Pemerintahan yang efektif kerap kali diukur dari kesigapan mengambil kebijakan dan keterampilan menjalankannya di lapangan. Pemerintah mesti gesit mengambil keputusan, sebab mereka menjadi pemandu tiap kali muncul masalah. Demikian pula, pemerintah harus terampil karena kebijakan yang baik akan gagal di lapangan bila syarat pokok itu tak dimiliki. Â Celakanya, dua hal penting itu tak dipunyai pemerintah sekarang, khususnya jika melihat cara pemerintah menangani persoalan minyak. Sejak tahun lalu pemerintah selalu gamang dalam mengambil kebijakan harga BBM: apakah harus mengurangi subsidi (dengan konsekuensi kenaikan harga) atau tetap mempertahankan harga BBM subsidi (dengan risiko penambahan subsidi dalam pos APBN). Serangkaian studi/riset sudah dilakukan (bahkan melibatkan konsorsium Perguruan Tinggi besar di tanah air pada tahun lalu), rapat-rapat digelar secara intensif, dan opsi-opsi bentuk kenaikan atau pembatasan konsumsi dibentangkan, tapi pemerintah tak juga mengambil keputusan permanen.
Ekspektasi Inflasi
Opsi terbaru yang didalami pemerintah adalah membuat dua jenis harga minyak subsidi. Pertama, untuk kendaraan mobil pribadi harus membeli BBM subsidi dengan harga pada kisaran Rp 6.500-7.000, di luar pilihan pertamax dengan harga pasar (sekitar Rp 10.000). Skema ini dianggap laik oleh pemerintah karena asumsinya pemilik mobil adalah golongan berpendapatan menengah ke atas sehingga memiliki kemampuan membeli dengan harga tersebut. Kedua, untuk kendaraan motor dan transportasi publik tetap diperbolehkan membeli BBM subsidi dengan harga Rp 4.500 (tidak ada kenaikan harga). Argumennya, kelompok ini memiliki pendapatan yang tidak terlalu tinggi dan transportasi publik melayani kepentingan masyarakat golongan bawah (di samping membawa barang/jasa untuk didistribusikan ke masyarakat). Dengan menggunakan kalkulasi ini, menurut versi pemerintah, diperkirakan akan didapat penghematan subsidi sebesar Rp 20 triliun.
Pemerintah nampak yakin dengan pilihan itu, apalagi para gubernur juga sudah mendukung (asalkan kebutuhan BBM di daerah dipenuhi jumlahnya). Tapi gelagatnya pemerintah kembali ragu untuk mengambil pilihan itu. Bahkan, dalam beberapa hari ini kegamangan nampak terlontar dari pemerintah karena ada tanda-tanda penolakan masif dari kelompok masyarakat tertentu, khususnya buruh. Jika itu benar terjadi, maka situasi tersebut melengkapi seluruh “drama keraguan†yang dipertontonkan pemerintah selama ini, nyaris dalam semua hal. Ketidakpastian ini telah membawa korban yang cukup banyak, di antaranya terjadi kelangkaan solar di mana-mana (akibat terjadi pemborongan solar), bahkan di beberapa tempat truk-truk harus antre berhari-hari. Di beberapa wilayah, misalnya di Jawa Timur, truk yang beroperasi turun sekitar 30% dari biasanya akibat kelangkaan solar. Implikasinya, distribusi barang menjadi terhambat dan harga barang-barang terkerek naik.
Pemerintah juga lupa dalam satu hal, bahwa masyarakat memiliki ekspektasi terhadap kebijakan dan kemudian bereaksi untuk menghadapi kemungkinan kebijakan tersebut. Rencana kenaikan itu (yang belum pasti) sudah disikapi dengan praktik penimbunan solar dan aneka moral hazard lainnya sehingga melumpuhkan sebagian kegiatan transportasi (khususnya truk-truk pengangkut barang). Masyarakat telah menjadi korban dari kebijakan yang belum tentu diambil akibat manajemen keputusan yang buruk, yakni dalam wujud kenaikan harga komoditas (inflasi). Jika pada awal tahun sampai Maret inflasi tinggi diakibatkan oleh kekacauan pasokan komoditas pertanian, seperti daging, bawang, dan cabai (akibat carut-marut kebijakan impor), maka inflasi April ini lebih banyak disebabkan ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan harga BBM. Pemerintah nampak sekali tidak pernah mau belajar dari pengalaman sebelumnya, atau memang tidak paham dengan psikologi masyarakat.
Fragmentasi Politik
Sampai saat ini masyarakat merasa rasionalisasi yang dibangun oleh pemerintah untuk menaikkan harga BBM masih sulit diterima karena beberapa kenyataan berikut. Pertama, banyak sekali praktik tak terpuji dalam bisnis minyak (dari mulai eksplorasi sampai impor minyak) yang tidak pernah secara serius diselesaikan pemerintah, sehingga setiap kebijakan kenaikan harga dianggap merupakan jalan pintas untuk merampungkan masalah. Produksi yang terus turun, biaya eksplorasi yang tidak jelas, pengolahan kilang minyak yang tak bertambah, praktik penyelundupan ke luar negeri, impor yang tidak transparan, eksplorasi Pertamina yang sangat kecil, ongkos pemulihan (cost recovery) yang amat besar, dan hal-hal lain nyaris tidak disentuh. Publik merasa direnggut hak-haknya, sehingga tidak terima jika terus dikorbankan ketika masa-masa sulit terjadi (misalnya pada saat harga minyak internasional meningkat seperti sekarang). Perasaan kolektif seperti ini mengendap dalam pikiran dan hati masyarakat, apalagi di tengah berita korupsi yang hampir tiap hari tersiar.
Kedua, kapasitas pemerintah mengisolasi kenaikan harga minyak terhadap terkereknya harga-harga komoditas lain, khususnya barang pangan, amat lemah. Implikasinya, pihak yang justru menjadi korban paling berat adalah kaum miskin, sebab sebagian besar pendapatannya dipakai untuk membeli komoditas pangan. Inflasi tambahan akibat kenaikan harga minyak barangkali hanya sekitar 2%, tapi kenaikan harga pangan bisa sampai 30%. Inilah yang memukul golongan berpendapatan menengah ke bawah, sehingga mereka resisten tiap kali pemerintah hendak menaikkan harga minyak. Oleh karena itu, pada saat pemerintah menyampaikan argumen bahwa subsidi minyak lebih banyak dinikmati golongan berpendapatan menengah-atas mereka tetap tidak peduli. Realitas yang mereka rasakan, tiap kali harga minyak naik, maka harga barang lain juga meningkat berlipat dan beban hidup menjadi lebih berat. Jadi, pokok soalnya adalah kemampuan pemerintah mengendalikan harga komoditas lain (pangan) yang amat lemah, seperti yang sekarang sudah terjadi.
Ketiga, kebijakan ekonomi apapun yang diambil pemerintah akan efektif di lapangan jika terdapat dukungan politik dan situasi sosial yang layak. Hari-hari ini kita melihat adanya fragmentasi politik yang kian tajam menjelang pemilihan umum dan kondisi sosial yang rawan akibat kehidupan ekonomi yang dirasakan makin sulit (bagi golongan berpendapatan menengah ke bawah). Dua hal itu merupakan pupuk yang baik untuk menyuburkan inefektivitas implementasi kebijakan (apalagi yang kontroversial seperti kenaikan harga minyak). Dalam konteks ini sangat penting bagi pemerintah untuk masuk ke kalkulasi yang lebih detail atas manfaat dan mudharat yang bakal diperoleh apabila kebijakan itu diambil. Perhitungan defisit APBN yang bakal naik bila subsidi diteruskan bisa jadi benar; tapi risiko inflasi yang melonjak, suku bunga yang terkerek, pertumbuhan ekonomi yang jatuh, investasi yang turun, PHK dan pengangguran yang meningkat, dan hal-hal lain mesti pula dianalisis secara cermat. Saran sederhana yang bisa disampaikan: jangan memaksakan kebijakan ekonomi di tengah situasi yang serba rentan, sebab berpotensi menjadi ledakan sosial dan politik.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef