Jantung pengatur ekonomi yang terkait dengan fiskal bersumber dari pajak dan bea cukai. Keduanya bukan melulu berbicara soal penerimaan negara, tapi juga memompa kegiatan ekonomi sesuai dengan arah kebijakan fiskal. Insentif fiskal kerap disusun pemerintah untuk mendorong investasi agar target pertumbuhan ekonomi atau penciptaan lapangan kerja tercapai. Hal yang sama juga berlaku dengan bea cukai. Efisiensi logistik, percepatan perdagangan, dan gemuruh ekonomi sebagian berhubungan dengan kinerja bea cuka tersebut. Pajak dan bea cukai pada titik ini bukan semata instrumen kebijakan, tapi juga “infrastruktur†ekonomi yang punya daya pengaruh luas terhadap pembangunan. Preblemnya, negara berkembang amat lemah dalam menyusun aturan main (kelembagaan) yang memantik organisasi atau kebijakan menjadi berdaya. Indonesia, jelas bukan perkecualian.
Menyangkut bea cukai ini cukup banyak persoalan yang terjadi dan tak kunjung dirampungkan. Efisiensi logistik di Indonesia tergolong rapuh dan sebagian terkait dengan kinerja bea cukai. Sistem yang dibangun sampai hari ini belum mampu pula memercepat pelayanan sehingga kedodoran menghadapi tekanan pergerakan ekonomi. Studi yang dilakukan Bank Dunia (2011), misalnya, dwelling time pada 2011 mencapai 5,2 hari. Namun, pada 2014 laporan dari Bea Cukai Tanjung Priok malah meningkat menjadi 5,93 hari. Di luar itu, masalah akut lainnya adalah penyelundupan barang. Tidak pernah ada angka akurat soal ini, tapi jelas amat besar karena di pasaran barang-barang selundupan itu mudah sekali ditemui pada banyak komoditas. Realitas ini bukan hanya menghancurkan kredibilitas institusi, tapi juga menenggelamkan kegiatan ekonomi domestik.
Kondisi pelabuhan sendiri juga memilukan. Kapal-kapal yang mau bersandar harus berpikir keras karena soal klise: jumlah dermaga yang terbatas, keberadaan crane dan alat angkut lainnya, luas lahan terminal, kedalaman draft, dan kualitas aparatur. Soal ini sudah diendus sejak lama, namun tak kunjung ada eksekusi kebijakan yang dijalankan agar ada perbaikan. Soal jumlah aparatur sebetulnya tak terlalu sedikit dibandingkan negara lain (11.644), sebab masih lebih banyak ketimbang Singapura, Brunei, Kamboja, Myanmar, Filipina, Australia, Brazil, dan Thailand. Memang jumlah aparatur Indonesia lebih kecil daripada Malaysia, Jerman, China, dan India (World Custom Organization, 2015). Jadi, problem kualitas lebih menonjol ketimbang jumlah. Hasilnya, ongkos dan waktu yang dibutuhkan menjadi lebih mahal dan lama dibandingkan negara lain.
Celakanya, pada saat yang sama Indonesia sangat gencar meratifikasi perdagangan bebas atau blok perdagangan dengan negara/kawasan lain. Situasi ini menyebabkan arus transaksi perdagangan makin intensif, meskipun sedikit diperlambat oleh krisis ekonomi global. Pemberlakuan perdagangan bebas dan eksistensi hambatan non-tarif menghendaki kesigapan aparatur bea cukai memfasilitasi aneka kerumitan tersebut. Demikian pula praktik illegal transhipment, penyelundupan dengan modus canggih, dan kebijakan domestik tertentu (seperti larangan ekspor minerba) juga bagian dari kenyataan yang mesti ditangani dengan saksama. Di lapangan, persoalan-persoalan tersebut belum tampak dikelola dengan sistem yang mapan dan implementasi terukur. Sehingga, gurita masalah masih mencengkeram kukuh.
Dari mana keruwetan ini mesti diurai? Pertama, struktur organisasi mesti dikaji kembali dan disesuaikan dengan dinamika di lapangan yang terus berubah. Struktur organisasi yang bagus selalu tak berjarak dengan fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mengeksekusi tugas. Pembagian kerja tak boleh ada yang tumpang-tindih atau terdapat mandat tertentu yang lowong. Kedua, pemanfaatan sistem informasi dan teknologi yang bisa memotong potensi penyimpangan dan efisiensi pelayanan. Deteksi penyimpangan harus bisa dicegah dari hulu sampai hilir dengan bekal sistem informasi dan teknologi itu. Demikian juga integrasi layanan antarinstitusi via NSW (National Single Window) saat ini masih jauh dari ideal. Â Ketiga, kualitas dan disiplin kerja aparatur mesti dibangun dengan sistem penghargaan dan penalti yang adil. Proses rekruitmen, penempatan, dan penilaian kinerja memakai basis yang terang dan terukur sehingga iklim kerja menjadi sehat.
Bila sekarang bea cukai punya hajat memilih pimpinan (Dirjen Bea Cukai), maka tentunya kepemimpinan yang mampu memulihkan dan mengatasi persoalan berat di atas menjadi prioritas. Integritas yang kuat dan kompetensi yang prima menjadi sandaran utama. Aktivitas di Bea Cukai membuka godaan moral hazard dengan iming-iming yang nyaris tanpa batas, sehingga tanpa kepemimpinan yang kredibel, maka seluruh sistem yang dibangun akan guncang. Sementara itu, kompetensi juga tak boleh dibiarkan lenyap karena impresi aparatur akan terbangun apabila dipandu oleh orang yang andal, di samping sanggup membangun sistem yang utuh. Soliditas kebijakan hanya mungkin lahir dari pemimpin yang lurus dengan kecakapan luas. Oleh karena itu, pemerintah tak boleh khilaf memilih figur pimpinan bea cukai karena ongkosnya terlalu mahal.
Â
Â
*Ahmad Erani Yustika, Ekonom Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef
Â