Pemerintah sejak 2010-2014 ini menargetkan investasi sebesar Rp 2.000 triliun/tahun. Jumlah itu merupakan kebutuhan minimum agar perekonomian bisa dipacu sekitar 7% tiap tahun. Namun, di balik itu tidak pernah ditanyakan secara kritis, investasi sebanyak itu dialokasikan untuk sektor apa, di mana lokasinya, siapa pelakunya, insentifnya seperti apa, apa sasarannya, dan lain sebagainya. Akibat tidak jelasnya orientasi pembangunan dan investasi yang diselenggarakan itu, maka sebetulnya tanpa disadari investasi yang dilakukan selama ini justru banyak menimbulkan masalah ketimbang manfaat. Pemerintah menganggap pekerjaan selesai apabila target kuantitatif investasi telah dipenuhi dan besaran pertumbuhan ekonomi sudah dicapai. Padahal, di balik pencapaian tersebut sebetulnya meninggalkan banyak luka yang tidak pernah dicari obatnya selama ini. Akibatnya, sekian banyak penyakit ekonomi dan sosial justru muncul akibat investasi yang salah arah.
Ketimpangan dan Kepemilikan
Data yang jarang dilansir dan dibuka secara resmi menunjukkan, investasi yang terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir membuat kita miris. Pertama, 91,23% investasi berlokasi di Pulau Jawa, 6,79% di Sumatera, dan sisanya (2%) disebar ke daerah-daerah lain. Pola ini telah berjalan lama dan tidak ada tanda-tanda bakal berakhir. Kedua, sekitar 82% dari total investasi berbentuk penanaman modal asing (PMA) dan kurang dari 18% penanaman modal dalam negeri (PMDN). Ketimpangan ini kian memburuk dari tahun ke tahun, sebab pada 2000 kontribusi PMDN masih 32% dan PMA 68%. Ketiga, investasi di sektor sekunder sebesar 78,15%, tersier 13,21%, dan 8,61% di sektor primer. Artinya, kegiatan investasi di Indonesia hanya menyantuni “kaum pedagang†dan bukan gerombolan produsen yang akan membantu kegiatan di industri (pengolahan) atau jasa. Itulah data-data yang mencemaskan berkenaan dengan investasi yang telah dijalankan selama ini.
Dengan pola semacam itu menjadi tidak aneh apabila pembangunan ekonomi di Indonesia menjadi semakin timpang. Pembangunan infrastruktur (jalan tol, jembatan, listrik, pelabuhan, dan lain-lain) dikonsentrasikan di Pulau Jawa sehingga para investor memilih Jawa sebagai lokasi investasi. Implikasinya, kegiatan ekonomi terpusat di sini. Semua orang terbaik di daerah berduyun-duyun ke Jakarta (dan daerah sekitarnya) untuk menjemput kesempatan ekonomi. Di luar Jawa, yang tertinggal hanya warga “kelas dua†dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang terbatas. Mereka itu memperebutkan kue ekonomi yang kecil dengan imbalan yang terbatas pula. Situasi itu menyebabkan pembangunan di daerah tidak bisa diakselerasi. Sehingga, di daerah tidak hanya dikendalai oleh modal yang cekak dan investor yang enggan datang, tetapi juga keterbatasan kualitas manusia. Hasilnya, pembangunan kian tertinggal dibanding Pulau Jawa. Makna otonomi daerah pun menjadi menguap.
Aspek lainnya, pemerintah menganggap remeh soal pemilik investasi. Pada umumnya, pemerintah berlindung di balik “dunia tanpa batas†untuk menutupi ketidaksanggupan memfasilitasi dan menciptakan pelaku ekonomi domestik. Lebih dari itu, kuat terpatri dipikiran pengambil kebijakan bahwa “tidak penting warna kucingnya, yang prinsip bisa menangkap tikusâ€. Dengan kata lain, buat mereka tidak masalah investasi itu dalam bentuk PMA atau PMDN, yang pokok investasi itu bisa membuka lapangan kerja. Filosofi ini kelihatannya masuk akal, tapi menjadi bermasalah jika ditelan mentah-mental dalam konteks pengelolaan ekonomi nasional. Bayangkan, dari dulu semua negara berjuang untuk menguasai sumber daya ekonomi (dengan cara apapun) karena mereka sadar dengan penguasaan sumber daya ekonomi itu nisbah terbesar kesejahteraan akan jatuh ke tangannya. Jadi, kalau sumber daya ekonomi yang dimiliki justru kita berikan ke negara (orang) lain, maka sama halnya dengan menyerahkan kesejahteraan kepada pihak lain tersebut.
Investasi dan Konstruksi Kesejahteraan
Dengan deskripsi dan pijakan semacam itu, maka sebetulnya situasi investasi ini sudah sangat mencemaskan. Paling tidak terdapat tiga level investasi penting yang perlu kita selamatkan. Pertama, investasi sebagian besar harus diarahkan ke sektor primer (pertanian) dan sekunder (industri pengolahan). Kedua sektor itu dijadikan satu paket sehingga pertumbuhan satu sektor akan memicu perkembangan sektor lainnya. Jika ini dilakukan, bukan hanya penyerapan tenaga kerja yang didapat, tapi juga nilai tambah. Tentu saja, aspek lingkungan harus dipertimbangkan agar pembangunan itu dapat berkesinambungan. Kedua, investasi harus dijadikan instrumen pemerataan pembangunan (wilayah), dan bukan sebaliknya. Konsekuensinya, lokasi investasi harus disebar ke semua wilayah secara proporsional. Ketiga, penguatan investor domestik harus mulai dirintis. PMA harus ditempatkan sebagai pelengkap dan bukan sebagai sumber investasi utama. Sekian peta jalan seyogayanya perlu direntangkan untuk memperbesar partisipasi pelaku ekonomi domestik dalam melakukan investasi.
Tentu saja untuk menuju ke arah sana perlu kebijakan teknis yang sangat banyak dan bakal melalui jalan yang terjal. Pemerintah tidak boleh lagi melihat investasi sebagai deretan angka-angka kuantitatif, misalnya nilai dan jumlah proyek yang disetujui atau direalisasi. Fokus kepada aspek kuantitatif tersebut terbukti lebih banyak menjebak bangsa ini ketimbangan membawa berkah. Seluruh kementerian (ekonomi) dan DPR Â perlu membahas soal ini secara serius agar pembangunan nasional bisa diselamatkan. Investasi merupakan hulu ekonomi yang akan menentukan bagaimana konstruksi hilir kesejahteraan ekonomi. Jika hulu ekonomi terpusat pada wilayah, sektor, dan pemain tertentu, maka format kesejahteraan juga akan mengerucut ke alamat para pemain-pemain tersebut. Situasi memang sudah begitu rumit, tapi belum sama sekali terlambat. Semoga komitmen yang utuh dari pemerintah bisa menyelamatkan pembangunan negeri ini.
Kompas, 6 Juli 2010
*Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef;
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya