Menjelang malam pergantian tahun baru, Obama akhirnya memenangi pertarungan. Pada masa kampanye Obama berjanji dan memperdebatkan salah satu kebijakan yang hendak dia perjuangkan, yakni kenaikan pajak bagi kaum kaya. Kebijakan itu bukan semata untuk menghindari jurang fiskal (fiscal cliff) yang tengah mengancam AS, tetapi juga sebagai upaya mengembalikan nilai moral dalam pengelolaan ekonomi AS, seperti yang selama ini diyakini oleh Partai Demokrat (di AS). Setelah pelantikan presiden untuk termin kedua, Obama bergerilya mencari dukungan karena Kongres AS dikuasai oleh Partai Republik. Seperti halnya kebijakan Reformasi Kesehatan, Obama menghadapi penolakan yang sangat keras atas kebijakan itu, sehingga dia harus terjun sendiri melakukan lobi. Obama bahkan harus mempersingkat liburan Natal demi menuntaskan perjuangan tersebut. Seperti diketahui, berkat visi yang kuat, keyakinan yang teguh, dan determinasi yang mengagumkan, kebijakan kenaikan pajak itu pada akhirnya lolos.
Visi dan Ideologi Partai
Obama sekali lagi menunjukkan dua hal penting dalam kepemimpinan: visi dan keteguhan/keyakinan. Dalam soal visi, Obama tidak terlalu sulit merumuskan hal itu karena “ideologi” Partai Demokrat secara eksplisit telah memberikan panduan bagaimana seharusnya kiblat kebijakan dan program, baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial, mesti diarahkan. Warga AS tahu persis warna kebijakan Partai Demokrat dan Partai Republik (yang sangat kontras) sehingga konstituen tinggal mengambil pilihan. Dalam keadaan semacam itu, presiden tinggal merumuskan perioritas kebijakan dan opsi pelaksanaannya ketika berkuasa. Kebijakan dan program itu bahkan sudah diketahui saat kampanye sehingga pemilik hak suara memiliki kepastian. Oleh karena itu, dari sejak dulu hingga sekarang, konstituen Partai Demokrat adalah kaum buruh (menengah-bawah) dan penganut kekebasan sosial, sedangkan pengikut Partai Republik adalah warga kaya (pengusaha) dan puritanisme sosial/agama.
Pada peridoe pertama kekuasaan, Obama melihat sebagian besar warga AS tidak terjangkau oleh layanan kesehatan, khususnya golongan menengah-bawah dan penduduk kulit berwarna. Bagi Obama situasi itu sungguh memilukan dan memalukan karena mungkin hanya AS sebagai negara maju yang sebagian besar penduduknya tidak dijamin oleh asuransi kesehatan. Dari perspektif ekonomi, kesehatan bukan sekadar indikator untuk melihat kesejahteraan penduduk, tapi sekaligus mengungkap seberapa tinggi level produktivitas seseorang untuk bisa mengerjakan kegiatan ekonomi. Pesan singkatnya: makin tinggi kesehatan warga, maka kian produktif penduduk tersebut. Amartya Sen (1999), peraih Nobel Ekonomi, bahkan secara jelas menyatakan mustahil mengatasi kemiskinan tanpa meningkatkan kapabilitas seseorang, dan salah satu pengungkit kapabilitas adalah kesehatan. Poin inilah yang dibaca dengan cermat oleh Obama sehingga menjadi prioritas kebijakannya.
Berikutnya, pada fase kedua kekuasaan dia dengan cerdik melihat persoalan ekonomi AS yang dikawinkan dengan ideologi partai. Ekonomi AS diterjang oleh patologi ketimpangan pendapatan yang mengerikan (Rasio Gini mencapai 0,49; sedikit lagi hampir menyentuh angka psikologis 0,5/ketimpangan tinggi) dan situasi fiskal yang mencemaskan (defisit anggaran yang membengkak). Obama terjepit untuk bisa meningkatkan penerimaan angggaran pada satu sisi, sementara di sisi lain ketimpangan pendapatan juga mendesak untuk diurus. Pajak progresif merupakan pilihan cerdik untuk mengatasi dua kondisi tersebut, yang dengan sigap diambil Obama. Obama bahkan tidak mundur oleh gertakan ekonomi akan makin muram jika pajak dinaikkan, sebab dalam sejarah AS pertumbuhan ekonomi justru kian tinggi saat pajak progresif dijalankan, demikian sebaliknya (Krugman, 2012). Sejarah mencatat, Obama untuk kedua kalinya berhasil mengeksekusi kebijakan heroik tersebut.
Sedekah Jabatan
Jika dua kebijakan penting Obama di atas boleh diringkas dalam satu terma “obamanomics”, maka konsep itu bisa didefinisikan sebagai upaya mengembalikan proses dan hasil ekonomi kepada seluruh masyarakat dan diabdikan kepada nilai moral. Proses kegiatan ekonomi mengharapkan partisipasi penuh masyarakat dalam aktivitas produktif, di mana hal ini menghendaki penguatan kapabilitas tiap individu. Instrumen penguatan kapabilitas itu tak lain adalah pendidikan dan kesehatan. Dalam konteks situasi AS pada 2008 lalu, isu aksesibilitas kesehatan merupakan hal mendasar yang harus diperbaiki, sehingga Obama menempatkan hal itu sebagai kebijakan utama. Sementara itu, hasil pembangunan tidak boleh mengerucut pada segelitir lapisan atas masyarakat (yang ditandai oleh Rasio Gini yang tinggi), sehingga pada periode kedua kekuasaannya Obama mengambil pilihan pajak progresif sebagai dasar bahwa ekonomi tak boleh lepas dari imperatif moral.
Kecerdikan memilih kebijakan adalah satu hal, sedangkan kepiawaian meloloskan kebijakan merupakan hal lain yang tak kalah kompleks. Tiap pemimpin, apalagi pada level presiden, harus menjajakan banyak kebijakan untuk ditawarkan dalam bursa politik. Disebut bursa politik, sebab tiap kebijakan dalam sistem demokrasi menghendaki akomodasi dari sekian banyak institusi, salah satunya lembaga legislatif (parlemen, senat, kongres). Tentu saja syarat yang harus dipenuhi pertama kali adalah rasionalitas kebijakan dan keyakinan terhadap prospek keberhasilan kebijakan itu setelah diimplementasikan. Proses itulah yang dilakukan oleh Obama dan tim ekonominya untuk memastikan bahwa kenaikan pajak akan menggairahkan kegiatan ekonomi, memerbaiki neraca fiskal, dan mengurangi ketimpangan pendapatan. Para penentangnya disodori konsep dan kalkulasi ekonomi yang solid sehingga sulit untuk menaklukkan gagasan tersebut.
Segenap keteguhan terus dipelihara dan diperbesar sampai detik terakhir batas waktu berdentang. Para politisi kelas wahid dikerahkan untuk melobi satu per satu sumber penolakan ide itu, bahkan presiden turun tangan sendiri untuk negosiasi dengan para pemilik pengaruh suara. Rakyat bisa menyaksikan bahwa forum lobi bukanlah panggung untuk memetik keuntungan privat, tapi sebagai arena untuk memperjuangkan kepentingan publik. Presiden bergerak semata memperjuangkan aspirasi publik (setidaknya bagi para pemilihnya), sehingga hasil perundingan merupakan pantulan dari hasrat rakyat yang terlampiaskan. Meskipun dalam drama ini Obama tidak meraih kemenangan mutlak karena kenaikan pajak hanya berlaku bagi warga berpendapatan di atas US$ 400 ribu (bukan US$ 250 ribu seperti yang diinginkan), tapi sekurangnya dia telah berhasil memenangkan misi suci dalam berpolitik: menyedekahkan jabatan untuk kemaslahatan publik. Dulu kita punya banyak pemimpin profetik semacam itu, namun sekarang tinggal sejarah!
Â
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef