Terpilihnya Joko Widodo – Jusuf Kalla (Jokowi – JK) menjadi presiden dan wakil presiden RI telah melayangkan asa ke angkasa terhadap masa depan pembangunan (ekonomi). Keduanya dianggap simbolisasi figur paham masalah, sigap, pengambil risiko, dan pendobrak. Pemimpin terdahulu boleh jadi sangat mengerti masalah, namun dipandang lamban bergerak dan defisit kreativitas untuk mendobrak halangan yang menghadang. Persoalan hanya dibahas dalam rupa wacana-wacana sehingga nyaris tak ada eksekusi yang bertenaga. Jika terdapat kebijakan yang nampak prospektif untuk mengeliminasi problem cenderung dihindari apabila dianggap risikonya terlalu besar. Hasilnya, kebijakan dan program hanya mengulang yang selama ini telah berjalan. Akibatnya ekonomi bergerak pelan dan warisan persoalan yang tak berkurang. Jokowi – JK dipandang merupakan cermin sebaliknya dari deskripsi itu, sehingga harapan dengan cepat membuncah.
Platform dan Eksekusi
Di luar itu, masyarakat menaruh simpati yang utuh sebab Jokowi – JK berani mengambil kembali saripati bernegara: meletakkan konstitusi sebagai panduan pembangunan. Konsep Trisakti, lebih khusus lagi ekonomi berdikari, yang diusung oleh mereka sejak masa kampanye merupakan pesan kemerdekaan dan substansi konstitusi. Kesan untuk meletakkan kepentingan ekonomi nasional di atas segala hal nampak sangat kuat, sehingga akan muncul aneka kebijakan ekonomi yang memperkokoh ekonomi domestik, seperti pembangunan pertanian, mengarusutamakan sektor maritim, mendorong infrastruktur, menghidupkan daerah tertinggal, memprioritaskan usaha kecil, mendinamisir sektor industri, memastikan sektor keuangan menopang sektor riil, penciptaan lapangan kerja secara luas, mengurangi utang, menambah pendapatan negara dari sumber domestik, dan lain-lain. Itu semua merupakan impian lama yang dinanti wujudnya oleh rakyat.
Sebagian besar rakyat yakin aneka kebijakan itu akan bisa dijalankan sebab Jokowi – JK sebelumnya telah mampu membuktikan dalam perjalanan “karir politik†masing-masing. Jokowi sejak menjadi walikota di Solo telah menjalankan banyak kebijakan pro-rakyat, misalnya penataan sektor informal dan menahan banjir usaha modern, sehingga diganjar dengan beragam penghargaan. Demikian pula waktu menjadi Gubernur DKI Jakarta, langsung bekerja menata kawasan kumuh, meskipun urusan tersebut (dan yang lain) tak dapat diteruskan karena persiapan pemilihan presiden. Sementara itu, JK tak kalah moncer dalam urusan kesigapan dan membuat terobosan. Konversi minyak tanah ke gas adalah kebijakan yang banyak diingat orang, di samping kebijakan-kebijakan yang lain. Kemampuannya menjadi mediator perdamaian Aceh, Poso, dan lain sebagainya juga menjadi bukti kapabilitas politiknya untuk menopang setiap penyelesaian masalah.
Itulah beberapa faktor yang mengantarkan keterpilihan Jokowi – JK menjadi presiden/wapres. Setelah pelantikan dilakukan, maka mata rakyat tertuju kepada orang-orang yang akan mereka pilih menjadi menteri, khususnya menteri ekonomi. Peran menteri sangat besar karena tak mungkin seluruh urusan akan dikontrol langsung oleh presiden/wapres. Fungsi menteri adalah menerjemahkan visi dan misi presiden ke dalam kebijakan dan program ekonomi yang kredibel. Oleh karena itu, pemahaman dan jejak gagasan menteri harus selaras dengan platform yang dibawa oleh presiden. Tak semestinya menteri ekonomi yang dipilih adalah figur yang selama ini berselisih jalan dengan platform tersebut. Berikutnya, kapabilitas harus terlihat secara jelas, terutama kesigapan mengawal setiap program. Kinerja ekonomi pemerintah sebelumnya dianggap gagal sebagian karena menteri hanya sibuk rapat, tak mampu menjejakkan kaki program dalam realisasi yang terukur.
