Pemerintah baru-baru ini telah meluncurkan “mainan baru†yang diberi nama: Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Proyek baru ini menambah daftar panjang rencana-rencana hebat yang dibuat sebelumnya, namun sayangnya hingga kini miskin realisasi, seperti roadmap investasi dan rencana aksi pembangunan. Seperti rencana-rencana sebelumnya, pertanyaan yang kerap diajukan adalah: apakah rencana ini memiliki relevansi dengan kebutuhan pembangunan dan bagaimana rencana ini hendak diimplementasikan? Setelah membaca dokumen tebal dengan aneka gambar, bagan, grafik, dan tabel yang penuh warna itu, saya memiliki banyak daftar pertanyaan (tepatnya kritik) terhadap dokumen tersebut. Seluruh kritik ini berujung kepada pesimisme yang tegas: buramnya masa depan pembangunan ekonomi Indonesia.
“Not Business as Usualâ€
Pemerintah sah-sah saja membuat dokumen rencana pembangunan seperti ini, namun seyogyanya rencana tersebut harus berjalan paralel dengan rencana induk pemerintah. Sejak 2005, Indonesia secara resmi telah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), yang keberadaannya dimaksudkan untuk menggantikan GBHN pada masa Orde Baru. Kritik pertama terhadap rencana ini adalah bagaimana posisi MP3EI ini terhadap RPJPN? Jika MP3EI dimaksudkan sebagai rencana teknis untuk menjalankan RPJPN tentu tidak tepat karena sudah ada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), yang merupakan rincian rencana-rencana pembangunan berdimensi lima tahun (derivasi dari RPJPN). Jika dilihat fokusnya hanya kepada pembangunan ekonomi, tentu MP3EI juga tidak layak dilihat sebagai turunan dari RPJPN yang bersifat multidimensi.
Selanjutnya, di dalam dokumen MP3EI tersebut dipakai istilah pendekatan terobosan (breakthrough) yang didasari oleh semangat “not busniness as usualâ€. Padahal, yang dimaksud pendekatan “tidak biasa†itu tidak lain adalah memadukan peran pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan swasta dalam menjalankan pembangunan ekonomi. Entah siapa yang membuat istilah sesuatu “yang tidak biasa†itu, karena pendekatan tersebut bukankah sudah dipraktikkan secara masif selama ini. Pemerintah juga memiliki kehendak melakukan deregulasi (debottlenecking) terhadap regulasi yang menghambat pelaksanaan investasi. Ini juga bukan hal yang baru karena pada saat Boediono menjabat sebagai Menko Perekonomian sudah mengeluarkan banyak paket kebijakan ekonomi, yang antara lain berisi paket percepatan investasi, pemapanan sektor keuangan, dan penguatan sektor riil.
Masalah berikutnya yang tidak kalah gawat adalah pelaksanaan MP3EI dilakukan dengan mengintegrasikan tiga elemen utama, yakni: (i) mengembangkan 6 koridor ekonomi (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Bali-Nusa Tenggara); (ii) memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi; dan (iii) memperkuat kemampuan SDM dan Iptek nasional. Secara konseptual tidak ada yang salah dengan rencana hebat ini, namun pertanyaan sentralnya adalah: semua konsep itu hendak mendukung pembangunan ekonomi yang seperti apa? Membagi kegiatan ekonomi berdasarkan pulau-pulau besar di Indonesia tentu boleh-boleh saja, tapi apa artinya jika tidak memperlihatkan leading sector pembangunan ekonomi Indonesia. Sebab, salah satu masalah serius perekonomian nasional saat ini tidak lain adalah ketiadaan sektor prioritas yang menjadi pemandu pembangunan ekonomi secara keseluruhan.