Pada saat proklamasi seluruh anak negeri nyaris memiliki identitas ekonomi yang sama: melarat. Proklamasi ditegakkan hanya oleh ideologi dan nyali. Tak ada modal ekonomi yang menyangga pengumuman kemerdekaan. Para pendiri bangsa cuma paham bahwa politik adalah jembatan emas. Oleh karena itu, Bung Karno berulang kali bilang: kemerdekaan bukanlah tujuan. Ia adalah kendaraan. Proklamasi adalah ikrar politik, sedangkan ekonomi adalah urusan yang harus diperjuangkan tiap detik.
Selama masa Orde Lama pembangunan ekonomi dimulai dengan segala daya. Pemerintah ketika itu, misalnya, memiliki naskah “Pembangunan Semesta Berencana”. Dokumen perencanaan tersebut menunjukkan ideologi, arah, dan target pembangunan yang ingin dicapai. Isinya utuh, tajam, dan ideologis. Jika pada masa itu dieksekusi dengan sigap dan efektif, pasti banyak kemilau ekonomi yang dapat dirasakan hingga kini. Problemnya, riuh dan riak politik pada zaman itu menindih ikhtiar program-program ekonomi. Rencana tak banyak berjejak di lapangan.
Ketika periode berpindah ke masa Orde Baru, stabilitas politik ditata dengan ragam instrumen. Dengan segala kritik di baliknya, riuh politik reda sehingga pembangunan ekonomi bisa dihela. Pertumbuhan ekonomi meningkat, investasi naik, inflasi turun cepat, infrastruktur melesat, dan ekonomi masyarakat bergeliat. Pendapatan per kapita merayap dan Indonesia naik kelas menjadi negara berkembang, bukan lagi terbelakang. Indonesia unggul ketimbang Malaysia, Thailand, apalagi India dan Cina.
Tapi, masalah berbeda kemudian muncul. Perkembangan ekonomi yang menyeruak itu menindih dimensi lain yang begitu vital: keadilan. Ketimpangan ekonomi meningkat mulai pertengahan 1980-an. Investasi asing deras masuk dan intervensi lembaga multilateral kian intensif. Pada pertengahan 1990-an, 40 konglomerat terbesar asetnya bahkan setara 75% dari APBN (saat itu). Ketimpangan penguasaan lahan menggila, korporasi kakap menguasai jutaan hektar lahan perkebunan dan hutan (HPH). Ekonomi kian mengerucut: sedikit orang menggenggam hampir seluruh sumber daya ekonomi negara.
Itulah yang menjadi salah satu sumber pemicu krisis ekonomi terbesar negeri ini, di luar periode 1965-1966, yakni krisis moneter 1997/1998. Pertumbuhan ekonomi anjlok minus 13,1% dan inflasi menjulang menjadi 88%. Harga saham rontok, demikian pula perusahaan besar (yang sebetulnya rapuh karena besar oleh ragam kebijakan konsesi dan hak istimewa) bergelimpangan. Masa muram itulah yang kemudian melahirkan Orde Reformasi, yang diharapkan memperbaiki seluruh praktik gelap Orde Baru.
Pemerintahan Masa Orde Reformasi dengan cekatan memulihkan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dengan cepat menjadi positif, inflasi diturunkan di bawah 20%, utang dikendalikan, dan korporasi disangga kembali. Otonomi daerah dieksekusi agar pusat tak lagi dominan. Persaingan usaha dibuat rapi melalui UU No. 5/1999 agar tak terjadi praktik monopoli. Namun, ketimpangan ekonomi rupanya tak dapat dijamah. Bahkan pada periode 2004-2014 rasio gini (yang mengukur intensitas ketimpangan) justru terus meningkat hingga menyentuh angka 0,41. Disparitas makin menganga.
Pada masa Orde Baru pemerintah berupaya mengatasi ketimpangan dengan mengeluarkan kebijakan 8 jalur pemerataan, seperti pemenuhan kebutuhan pokok, kesempatan kerja, pendidikan dan kesehatan, kesempatan berusaha, penyebaran pembangunan, pembagian pendapatan, dan lain-lain. Pun pada 2004-2014 juga ada kebijakan “pro-poor“, seperti desain KUR (Kredit Usaha Rakyat), Raskin, dan PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri. Namun, kebijakan yang bagus itu tak juga bisa menurunkan ketimpangan, bahkan alih-alih disparitas justru melonjak.
Masalahnya di mana? Ada dua sebab. Pertama, pada periode tersebut pelaku usaha besar juga diberikan insentif yang besar, misalnya lahan perkebunan atau hutan tetap ditambah buat mereka. Rakyat kecil dibantu, namun kelompok atas disangga dalam jumlah yang lebih banyak. Kedua, kebijakan dan program pemerataan itu luput dalam satu hal: penambahan aset dan akses kaum miskin. Rakyat kecil cuma dibantu di hilir dengan aneka program karikatif, tapi penyebab ketimpangan di hulu nyaris diabaikan, yakni penguasaan aset dan akses.
Lubang itulah yang nyaris dalam empat tahun terakhir ditutup oleh pemerintah. Kebijakan RAPS (Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial) dieksekusi untuk menyasar penguatan aset dan akses bagi kaum miskin. Reforma Agraria difokuskan untuk memberikan lahan kepada para petani atau pekebun yang selama ini tunalahan. Sementara itu, akses pemanfaatan hutan dibuka kepada warga yang hidup di sekitar hutan. Mereka dapat mengelola dan memanfaatkan hutan untuk masa 35 tahun dan nantinya dapat diperpanjang kembali. Pilar perhutanan sosial bukan hanya pemberian lahan, namun juga kesempatan berusaha dan pemberdayaan (ekonomi) warga.
Pada 2017 saja sudah diterbitkan 5 juta sertifikat tanah, yang tadinya hanya 500-800 ribu bidang sertifikat tanah. Sampai tahun lalu sudah dilepaskan 977 ribu hektar kawasan hutan negara. Di luar itu, telah diberikan pula 1,7 juta hektar akses kawasan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat. Pada saat yang sama, pemerintah tidak memberikan sama sekali tambahan izin untuk orang atau perusahaan besar di bidang perkebunan dan kehutanan. Seluruhnya hanya untuk kaum fakir. Intinya, aset dan akses rakyat ditambah, sedangkan peningkatan aset (lahan) perusahaan dicegah.
Hasilnya, angka ketimpangan pendapatan lekas turun. Saat ini rasio gini telah turun menjadi 0,38. Kebijakan RAPS dan aneka program pemerataan pendapatan lainnya telah bekerja dengan efektif. Hebatnya, capaian ini diperoleh ketika tren pertumbuhan ekonomi terus meningkat. Rumus yang selama ini diyakini: pemerataan yang makin bagus diiringi dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Pada masa sekarang, justru sebaliknya yang terjadi. Pertumbuhan ekonomi diikuti dengan penurunan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Capaian yang memikat ini layak disyukuri, tapi kerja belum usai!
Ahmad Erani Yustika Staf Khusus Presiden, Guru Besar FEB Universitas Brawijaya