Pemerintah boleh saja mengklaim pada 2008 terjadi swasembada beras, namun situasi di lapangan kerap kali tidak seindah data-data yang dipublikasikan. Kondisi yang paling mengenaskan di sektor pertanian adalah kian banyaknya rumah tangga petani yang berlahan sempit. Hasil Sensus Pertanian 2003 mengabarkan jumlah rumah tangga (RT) petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar –baik milik sendiri maupun menyewa- meningkat 2,6% per tahun, dari 10,8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13,7 juta rumah tangga (2003). Persentase RT petani gurem terhadap RT pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7% (1993) menjadi 56,5% (2003). Pola ini terus terjadi akhir-akhir ini, sehingga sekarang RT petani gurem diperkirakan telah menembus angka 60%. Sebelumnya, telah banyak pihak yang mengingatkan betapa seriusnya persoalan konversi lahan pertanian yang digunakan untuk kegiatan di sektor industri, pusat perbelanjaan, atau kawasan perumahan.
Sengketa Lahan
Hubungan antara negara dan petani bukan hanya didominasi oleh fakta kebijakan yang selalu tidak mengenakkan petani, tetapi juga ditingkahi oleh beragam upaya represi negara dan perlawanan sengit yang diberikan petani atas kebijakan yang merugikannya. Petani sendiri tidak selalu memberikan perlawanan dalam wujud radikal atau tindak kekerasan, melainkan malah lebih banyak dalam bentuk halus dan tersamar. Studi yang dikerjakan oleh Bates (1981:82) di Afrika memperkuat pernyataan itu, di mana kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan petani ditanggapi dengan jalan menggunakan instrumen “pasar†untuk melawan negara. Misalnya, petani berhenti membudidayakan tanaman yang tidak menguntungkan, mencari saluran-saluran yang lebih baik untuk produksinya (misalnya ke negara tetangga), dan menutup kegiatan pertanian untuk kemudian pindah ke kota. Situasi itulah yang mengakibatkan pembangunan ekonomi di Afrika mengalami kelumpuhan.
Di Indonesia sendiri teramat sering terjadi ketegangan antara negara dan petani akibat munculnya kebijakan yang pincang. Kasus paling fenomenal barangkali yang terjadi pada petani tebu, khususnya sejak keluar Inpres No. 9/1975 mengenai program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Program ini memiliki dua tujuan pokok, yaitu meningkatkan produksi tebu dan mengubah struktur produksi tebu dari semula ditanam pabrik gula menjadi diproduksi petani. Namun, dalam implementasinya pemerintah menggunakan cara-cara pemaksaan agar petani menanam komoditas tebu tersebut. Petani sendiri sebagian besar keberatan dengan model paksa itu karena dipandang menanam tebu kurang menguntungkan dibandingkan dengan mengolah tanaman pangan. Akibatnya, banyak sawah yang dibuldozer karena petani menolak menanam tebu. Pengalaman pahit itu sudah berumur sekitar 30 tahun, tapi secara umum model eksploitasi semacam itu tetap terjadi dengan mengambil skema yang lain, seperti kelangkaan pupuk, benih yang mahal, dan mafia distribusi.
Secara lebih detail, penyebab konflik antara negara dan petani sebenarnya beragam, tetapi yang paling banyak berupa sengketa lahan. Dalam kasus di sektor perkebunan sengketa itu berupa perebutan tanah garapan, ganti rugi yang tidak adil, tuntutan pengembalian tanah, dan penyerobotan lahan oleh masyarakat. Sedangkan sengketa di luar masalah tanah, biasanya persoalan kredit yang memberatkan, perusakan tanaman, dan penjarahan produksi. Konflik ini bukan hanya mempertemukan antara petani dengan negara, tetapi juga menghadapkan petani dengan perusahaan besar swasta yang biasanya dijaga rapat oleh aparat negara. Bisa diduga dalam pertikaian ini petani dalam posisi yang lemah karena di samping mereka tidak memiliki bukti hukum yang kuat, juga pemain besar swasta dan PTPN bisa memengaruhi aparat negara maupun pengadilan untuk memenangkan mereka. Sulit untuk membantah argumen ini, meskipun tidak mudah juga untuk menemukan bukti empiriknya.
Penguatan Basis Produksi
Pertemuan antara masalah sengketa lahan dan kebijakan pemerintah (daerah) yang terus mengonversi lahan pertanian, menjadikan kepemilikan lahan petani terus menyusut. Pada titik ini, sebagian besar petani di Indonesia telah kehilangan basis produksi yang paling penting, yakni tanah. Akibatnya, petani terpaksa menyewa lahan bila hendak memperluas areal tanamannya, jika tidak ingin jatuh menjadi buruh tani. Masalahnya, biaya sewa lahan yang terus meningkat menyebabkan terjadinya pembengkakan biaya produksi. Penelitian pada petani tebu di Jawa Timur memperlihatkan ongkos sewa lahan mencapai 40% dari total biaya produksi (Yustika, 2005). Celakanya, petani tidak bisa menaikkan harga jual komoditasnya karena dua alasan: pemerintah mengenakan harga dasar (provenue) atau digencet oleh pelaku ekonomi lainnya (seperti tengkulak). Reformasi tanah (land reform) sendiri berjalan sangat lamban walaupun telah ada payung regulasinya, yakni UUPA No. 5/1960.
Data menunjukkan antara 1960-2002 telah didistribusikan 885.000 hektar (tidak lebih dari 2% total luas tanah pertanian). Tanah seluas itu dibagikan kepada 1,3 juta keluarga petani atau 7% dari total rumah tangga pertanian, sedangkan yang diredistribusikan rata-rata 25.000 bidang tanah per tahun. Tanah yang dibagi ulang itu cuma 52%, sehingga obyek reformasi tanah yang belum didistribusikan masih 48% (Kompas, 28/9/2003). Begitulah, sektor pertanian telah mengakumulasi persoalan yang sedemikian menyedihkan, tetapi kebijakan pemerintah tidak pernah meletakkan petani sebagai pihak yang harus disantuni. Kebijakan pertanian telah menjadi kisah muram dari lakon petani yang setiap saat digencet, sehingga mereka menempati lapisan paling bawah dari kerumunan komunitas miskin di Indonesia. Penguatan basis produksi merupakan titik kritis yang harus dilakukan pemerintah karena akan menentukan tingkat kesejahteraan dan posisi tawar petani berhadapan dengan pelaku ekonomi lainnya.
Bisnis Indonesia, 6 Januari 2009
*Ahmad Erani Yustika, Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef