Standard & Poor’s dan Moody’s Investors Service (lembaga pemeringkat internasional) menurunkan peringkat investasi/kredit Indonesia setelah dianggap pemerintah tidak sigap menaikkan harga minyak (BBM) sehingga mengganggu kesehatan fiskal. Lembaga pemeringkat itu menengarai defisit fiskal akan melonjak di atas 3% (terhadap PDB) jika harga BBM tidak dinaikkan (yang berkonsekuensi pembengkakan subsidi). Penurunan peringkat ini tentu mengejutkan karena hanya berjarak sekitar 1,5 tahun dari pemberian status “investment grade†kepada Indonesia pada awal tahun lalu. Secara substantif penurunan peringkat ini menimbulkan beberapa pertanyaan yang layak dicari jawabannya. Pertama, sebetulnya apa dasar penilaian pemeringkatan tersebut? Kedua, bisakah perubahan peringkat hanya didasarkan atas satu kasus yang sifatnya masih sementara? Ketiga, benarkah ada perbedaan perlakuan antara negara berkembang dan negara maju dalam penilaian peringkat tersebut?
Dasar Penilaian Â
Secara umum, dasar penilaian peringkat berbasis pada tiga penilaian pokok: (i) stabilitas makroekonomi yang sebagian diukur dari indikator pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, dan inflasi; (ii) rasio utang terhadap PDB; dan (iii) defisit fiskal terhadap PDB. Stabilitas makroekonomi menunjukkan kekokohan perekonomian suatu negara dan prospek ekonomi di masa depan. Sementara itu, rasio utang terhadap PDB merupakan alat ukur untuk melihat sampai seberapa besar beban perekonomian untuk menopang pembangunan dalam jangka panjang. Konsensus internasional menetapkan batas 60% untuk rasio utang terhadap PDB. Lainnya, defisit fiskal konsensus internasional memberi patokan 3% supaya beban fiskal dalam jangka panjang tidak terlalu berat akibat beban pembayaran utang. Secara umum, stabilitas makroekonomi Indonesia cukup bagus, di mana pertumbuhan ekonomi di atas 6% dan inflasi dikendalikan di bawah 2 digit. Rasio utang terhadap PDB juga cukup rendah, hanya 26%. Pada titik ini sebetulnya Indonesia tidak memiliki persoalan yang mendasar.
Khusus mengenai defisit fiskal, dalam APBN 2013 sebetulnya ditargetkan di bawah 3% (sekitar 2,4%). Sejak 2 bulan ini defisit fiskal itu memang mulai dipersoalkan karena terdapat tendensi subsidi BBM kian membesar seiring pembesaran konsumsi dan kenaikan harga minyak internasional. Jika situasi ini dibiarkan berlarut dikhawatirkan defisit fiskal membengkak di atas 3%. Pemerintah sudah merespons itu dengan merencanakan kenaikan harga minyak, meskipun masih harus menunggu persetujuan DPR atas rencana pemerintah memberikan dana kompensasi untuk orang miskin. Fakta lainnya yang perlu dikemukakan adalah, penyerapan APBN selama ini selalu buruk sehingga tidak pernah mencapai 100%. Dengan asumsi harga minyak tidak naik, belum tentu defisit fiskal akan meningkat sebab ada sebagian anggaran yang tidak terserap. Dengan begitu, lembaga pemeringkat tersebut tidak tepat melakukan kalkulasi jika pertimbangan yang dipakai adalah soal defisit fiskal.
Diskriminasi Penilaian
Di luar hal itu, sampai kini terdapat kesan perlakuan yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang dalam penyusunan peringkat. Negara AS, Eropa, dan Jepang sudah sangat lama ekonominya “sakit†dalam rupa rasio utang terhadap PDB yang sangat tinggi (di atas 100%) dan defisit fiskal yang luar biasa besar (di atas 5%), namun hukuman penurunan peringkat yang diberikan sangat kecil dan dalam tempo yang lama. AS dan Jepang sampai kini masih memeroleh peringkat yang bagus, meskipun tidak AAA lagi (AS peringkat AA+ dan Jepang AA- sejak 2011). Petumbuhan ekonomi kedua negara itu juga jatuh akibat krisis ekonomi global. Peringkat itu jelas tidak masuk akal, sebab bagaimana mungkin negara yang ekonominya carut-marut akibat tata kelola makroekonomi yang buruk bisa memperoleh status yang bagus. Indonesia butuh waktu 13 tahun hanya untuk naik dari peringkat CCC- (seperti yang disematkan Yunani saat ini) menuju BBB-. Sementara itu, begitu sedikit saja ada persoalan fiskal, hanya dalam kurun waktu 2 bulan langsung diganjar dengan hukuman.
Deskripsi di muka menunjukkan inkonsistensi penilaian dari lembaga pemeringkat tersebut, karena dasarnya tidak jelas. Selebihnya, terdapat kesan yang telanjang bahwa mereka hendak melakukan intervensi kebijakan dengan cara mendesak pemerintah untuk menaikkan harga minyak. Lembaga pemeringkat itu bukan saja membuat laporan, tapi juga aktif menyampaikan pandangan kepada media atas analisisnya. Opini-opini mereka itu kemudian dirujuk oleh sebagian pejabat pemerintah sebagai dasar agar pemerintah tidak ragu menaikkan harga minyak. Tentu sikap lembaga pemeringkat itu bukanlah suatu kebetulan atau ketidaksengajaan, namun dirancang secara sistematis untuk memengaruhi pemerintah mengambil keputusan seperti yang mereka inginkan. Pemerintah harus hati-hati dalam membaca penilaian dari lembaga pemeringkat tersebut, jangan sampai dijerumuskan lagi dalam aneka persoalan ekonomi yang lebih rumit untuk diselesaikan di masa depan, persis seperti peristiwa 1998 lalu (dengan aktor IMF dan Bank Dunia).
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef