Setiap krisis selalu menemukan cara pemecahannya, entah dengan jalan yang lazim maupun tidak. Demikian pula yang terjadi saat ini. Krisis ekonomi yang terjadi di AS dan menjalar ke sebagian besar negara, tidak terkecuali Indonesia, telah memunculkan sekian banyak solusi yang menarik untuk dicermati. Salah satu instrumen yang merangsangĀ untuk dianalisis adalah keinginan pemerintah agar BUMN melakukan buyback atas saham-sahamnya. Setidaknya, ada dua hal yang menyebabkan hal ini menarik. Pertama, instrumen buyback dapat menjadi pintu untuk merebut kembali saham-sama BUMN strategis yang dimiliki oleh swasta (asing). Dengan begitu, secara tidak langsung kebijakan buyback bisa menjadi pintu untuk memerkuat peran negara dalam perekonomian. Kedua, nilai buyback ini tidak terlalu besar (sekitar Rp 10 triliun) sehingga menimbulkan pertanyaan tentang efektivitasnya dalam membantu kenaikan indeks harga saham. Ketiga, jika kebijakan tidak dilakukan secara transparan, maka kebijakan buyback sangat rawan disalahgunakan (korupsi).
Buyback dan Nasionalisme
Sebagian orang kerap mengaitkan krisis ekonomi dengan ketahanan dan kedaulatan ekonomi. Asumsinya sederhana, negara yang ketahanan dan kedaulutan ekonominya kuat dianggap akan lebih tahan dalam menghadapi krisis ekonomi. Pada titik inilah kemudian isu ketahanan dan kedaulatan menjadi menu penting dalam formulasi kebijakan disaat krisis terjadi. Kebetulan dalam isu ini Indonesia menjadi salah negara yang dianggap ketahanan dan kedaulatan ekonominya rapuh. Pertama, privatisasi oleh sebagian kalangan dianggap sebagai cara negara maju (atau sektor privat) untuk memperlemah ekonomi negara berkembang karena sebagian firma milik negara itu berusaha di sektor yang strategis. Kedua, komoditas penting (terutama di sektor pertanian) sangat tergantung dari impor. Produk-produk itu antara lain adalah jagung, kedelai, gandum, gula susu, daging, dan lain-lain. Apabila harga komoditas-komoditas tersebut melonjak di pasar dunia, maka ekonomi Indonesia pasti terguncang.
Dalam konteks inilah buyback menjadi penting sebab dapat menjadi mediator yang mempertemukan antara keinginan untuk mengerem laju privatisasi dan penguatan ketahanan ekonomi. Dalam soal yang terakhir ini memang tidak dimungkiri hubungan antara buyback dan ketahanan ekonomi agak jauh, karena variabel yang menentukan ketahanan ekonomi suatu negara sangat banyak. Tapi, sekurangnya dengan langkah ini negara sudah mulai mencicil untuk kembali memiliki usaha-usaha ekonomi strategis dan menguasai hajat publik. Sampai di sini tentu hanya saham-saham tertentu saja yang perlu diambil lagi oleh BUMN agar dana yang terbatas itu bisa menimbulkan dampak yang signifikan bagi perekonomian negara. Sedangkan untuk saham perusahaan yang tidak terlalu strategis sebaiknya ditunda terlebih dulu pembeliannya setelah nantinya pemerintah atau BUMN memiliki likuiditas yang memadai. Dengan begitu, identifikasi dan penentuan skala prioritas menjadi penting pada level ini.
Masalahnya, seberapa efektif langkah pemerintah ini dalam meningkatkan kepercayaan investor dan menyumbang kenaikan indeks harga saham? Jawaban terhadap pertanyaan ini tentu tidak bisa eksak untuk sekarang ini. Namun, dengan melihat nilai kapitalisasi pasar saham yang mencapai ratusan triliun (sebelum krisis), dengan mudah diambil kesimpulan bahwa upaya itu seperti menggarami air laut. Sungguh pun begitu, jika efektivitas dilihat sebagai bentuk respons pemerintah terhadap masalah yang muncul, maka bisa jadi kebijakan buyback ini sangat efektif. Bagi pelaku ekonomi, yang penting bukan besaran dana yang digelontorkan pemerintah, tapi yang lebih urgen adalah eksistensi atas inisiatif pemerintah. Di sinilah kemudian kebijakan ini mendapatkan momentum yang tepat, karena apabila diakumulasikan dengan kebijakan lainnya (seperti penjaminan simpanan) nampaknya pasar sedikit lebih tenang dan bursa saham kembali berdenyut nadinya.
Transparansi Transaksi
Di luar soal di atas, faktor lain yang krusial dalam proses buyback adalah aspek transparansi. Dalam situasi di mana pergerakan harga saham turun naik sangat cepat, bahkan dalam hitungan menit, maka ketiadaan transparansi akan memunculkan peluang manipulasi (moral hazard). Dalam kasus pembelian saham BUMN dengan uang negara ataupun milik firma negara itu sendiri, maka aspek transparansi menjadi lebih penting lagi. Bisa dibayangkan, selisih harga Rp 100 saja/saham, maka berapa keuntungan yang dapat diraup oleh pihak-pihak yang terlibat dalam buyback tersebut. Oleh karena itu, dalam proses buyback itu terlebih dulu perlu disusun regulasi sederhana (mini regulation) yang memungkinkan proses transparansi tercipta. Misalnya, harga pembelian harus diumumkan begitu saham akan dibeli, sehingga publik lekas dapat mengontrol apabila terdapat indikasi penyimpangan/manipulasi. Dengan cara ini, kemungkinan terjadinya manipulasi pelaporan harga dapat dihindari.
Secara teknis langkah di atas tentu tidak sukar untuk dilakukan mengingat sudah terdapat beberapa lembaga yang bisa dimintai membantu upaya ini, misalnya Bapepam-LK. Transparansi ini nantinya akan menjadi modal yang kuat untuk membentuk tata kelola perusahaan yang baik di masa depan. Sebaliknya, jika proses transparansi ini gagal ditegakkan, maka bisa membuat kredibilitas BUMN hancur. Melalui langkah-langkah ini diharapkan akan terjadi perkawinan antara kepentingan penguatan ekonomi nasional (tertama asset ekonomi yang dimiliki dan dikontrol negara), efektivitas kebijakan, dan tata kelola yang BUMN yang baik. Jika tiga aspek ini dapat dicapai dalam kebijakan buyback, maka di masa depan kebijakan ini akan menjadi pelajaran bagus yang diwariskan pemerintah ini kepada para penerusnya. Harapannya, instrumen yang cukup strategis ini dapat dioptimalisasikan pelaksanaannya sehingga benar-benar menjelma menjadi bagian dari pemecahan masalah (a part of solution), bukan malah menimbulkan persoalan baru. Semoga!
Seputar Indonesia, 20 Oktober 2008
*Ahmad Erani Yustika, Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Brawijaya dan Direktur Eksekutif Indef