Tak bisa disangkal, inflasi (yang tinggi) adalah tumor ekonomi yang menakutkan. Aneka kompleksitas ekonomi kerap kali berakar dari sana. Indonesia, celakanya, tak pernah benar-benar bisa mengatasi soal ini sejak lama. Dibanding negara-negara tetangga, inflasi Indonesia tergolong tinggi. Di luar krisis ekonomi, inflasi di sini selalu mengintip oleh dua sebab utama: energi dan pangan. Selama 10 tahun terakhir Indonesia dihajar dengan persoalan minyak (BBM) karena sebagian kebutuhan harus dicukupi dengan impor. Masalahnya, harga minyak internasional naik-turun tak tertebak polanya (lebih sering menjulang naik). Akibatnya, harga jual minyak domestik harus dinaikkan untuk menekan subsidi. Pola yang sama juga terjadi pada pangan, di mana Indonesia menjadi importer hampir seluruh komoditas strategis, yang harganya di pasar internasional terus menanjak.
Alasan pembengkakan subsidi itulah yang menjadi dasar Presiden Jokowi mengambil keputusan “heroikâ€: kenaikan harga BBM. Publik mengeluh sebab belum ada layanan yang diberikan pemerintah baru, tetapi barang yang menjadi hajat publik ini sudah dinaikkan, lebih-lebih saat harga minyak internasional menukik tajam. Namun presiden bergeming, kebijakan itu tetap dieksekusi dengan argumen lain: kesehatan anggaran dan dukungan pembiayaan pembangunan (misalnya infrastruktur). Soalnya adalah, mampukah pemerintah mengendalikan kenaikan harga-harga (inflasi) agar tak menimbulkan efek yang lebih besar? Juga, seberapa sigap pemerintah menyiapkan perlindungan sosial-ekonomi kepada masyarakat rentan? Dua pertanyaan ini harus dipastikan terjawab dengan laik karena akan menjadi penentu kredibilitas pemerintah.
Dalam jangka pendek pemerintah dihadapkan dua titik kritis, yaitu waktu tanam yang mundur ke November (biasanya Oktober) karena musim hujan tiba terlambat dan hari Natal (juga Tahun Baru) yang segera datang (yang menjadi pemicu inflasi). Pada rentang November 2014-Februari 2015 berarti belum akan ada tambahan pasokan (beras) dari pasar domestik, sehingga kalkulasi persediaan menjadi sangat penting. Jangan lupa pula, pada Oktober dan November ini beras untuk kelompok rentan (raskin) juga sudah tiada, sehingga mengurangi jumlah barang di pasar. Bila situasi ini bertemu dengan peningkatan permintaan (Natal dan Tahun Baru) dan efek berantai dari kenaikan harga BBM, maka menjadi bahan bakar yang sempurna penyulut inflasi. Kementerian Pertanian, Perdagangan, dan Bulog harus berjibaku memastikan manajemen pasokan dijalankan dengan baik.
Data rinci karakteristik inflasi yang bersumber dari penaikan harga BBM di masa lalu juga amat berguna sebagai referensi pemerintah. Pada 2005, ketika terjadi 2 kali kenaikan harga BBM sebesar 150% (akumulasi) pada Maret dan Oktober, inflasi melonjak dari 6,4% (2004) ke 17,1% (2005). Hal yang sama juga terjadi pada 2008 saat penaikan harga BBM sekitar 30%, inflasi melonjak dari 6,5% (2007) ke 11,06% (2008). Tahun lalu (Juni 2013) BBM naik tipis tapi juga memicu kenaikan inflasi dari 4,3% (2012) ke 8,38% (2013). Umumnya, transportasi dan pangan menjadi sumber menjulangnya inflasi. Pada Juli 2013 inflasi mencapai 3,29% (mom), di mana transpor, komunikasi, dan jasa keuangan menyumbang 1,50% dan bahan makanan 1,36% (BPS, 2013). Tentu rumit bagi pemerintah mengatasi kenaikan harga transportasi, namun mitigasi harga pangan selayaknya bisa dilakukan.
Sayangnya, penghitungan inflasi selama ini hanya dilakukan di beberapa daerah, sehingga peta inflasi berdasarkan wilayah tak tergambar secara keseluruhan. Dengan basis data tahun lalu, kota-kota yang perlu diwaspadai (karena inflasinya di atas rata-rata inflasi nasional setelah penaikan harga BBM/Juni-September) adalah: Sorong, Kupang, Depok, Bogor, Bekasi, Surakarta, Bima, Serang, Semarang, Cirebon, dan beberapa kota lain. Problem transportasi/logistik tak semuanya bisa menjelaskan inflasi di daerah itu, karena sebagian berada di Jawa yang relatif bagus logistiknya. Isu yang masuk akal adalah struktur pasar (distribusi) di wilayah itu yang cenderung terkonsentrasi sehingga harga dimainkan. TPID (Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah) perlu dijalankan secara efektif pada semua wilayah, khususnya di daerah yang inflasinya tinggi. Juga, Kementerian Perdagangan mesti memiliki “sistem deteksi harga dan pasokan antar-daerah†yang mapan sehingga tindakan bisa dilakukan dengan cepat.
Perlindungan sosial-ekonomi adalah soal lain yang tak kalah rumit. Pengalaman masa silam memberi hikmah: implementasi tak seterang cahaya bulan purnama. Harus diakui salah satu kelemahan yang sekarang paling tampak adalah instrumen perlindungan tak tersiapkan dengan layak. Aneka program yang dirancang (seperti kartu sehat, pintar, dan lain-lain) pasti tak dapat diberikan dalam jangka pendek kepada rakyat yang berhak. Kementerian terkait mesti tahu detail soal ini dan bergerak sigap menutup celah, sebab kenaikan harga komoditas terus merambat. Pemerintah harus memastikan praktik masa lampau tak muncul lagi: penaikan harga BBM meninggalkan jejak gelap berupa pertambahan kaum miskin. Nyali penaikan harga BBM harus diimbangi keberanian dan keterampilan mengatasi konsekuensinya, khususnya memproteksi warganya yang paling lemah. Di sini negara tak boleh lalai, apalagi absen.
Â
Â
*Ahmad Erani Yustika, Ekonom Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef
Â