Bandul Kecemasan
Tepat pada urusan seleksi menteri itulah publik mulai ragu dengan proses tersebut. Pertama, nama-nama yang mengisi pos ekonomi tidak cukup menunjukkan adanya paralelitas antara platform yang diusung dengan jejak rekam calon tersebut. Sebagian yang mengisi adalah “pemain†lama kabinet sebelumnya, padahal kinerjanya tak memadai dan cara pandang ekonominya menyimpang dari platform presiden, misalnya Menteri Keuangan. Sebagiannya lagi figur yang berasal dari kelompok dunia usaha dan politisi dengan visi yang tak terang, misalnya dalam membangun sektor industri dan perdagangan. Kedua, pengumuman kabinet yang molor dari rencana, setidaknya tertunda dua kali, menerbitkan syak wasangka bahwa presiden tak memakai hak prerogatifnya untuk menyusun kabinet. Padahal sejak awal presiden sudah menyatakan bahwa tak ada negosiasi dalam penyusunan koalisi dan kabinet. Situasi ini telah menggerogoti kepercayaan publik.
Menteri Koordinator Perekonomian seharusnya memiliki cakrawala yang luas, baik dari aspek fiskal maupun moneter, karena harus mengkoordinasi banyak kementerian teknis. Menteri Keuangan tak diisi oleh orang yang betul-betul mau memperjuangkan kedaulatan ekonomi, baik dalam rupa optimalisasi penerimaan domestik (khususnya pajak), mengurangi ketergantungan utang, belanja alokasi yang bertanggung jawab, dan menuntun kebijakan fiskal yang adil. Kementerian yang sangat vital ini akan diurus dengan cara klise seperti selama ini, yang bukan hanya telah gagal dalam mengubah sendi-sendi perekonomian, namun juga menggelincirkan perekonomian ke tepi jurang. Demikian pula dengan Kementerian Industri dan Perdagangan. Figur yang mengisi pos tersebut selama ini tak punya jejak menyuarakan afirmasi yang kuat mengatur pasar domestik bagi penguatan ekonomi dalam negeri dan jejak rekam memperjuangkan pengelolaan dan pengolahan sumber daya domestik.
Bagaimana dengan Kementerian BUMN dan Pertanian? Nampaknya kita juga harus gigit jari lagi. Menteri BUMN tak pernah menyampaikan visi penguatan BUMN dan tidak akan menjual jika sudah sehat (privatisasi). Padahal, BUMN mempunyai kekuatan besar untuk menjalankan misi ekonomi dan sosial. Sektor pertanian adalah pertaruhan Jokowi – JK karena terdapat isu maha penting: kedaulatan pangan dan reforma agraria. Sayang pula nama-nama yang punya komitmen untuk mewujudkan hal tersebut justru terlempar dari bursa. Nampaknya, pencapaian tujuan kedaulatan pertanian ini akan sangat berat. Hal yang sama juga terjadi di Kementerian Koperasi dan UMKM, yang perannya bakal marjinal. Sedikit melegakan, Kementerian PPN/Bappenas semoga bisa mengompensasi keterbatasan di atas. Menteri ini punya ide pembangunan yang bukan arus utama dan berani menabrak gagasan baku sehingga diharapkan bisa “bertarung†dengan Menkeu. Figur yang amat dipercaya Jokowi ini diharapkan bisa membentuk tim ekonomi yang lebih tangguh di bawahnya sehingga memiliki amunisi yang cukup untuk mengemudikan layar pembangunan.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef