Akhirnya pengumuman para menteri yang ditunggu-tunggu telah terjadi dan menghasilkan beberapa catatan yang bisa disampaikan dalam berbagai sudut pandang. Secara umum, melihat nama para menteri yang mengisi pos kabinet, kesan yang tidak bisa dihindari adalah kuatnya pengaruh partai politik sehingga sebagian besar nama berasal dari orang-orang partai dan tim sukses. Hal ini barangkali sebuah keniscayaan karena naiknya SBY menjadi presiden ditopang oleh koalisi besar, bahkan koalisi itu masih ditambah menjelang penyusunan kabinet (Partai Gokar). Berikutnya, untuk pos menteri ekonomi cukup banyak kejutan yang terjadi (meskipun saat drama “audisi†dilakukan sudah dapat ditebak nama-nama yang bakal mengisi pos kementerian). Nama-nama yang selama ini diperkirakan akan masuk kabinet ekonomi justru terhempas dari kursi kabinet. Sebaliknya, nama yang tidak pernah muncul ke permukaan malah melenggang masuk kabinet. Pada titik ini menarik untuk melihat bagaimana prospek kinerja menteri-menteri ekonomi ini 5 tahun mendatang.
Rintangan yang Menghadang
Menilai prospek kinerja menteri (ekonomi) rasanya tidak cukup membandingkan antara kompetensi yang dimiliki dengan jenis pekerjaan yang mesti dilakukan. Lebih dari itu, perlu juga mengamati kesesuaian antara kecakapan pengetahuan yang dipunyai dengan tantangan ekonomi yang menghadang. Di sinilah kita akan menjumpai setumpuk persoalan ekonomi yang selama ini menggelayut dalam pundak struktur perekonomian. Pertama, dalam beberapa tahun terakhir sumbangan pertumbuhan ekonomi dari sektor tradeable kian merosot dan digantikan dengan sektor non-tradeable. Secara umum perubahan sumber pertumbuhan ekonomi tersebut memang tidak mengganggu pencapaian pertumbuhan ekonomi, namun dampak yang ditimpulkan akibat perubahan itu luar biasa besar. Implikasi itu tidak lain adalah tingginya angka pengangguran karena sektor yang selama ini banyak menyerap tenaga kerja adalah tradeable sector (sektor riil).
Kedua, perubahan juga terjadi pada jenis investasi asing yang datang ke Indonesia. Dulu investasi asing langsung (PMA) mendominasi jenis investasi, tapi sekarang portfolio investment (PI) meningkat sangat cepat. Fakta ini juga mencemaskan karena PI nyaris tidak memiliki implikasi terhadap penyerapan tenaga kerja. Ini berbeda dengan penanaman modal langsung (baik asing maupun domestik) yang berpotensi menyerap tenaga kerja. Lebih dari itu, secara keseluruhan investasi di Indonesia masih didominasi oleh investasi asing (meskipun penyebutan jenis investasi asing ini menjadi perdebatan) sehingga mengganggu upaya peningkatan kemandirian/kedaulatan ekonomi nasional dalam jangka panjang. Ketiga, infrastruktur ekonomi yang amat menyedihkan karena lambatnya penambahan infrastruktur baru sehingga menghambat investasi. Infrastruktur listrik, jalan, pelabuhan, telekomunikasi, dan lain-lain tidak mengalami penambahan yang memadai untuk menopang aktivitas investasi.
Keempat, penciptaan nilai tambah ekonomi atas kegiatan produksi. Sebagian komoditas yang diproduksi, baik untuk pasar domestik maupun ekspor, adalah bahan mentah atau setengah jadi sehingga nilai ekonominya sangat rendah. Komoditas itu umumnya berada di sektor pertanian (dalam pengertian yang luas) dan sumber daya alam lainnya (misalnya pertambangan), di mana Indonesia memiliki keunggulan yang meyakinkan. Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah menciptakan pohon industri yang berbasis input pangan dan SDA (energi) sehingga dapat mendongkrak nilai ekonomi barang/jasa yang diperdagangkan. Kelima, tantangan ini menyangkut perluasan dan intensitas sumber penerimaan negara yang tidak hanya bersumber dari utang, khususnya utang luar negeri. Tiadanya upaya yang besar untuk mengatasi ketergantungan sumber pendanaan negara yang berasal dari utang akan membuat negara terjebak dalam siklus ketergantungan yang terus-menerus.
