarang sangat mungkin akan memakan tempo sekitar 2-3 tahun. Itu artinya, ekonomi baru akan pulih pada awal 2011 atau 2012. Perkiraan yang terakhir ini tentu memilukan jika nanti benar-benar terbukti, karena betapa hidup akan menjadi kian sulit. Di antara pihak yang pesimis menyebut faktor politik (baca: presisi dan efektivitas kebijakan) menjadi penentu seberapa cepat suatu negara akan lekas mengatasi krisis dan kembali bergeliat lagi.
Tahun Politik
Masalahnya, aspek politik itulah yang justru menjadi soal Indonesia. Secara ekonomi, sebetulnya krisis kali ini tidak perlu menimbulkan kepanikan yang besar karena tidak akan sampai menggempur sendi-sendi terpokok ekonomi nasional. Sekadar ilutrasi, krisis finansial yang menghantam sektor finansial (pasar saham) dan kemudian berlanjut menjadi krisis nilai tukar secara teoritis hanya akan menekan tiga jenis aktivitas ekonomi, yaitu pasar modal, industri orientasi ekpor, dan produksi yang menggunakan bahan baku impor. Pasar modal kira-kira hanya melibatkan 60 ribu orang dan secara total bernilai sekitar 5% dari pergerakan finansial di negeri ini. Industri yang berorientasi ekspor belum begitu banyak di negeri ini, bahkan sebagian dilakukan oleh korporasi asing (MNCs). Rasio ekspor terhadap PDB sekitar 28%, bandingkan dengan Malaysia yang mencapai 100% dan Singapura menembus 250%. Negara-negara itu pasti akan sangat terpukul akibat krisis ini.
Selanjutnya, memang benar sebagian sektor industri nasional sangat tergantung dari bahan baku impor, seperti industri kimia, peralatan listrik, elektronika, dan lain sebagainya. Tapi secara ekstrem bila diandaikan sektor-sektor itu akan lumpuh, ekonomi nasional tetap bisa bergeliat dengan mensubstitusi kepada produksi lain, meskipun tidak secepat membalik tangan. Sebagian industri itu akan melakukan adaptasi berupa penurunan produksi, fokus kepada pekerjaan yang masih menggunakan bahan baku domestik, atau mengurangi tenaga kerja. Jika itu semua terjadi, maka pemerintah dapat menyiapkan langkah terpadu untuk mengompensasi pelemahan kegiatan ekonomi. Langkah-langkah terpadu itu dapat dipetakan dalam tiga aspek. Pertama, pengalihan (switching) anggaran sebagai instrumen stabilisasi harga. Kedua, relaksasi sektor moneter sehingga dapat memicu geliat ekonomi. Ketiga, setiap regulasi harus detail sampai ke sektoral atau (bahkan) komoditas.
Jadi, secara ekonomi dampak krisis yang ditimbulkan seharusnya tidak terlalu parah dan juga terdapat solusinya teoritisnya. Masalahnya, seperti telah diungkapkan di muka, untuk mengamalkan itu dibutuhkan presisi dan efektivitas kebijakan. Celakanya, dua syarat itu akan menjadi barang â€langka†di tahun depan (2009). Pemilihan umum legislatif dan eksekutif (pilpres) menjadi sebab kelangkaan efektivitas dan presisi kebijakan tersebut. Presiden memang secara eksplisit sudah menyampaikan bahwa pemerintah (presiden dan jajaran menteri) akan fokus menjalankan pemerintahan, termasuk menangani krisis ekonomi. Tapi hampir bisa dipastikan jaminan verbal itu sulit menjelma menjadi kerja/komitmen keseharian ketika desakan dan panggilan politik datang bertubi-tubi. Naasnya lagi, portofolio beberapa menteri yang bersinggungan dengan penyelesaian krisis (ekonomi), merupakan â€orang politik/partai†yang harus konsentrasi kepada pemenangan pemilu.
Memilih Fokus
Situasi Indonesia 2009 tersebut jelas amat berbeda dengan AS pada tempo yang sama. Negara tempat sumber krisis itu pada tahun depan justru diberkahi dengan kepemimpinan baru yang tidak lagi dibebani dengan aneka proses politik yang membuat kosentrasi pemerintahan terganggu. Presiden terpilih AS, Barrack Obama, memiliki ruang yang leluasa untuk mendesain kebijakan ekonomi dengan pelaksana (menteri) yang semuanya membawa spirit baru. Walaupun belum dapat dipastikan hasilnya, tapi dapat diduga efektivitas dan presisi kebijakan akan jauh lebih mungkin terjadi ketimbang situasi di Indonesia. Oleh karena itu, sebagian ekonom berpendapat meskipun AS merupakan episentrum krisis dan terkena dampak paling besar, namun potensi untuk mengatasinya justru yang paling besar pula. Sebabnya, suasana politik di AS mendukung sepenuhnya bagi upaya pemulihan krisis ekonomi tersebut. Sebaliknya, hal yang sama tidak dijumpai di Indonesia.
Pemerintah sendiri nampaknya secara implisit mengakui kemungkinan tersebut, sehingga beberapa waktu lalu merevisi target-target ekonomi yang diinginkan. Misalnya, pemerintah menurunkan target pertumbuhan ekonomi menjadi 4,5 – 5%, jauh menurun ketimbang proyeksi semula yang berkisar pada angka 6%. Bagi saya, dengan mempertimbangkan potensi inefektivitas kebijakan itu, lebih baik pemerintah fokus kepada 1-2 soal saja, misalnya pengangguran. Rasanya terlalu ambisius bila pemerintah ingin mengatasi seluruh dampak krisis ekonomi di tengah-tengah perayaan politik. Pada titik ini, angka-angka proyeksi menjadi tidak begitu penting lagi, karena pasti presisinya lemah. Jika pemerintah sepakat dengan hal itu, maka instrumen fiskal dan moneter dipakai memerangi masalah pengangguran tersebut, entah dengan kegiatan yang memiliki efek jangka pendek (crash program) maupun jangka menengah/panjang (misalnya pembangunan infrastruktur pedesaan dan pertanian). Selebihnya, sebaiknya pemerintah berhenti menebar aneka janji.
Bisnis Indonesia, 26 Desember 2008
*Ahmad Erani Yustika,
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef