Investasi merupakan perkaran genting dalam suatu negara. Investasi menjadi pengungkit utama kegiatan ekonomi lain, khususnya perdagangan (ekspor-impor) dan konsumsi. Perdagangan tak akan terjadi bila investasi mampet. Demikian pula, konsumsi akan mengkerut bila investasi macet. Oleh sebab itu, semua negara memberi tekanan yang besar terhadap investasi, bahkan bila ekonomi domestik tak mampu menopang kebutuhan investasi, tak malu-malu para pemimpin negara menyilahkan investasi asing datang untuk mengisi ruang kosong tersebut. Indonesia secara masif juga melakukan langkah itu, yakni berupaya mendorong investasi secara cepat dan membuka investasi asing secara luar biasa. Hasilnya, kegiatan ekonomi meningkat sehingga menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Investasi asing sendiri sekarang memberikan donasi sekitar 65% dari total investasi, sehingga menimbulkan pertanyaan yang tak kalah penting: apakah kemandirian ekonomi bisa dijaga dengan jalan ini?
Â
Lanskap Investasi
Presiden Jokowi baru saja menuai pujian saat mempresentasikan peluang investasi di depan para pemimpin bisnis dunia (CEO) pada forum APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation). Pujian itu diberikan karena Jokowi menyampaikan tawaran investasi secara lugas, dengan bahasa (Inggris) yang sederhana, dan diiringi penjelasan prioritas investasi yang akan dijalankan (termasuk lokasinya). Tak kurang pula Jokowi menyampaikan kesanggupan perbaikan bagi efektivitas pelaksanaan investasi, seperti kepastian hukum dan efisiensi perizinan. Hasilnya, sepulang dari forum itu tak kurang komitmen investasi senilai sekitar Rp 300 triliun diperoleh pemerintah dari pebisnis global tersebut. Perolehan ini tentu mencengangkan, meskipun masih berupa komitmen (belum dalam rupa persetujuan maupun realisasi). Dalam satu sisi, peristiwa itu juga bisa dianggap sebagai keberhasilan karena potensi sumber pembiayaan pembangunan telah memeroleh titik terang.
Namun, sebelum melangkah lebih jauh untuk menganalis hal itu, data-data perkembangan investasi belakangan ini patut dicermati terlebih dulu. Pertama, rasio investasi terhadap PDB terus meningkat, yakni 2008 (27,1%); 2009 (31,1%); 2010 (32,1%); 2011 (32,0%); dan 2012 (32,6%) [BI, diolah]. Ini berarti tingkat investasi telah mencapai keadaan seperti sebelum krisis besar 1997/1998. Kedua, periode Januari – September 2014 investasi asing (PMA) menyumbang 66,6% dari total investasi, sisanya merupakan kontribusi PMDN (33,4%). Lagi-lagi, investasi asing menjadi lokomotif investasi nasional. Ketiga, sektor yang paling banyak dimasuki investasi (PMDN dan PMA) adalah transportasi, gudang, dan telekomunikasi (14,2%); disusul industri kimia dasar, barang kimia, dan farmasi (13,4%); dan pertambangan (10,9%). Keempat, lokasi favorit masih di Pulau Jawa dengan komposisi Jawa Barat (15,4%), DKI Jakarta (14,8%), dan Jawa Timur (13,9%) [BPS, 2014].
Deskripsi itu secara umum memberi panduan pekerjaan rumah kepada pemerintah (baru) dalam urusan terkait investasi. Pemerintah memiliki beban menjaga rasio investasi terhadap PDB di atas 30%, bahkan sebisa mungkin dinaikkan menjadi 35% dalam jangka pendek. Namun, pemerintah perlu menyadari bahwa ketergantungan investasi kepada pihak luar negeri membuat situasi ekonomi tidak sehat. Kondisi itu bukan hanya rentan dengan pembalikan modal maupun repatriasi, tapi juga mempersempit ruang gerak pelaku ekonomi domestik. Pelaku ekonomi dalam negeri bukan tidak mampu, tapi selama ini fasilitasinya yang tak jalan. Berikutnya, investasi harus menyebar ke semua sektor, khususnya yang terkait dengan prioritas masalah. Dalam kasus Indonesia, investasi di sektor pertanian dan industri merupakan pilihan yang harus diambil. Terakhir, penyebaran juga mesti dilakukan berdasarkan lokasi, di mana pulau di luar Jawa perlu diperhatikan secara serius sebagai lokasi investasi.
Investasi Domestik
Presiden Jokowi membawa mandat kemandirian ekonomi saat memimpin Indonesia karena platform itulah yang disusung pada saat kampanye. Oleh karena itu, seluruh kebijakan dan program (ekonomi) tak boleh terpisah dengan amanat tersebut, tak terkecuali soal investasi. Kemandirian investasi menjadi pertaruhan pemerintah karena kritik tajam terhadap pemerintahan sebelumnya adalah ketergantungan yang teramat tinggi terhadap investasi asing. Pada titik ini, strategi baru untuk menggenjot investasi domestik mesti dirumuskan sebaik mungkin agar ketergantungan itu berkurang. Secara gradual peningkatan porsi investasi dalam negeri perlu didongkrak, katakanlah naik 5% tiap tahun, sehingga dalam 5 tahun ke depan proporsi investasi dalam negeri mencapai 60%. Dalam jangka panjang, situasi sekarang harus di balik sehingga sumbangan investasi asing hanyalah bersifat suplemen, misalnya tak lebih dari 30% terhadap keseluruhan investasi.
Berikutnya, hal lain yang perlu dicermati adalah seleksi investasi (asing) yang bisa beroperasi di Indonesia. Dalam situasi sumber pendanaan domestik yang masih seret godaan untuk menerima seluruh proposal investasi (asing) memang luar biasa. Tapi pemerintah tak boleh bersikap pasrah, sebab sekali investasi dibuka maka pemerintah terikat dengan aturan main yang harus ditaati. Oleh sebab itu, seleksi investasi yang membantu tujuan pembangunan nasional mesti dilakukan agar keberadaannya tidak menambah persoalan. Beberapa masalah pokok yang dihadapi oleh Indonesia adalah pengangguran dan angkatan kerja baru yang tinggi, inovasi dan pemanfataan teknologi yang rendah, orientasi ekspor yang kurang, keterkaitan antar-pelaku ekonomi yang terbatas, fokus hanya ke Pulau Jawa, dan penciptaan nilai tambah yang tak kunjung membaik. Investasi asing yang hadir di Indonesia mesti mendukung penyelesaian masalah tersebut, sehingga seleksi dapat dimulai dari tujuan itu.
Di luar itu, pemerintah harus hati-hati dalam soal pembangunan infrastruktur. Isunya bukan sekadar dikerjakan oleh asing atau domestik, tapi juga perlu dikalkulasi secara laik siapa penikmat terbanyak dari ragam infrastruktur yang dibangun. Selama ini wacana pembangunan infrastruktur untuk mendukung ekonomi tidak pernah masuk ke area yang lebih rinci sehingga kecenderungannya hanya pelaku ekonomi menengah-besar yang mendapat benefit terbesar, padahal struktur ekonomi nasional didominasi usaha mikro dan kecil. Jadi, infrastruktur memang penting dan harus dibangun untuk memacu pembangunan ekonomi, tapi jika masyarakat kecil tak bisa menikmati dan mengaksesnya, maka pembangunan infrastruktur berpotensi melumpuhkan partisipasi ekonomi, padahal itu salah satu bagian penting dari mandat pemerintah. Bahkan, infrastruktur dasar, seperti pendidikan dan kesehatan, sebisa mungkin ditangani langsung pemerintah agar akses masyarakat miskin dijamin sepenuhnya.
Pada bangun gagasan itulah kita bisa meletakkan pidato Jokowi pada forum APEC secara lebih memadai. Pertama, menawarkan investasi dan pembangunan infrastruktur kepada investor luar negeri absah saja, namun perlu dibatasi agar tujuan kemadirian ekonomi tidak tercoreng kembali. Sumber daya ekonomi domestik harus dikerahkan terlebih dulu demi memenuhi kebutuhan investasi, terutama BUMN, agar nisbah ekonomi sebagian besar jatuh ke dalam negeri. Kedua, seleksi investasi mesti segera dimulai dengan menggunakan parameter seperti yang disampaikan di muka, termasuk terkait isu lingkungan. Pembangunan bukan hanya untuk masa sekarang, namun berlangsung dalam jangka panjang sehingga harus cermat menjalankannya. Terakhir, infrastruktur diprioritaskan untuk mendukung agenda pembangunan nasional, sambil pada saat yang bersamaan dipastikan ramah kepada golongan ekonomi lemah. Dengan jalan inilah pembangunan ekonomi tak akan kehilangan dimensi kemanusiaannya.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef