Siklus ini terus berulang di sektor pertanian: panen tiba, produk melimpah, harga jatuh, dan komoditas yang tak (belum) terjual membusuk. Separuh jawaban juga telah tersedia: tata niaga yang buruk dan inovasi/teknologi yang terbatas. Tata niaga dikuasai segelintir pelaku ekonomi yang mengontrol harga sepenuhnya, sedang pada saat yang bersamaan informasi petani amat sedikit. Komoditas yang dipanen tak bisa disebar ke daerah lain dengan cepat akibat kendala informasi, transportasi, dan jaringan distribusi. Teknologi/inovasi yang absen membuat sebagian produk pertanian mudah rusak. Jika tersedia teknologi pendingin atau penyimpan, maka umur komoditas itu bisa diperpanjang sehingga kuantitas pasokan ke pasar dapat diatur agar tak mengganggu harga. Perkara telanjang ini sampai sekarang tak jua ditangani secara layak.
Situasi yang bertolak belakang juga nyaris terjadi setiap tahun. Pada masa peceklik, atau periode tidak normal, tiba-tiba harga komoditas melonjak tanpa kemampuan meredamnya. Harga kedelei, cabai, jagung, bawang, dan buah-buahan pernah mengalami kondisi seperti itu. Bahkan, beberapa komoditas strategis pangan, yang dikonsumsi rutin oleh masyarakat, semacam beras, gula pasir, daging sapi, telur ayam, dan kedelei harganya sebagian meroket lebih dari 10% tiap tahun. Beras, misalnya, selama periode 2009-2014 (November) naik 55,7%; gula pasir 30,4%; daging sapi 54,3%; telur ayam ras 35,6%; dan kedelei impor 40,3% (Kementerian Pertanian, 2014). Heboh buah apel impor yang terpapar bakteri minggu lalu juga menjadi penanda penting: betapa ketergantungan impor buah-buahan sudah mencemaskan, padahal potensi produksi domestik amat tinggi.
Di balik itu, masih tersimpan urusan lain yang tak kalah pelik. Percepatan kerusakan komoditas itu seharusnya dapat dihindari bila tidak seluruhnya dikonsumsi dalam wujud bahan mentah. Produk pertanian yang diproduksi dalam jumlah besar, yang dikonsumsi di pasar domestik atau sebagian diekspor, seharusnya diolah terlebih dulu. Bila proses ini yang dipilih, maka stabilitas harga mudah dicapai, nilai tambah kian besar, dan penciptaan lapangan kerja terdongkrak. Tentu saja, tuntutan ini bukan semata untuk mengatasi kerusakan komoditas, namun juga mengikuti pola konsumsi masyarakat yang terus berubah. Permintaan terhadap makanan/minuman olahan terus meningkat, sehingga pelaku ekonomi mesti beradaptasi terhadap perubahan itu. Jika tidak, maka barang impor yang akan memenuhi pasar dan menimbulkan komplikasi ekonomi.
Pengembangan produk merupakan bahasa modernisasi ekonomi yang tak boleh gagap dieksekusi. Indonesia terbukti mengalami dua soal serius dalam hal ini: sumber daya ekonomi domestik yang melimpah dibiarkan pergi tanpa proses “pendalaman†dan pengembangan sektor industri yang banyak menyedot bahan baku impor. Sampai saat ini 6-7 komoditas ekspor dengan nilai tertinggi masih tergantung dari produk primer, sementara 70-72% total impor berbentuk bahan baku. Berapa kesempatan ekonomi yang menguap dari keganjilan kebijakan ini? Kasus di Yunani ini menarik: tiap kenaikan pendapatan sebesar US$ 1 juta dalam kegiatan pengolahan pangan menghasilkan US$ 4,6 juta pendapatan pada keseluruhan ekonomi (termasuk lapangan kerja) dan 19% ekspansi di sektor pangan akan menggandakan 62 kali kegiatan ekonomi di luar sektor pangan (Winger dan Wall, 2006).
Jadi, dari sektor pangan saja (termasuk buah-buahan) telah muncul pekerjaan yang amat mengasikkan buat pemerintah. Kementerian Pertanian lini tugasnya mengidentifikasi komoditas yang akan diteruskan menjadi produk “industri pengolahanâ€, tentu dengan basis kalkulasi yang matang dari beragam aspek: pemetasan lokasi, skala ekonomi, pilihan klaster, dan organisasi pelaku ekonomi. Kementerian Perindustrian fokus mendesain insentif inovasi produk dan identifikasi kebutuhan teknologi, sedangkan Kementerian Perdagangan berjibaku dengan urusan komersialisasi produk. Perkara komersialisasi ini tak sekadar mengatur perdagangan domestik, tapi juga strategi promosi menerobos pasar internasional. Proses ini memang tak sederhana karena menghendaki kemanunggalan gerak lintas departemen, yang selama ini terbiasa bekerja secara isolatif.
Dengan deskripsi tersebut, maka desain baru alokasi anggaran, kerangka anyar kebijakan ekonomi, gemuruh pembangunan infrastruktur, poros investasi, serta arah riset dan pengembangan (R&D) mesti diletakkan dalam konteks pendalaman kegiatan ekonomi tersebut. Sektor pertanian mempunyai titik strategis sebab merupakan sumber daya ekonomi terpenting nasional, di mana pada saat yang sama terjebak dalam soal klise setiap tahun. Peta jalan dan pembagian kerja mestinya telah dipahami dengan baik, demikian pula komparasi dengan negara lain mudah dibaca (Australia dan Selandia Baru satu dekade lalu kurang lebih telah mengirim 5.000 – 10.000 produk makanan/minuman baru per tahun ke supermarket dan di AS sekitar 18.000). Kata kuncinya: kerja-kerja detail segera dieksekusi di alam nyata, bukan sekadar membuat panggung di dunia maya.
Â
Â
*Ahmad Erani Yustika, Ekonom Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef
Â