Portofolio Kabinet
Dengan mencermati masalah-masalah pokok perekonomian dan dibandingkan dengan nama-nama menteri yang mengisi pos ekonomi, maka memang pesimisme publik bukannya tanpa dasar. Tumpuan utama yang diharapkan dari kabinet ekonomi adalah figur yang memiliki konsep dan jejak rekam yang mengkilap untuk memerkuat peran sektor riil (pertanian, pertambangan, dan industri). Hal ini juga didukung oleh roadmap investasi yang dikeluarkan oleh BKPM dan Kadin yang menempatkan pangan, energi, dan industri sebagai prioritas di masa depan (didukung dengan infrastruktur ekonomi). Menko Perekonomian di sini memegang peran vital untuk memandu dan mengkoordinasikan departemen-departemen sektoral agar berjalan sesuai dengan prioritas tersebut. Tentunya, sebagai pemandu Menko Perekonomian harus memiliki perspektif dan pemihakan yang kuat terhadap isu-isu itu. Tanpa penguasaan sudut pandang tersebut sulit pemihakan akan terjadi.
Berikutnya, menteri-menteri ekonomi (termasuk kepala BKPM) harus berkontribusi terhadap penguatan pelaku ekonomi domestik. Kenaikan investasi yang diperoleh dari investasi asing bukanlah merupakan prestasi yang dapat dibanggakan karena sumber daya perekonomian nasional memiliki banyak keunggulan. Buktinya, meskipun infrastruktur sangat terbatas, tapi Indonesia masih menjadi negara dengan pesona investasi yang cukup bagus. Sayangnya, melihat menteri-menteri yang mengisi pos ekonomi, sebagian besar belum memiliki pengalaman dan konsep mengenai masalah ini. Fadel Muhammad barang kali perkecualian karena prestasinya yang cukup bagus membangun perekonomian Provinsi Gorontalo. Sedangkan kementerian koperasi dan UMKM, percepatan daerah tertinggal, serta tenaga kerja dan transmigrasi selama ini cuma dibuat layaknya “mainan†sehingga penempatan orang di pos-pos tersebut kurang mempertimbangkan aspek kompetensi. Padahal, dari pos-pos itulah persoalan pengangguran dan kemiskinan punya potensi dipecahkan secara substansial.
Terakhir, nampak juga ketidakselarasan antara menteri yang dipilih dengan komitmen untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang (domestik dan luar negeri). Kita memerlukan menteri keuangan yang tidak hanya tangkas menyusun asumsi ekonomi makro, tetapi juga mendesain penerimaan anggaran yang tidak membuat negara terjerembab dalam pusaran utang yang tiada henti. Negara ini sudah sampai pada level “kecanduan†terhadap utang, sehingga nyaris tidak pernah melewati tahun tanpa melakukan utang. Beban utang itu sudah ditanggung sejak lama, bahkan mulai 1985 jumlah utang luar negeri yang harus dibayar (bunga dan cicilan pokok) lebih besar daripada utang baru yang didapat (debt-trap). Seluruh deskripsi ini akan berujung kepada kesimpulan bahwa watak kebijakan ekonomi 5 tahun ke depan rasanya tidak akan banyak mengalami perubahan, padahal masalah yang dihadapi menghendaki karakter kebijakan yang berbeda. Sayang sekali presiden terjebak dalam konservatisme yang terlalu berlebihan dalam pemilihan menteri kali ini, khususnya di bidang ekonomi.
Seputar Indonesia, 23 Oktober 2009
*Ahmad Erani Yustika, Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya; Direktur Indef