Dalam dua bulan ini pemerintah dan Bank Indonesia (BI) berjibaku mengendalikan penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Depresiasi rupiah tersebut sebetulnya secara perlahan sudah terjadi sejak Juli 2012. Pada saat itu nilai tukar bergerak pada kisaran Rp9.470/dolar sampai kemudian untuk pertama kali menyentuh angka Rp 10.000/dolar pada Juni 2013. Pada saat menyentuh angka Rp 10.000/dolar itulah kepanikan mulai menjalar karena angka tersebut dianggap sebagai batas “psikologis” stabilitas nilai tukar. Meskipun belum ada kalkulasi sahih berapa angka keseimbangan yang ideal rupiah terhadap dolar, namun sebagian besar pelaku ekonomi (dan masyarakat) percaya bahwa jika rupiah menembus batas psikologis tersebut, maka fundamental ekonomi nasional sebenarnya keropos. Atas dasar itulah pemerintah dan BI menjaga agar batas angka itu tidak terlampau, walaupun pada akhirnya upaya tersebut kurang membuahkan hasil.
Defisit Transaksi Berjalan
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (yoy), depresiasi rupiah pada Juni 2013 mencapai 6,05%. Depresiasi ini sebetulnya pada rentang yang moderat, tapi jika dikomparasikan dengan negara lain masih agak lebih tinggi. Jepang adalah negara yang mengalami depresiasi yang sangat tinggi terhadap dolar, yakni 24,25%. Poundsterling depresiasi 3,13% dan Peso (Filipina) 2,33%. Mata uang Thailand, Korsel, Uni Eropa, dan Taiwan justru apresiasi terhadap dolar AS (BI, 2013). Dengan melihat perkembangan ini tidak bisa dikatakan bahwa depresiasi merupakan fenomena global akibat pemulihan ekonomi AS. Tentu saja pengaruh pemulihan ekonomi global (AS) merupakan salah satu penyebab, tapi sebagian besar depresiasi mata uang terhadap dolar bersumber dari persoalan domestik masing-masing negara itu sendiri. Pada titik ini diperlukan kejelian untuk melihat secara jernih masalah tersebut sehingga dapat ditemukan terapi yang tepat untuk mengatasinya.
Depresiasi nilai tukar rupiah awalnya dituding bersumber dari tingginya impor minyak yang menjadi pemicu defisit neraca perdagangan. Pada 2012 untuk pertama kalinya (setelah kurang lebih 40 tahun) Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan, yang kemudian penyebabnya dituduhkan dari impor minyak. Impor minyak melesat karena harga domestik yang rendah (kebijakan subsidi) sehingga memicu konsumsi yang tinggi dan terjadinya penyelundupan (akibat disparitas harga yang besar dengan harga internasional). Pandangan inilah yang membuat kenaikan harga minyak domestik (pengurangan subsidi) menjadi cara ampuh mengurangi defisit neraca perdagangan dan meredam depresiasi rupiah (di samping argumen lainnya). Namun, seperti diketahui, usai kenaikan harga BBM pada Juni 2012 lalu, tekanan terhadap defisit neraca perdagangan tidak mereda, demikian pula dengan depresiasi rupiah. Pada Januari – Mei 2013 sendiri defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$ 2,5 miliar.
Jika dikuliti lebih teliti, persoalan serius lain bersumber dari defisit neraca transaksi berjalan. Situasi ini menunjukkan bahwa banyak dana dari Indonesia yang ke luar untuk pembayaran aktivitas tenaga kerja dan modal finansial. Defisit ini terus meningkat dari tahun ke tahun dalam jumlah yang fantastis. Pada 2004, defisit neraca transaksi berjalan baru pada angka US$ 10,91 miliar; pada 2008 menjadi US$ 15,15% miliar; dan pada 2012 melesat menjadi S$ 25,94 miliar. Sumber terbesar defisit neraca transaksi berjalan berasal dari pendapatan investasi. Pada 2012, misalnya, pendapatan investasi defisit US$ 24,91 miliar. Artinya, sebagian besar pendapatan dari investasi asing dibawa ke luar (repatriasi). Padahal jika dilihat jumlah PMA yang masuk pada 2012 jumlahnya US$ 24,56 miliar (BI, 2013). Dengan begitu, nilai PMA yang masuk lebih kecil daripada repatriasi yang di bawa ke luar. Dari sisi ini, sebetulnya bukan sekadar perkara defisit transaksi neraca berjalan, tapi terdapat tragedi yang lebih besar.
Investasi dan Pertumbuhan
Akumulasi dari defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan itulah yang membuat neraca pembayaran juga mengalami defisit. Dulu defisit neraca pembayaran dapat dicegah, sekurangnya jumlahnya dapat ditekan, karena neraca perdagangan masih surplus. Situasi sekarang tidak semacam itu lagi, sehingga penanganannya menjadi lebih kompleks. Oleh karena itu, intervensi BI melalui operasi pasar (pendekatan moneter) tidak terlalu efektif menahan depresiasi rupiah karena kali ini sumbernya berasal dari sisi non-moneter. Singkatnya, operasi moneter itu tidak akan banyak manfaatnya jika problem neraca perdagangan dan transaksi berjalan tidak diperbaiki. Neraca perdagangan terkait dengan daya saing ekonomi dan neraca transaksi berjalan bersinggungan dengan kebijakan lalu lintas modal, khususnya repatriasi pendapatan dari PMA. Daya saing ekonomi tidak mungkin dicapai dalam jangka pendek, namun perkara repatriasi mestinya bisa diurus dalam waktu dekat ini.
Bagaimana pengaruh depresiasi rupiah ini terhadap investasi dan pertumbuhan ekonomi? Saat ini kita tak hanya punya masalah dengan nilai tukar, tapi juga inflasi akibat kenaikan harga minyak dan pangan. BI lagi-lagi mencoba untuk mengatasi kenaikan inflsi dengan menaikkan BI rate. Seperti diduga, itu juga tak banyak membantu karena sumber inflasi berasal dari minyak dan harga pangan tadi. Sampai akhir tahun diperkirakan inflasi akan melonjak menyentuh angka 9%. Jika ini terjadi, maka tingkat suku bunga (kredit) juga akan terkerek, bahkan mendahului pergerakan inflasi ataupun BI rate. Implikasinya, biaya investasi menjadi mahal sehingga investor akan menahan diri untuk melakukan investasi sampai keadaan ekonomi dianggap normal. Jadi, pertumbuhan investasi sampai akhir tahun juga akan mengalami tekanan, tidak akan sebesar seperti proyeksi tahun lalu. Pertumbuhan kredit diestimasi hanya pada kisaran 18-19%, turun sekitar 3-4% ketimbang tahun lalu.
Sebagian kalangan masih optimis penurunan investasi dapat dikompensasi dari peningkatan ekspor akibat depresiasi rupiah. Tapi mereka lupa satu hal: struktur impor Indonesia didominasi oleh bahan baku (sekitar 70%). Implikasinya, tidak lantas depresiasi akan meningkatkan daya saing karena bahan baku produksi dibeli dari impor yang harganya secara relatif menjadi lebih mahal. Jika barang itu sebagian (besar) dapat diekspor pasti juga akan mendorong laju impor bahan baku sehingga struktur defisit neraca perdagangan tidak berubah. Jadi, jika dilihat dari seluruh sisi, maka ekonomi nasional saat ini dikepung persoalan dari segala penjuru, yang membuat prospek pertumbuhan ekonomi tidak dapat digerakkan untuk mencapai target pemerintah, yaitu 6,3%. Ini merupakan harga yang harus dibayar akibat menunda aneka masalah yang selama ini sudah kencang disuarakan, seperti membangun industri berbasis sumber daya domestik, diversifikasi komoditas ekspor, investasi yang tak didominasi asing, pengendalian lalu lintas modal, dan lain-lain. Sejarah terus berulang.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef