Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi untuk mengatasi krisis nilai tukar. Disebut krisis nilai tukar karena sudah memenuhi beberapa unsur berikut: merosotnya rupiah, tergerusnya cadangan devisa, defisit transaksi modal, kenaikan inflasi, dan lain-lain. Sampai sekarang pemerintah masih bersikukuh faktor eksternal sebagai penyebab jatuhnya nilai tukar, yaitu rencana The Fed mengurangi secara bertahap kebijakan quantitative easing serta merosotnya ekonomi China dan India. Dengan kata lain, situasi ekonomi domestik hanyalah sumber minor penyebab krisis nilai tukar. Setelah dalam beberapa hari terakhir kemerosotan nilai tukar tak dapat ditahan, paket kebijakan ekonomi dibuat dibuat pemerintah dengan isi 4 pokok berikut: (i) memerbaiki neraca transaksi berjalan dan menjaga nilai tukar; (ii) menjaga pertumbuhan ekonomi; (iii) menjaga daya beli masyarakat dan tingkat inflasi melalui kerja sama dengan Bank Indonesia (BI) terkait inflasi; dan (iv) mempercepat investasi.
Substansi Kebijakan
Keempat paket kebijakan itu ditempuh dengan jalan mendorong ekspor dan memberikan tambahan pengurangan pajak ekspor padat karya yang memiliki ekspor minimal 30 persen dari total produksi, menurunkan impor minyak dan gas dengan mendorong penggunaan biodiesel, menetapkan pajak impor barang mewah dari sekarang 75% menjadi 125 – 150%, dan memerbaiki ekspor mineral dengan memberikan relaksasi kuota. Selanjutnya, memastikan defisit fiskal tetap berada pada kisaran aman (2,38%) serta penambahan pengurangan pajak untuk industri padat karya. Berikutnya, pemerintah melakukan melakukan kerja sama dengan BI terkait inflasi, sedangkan untuk menjaga daya beli masyarakat berkomitmen mengubah tata niaga sejumlah komoditas yang harga di pasarannya mudah terganggu. Terakhir, menyederhanakan perizinan dengan mengefektifkan fungsi pelayanan terpadu satu pintu dan mempercepat Daftar Negatif Investasi yang lebih ramah terhadap investor.
Sebelum mengulas efektivitas kebijakan paket kebijakan tersebut, penting dideskripsikan masalah mendasar ekonomi saat ini. Sejak tahun lalu defisit neraca perdagangan terjadi, setelah selama puluhan tahun perdagangan selalu surplus. Berikutnya, defisit neraca transaksi berjalan terus membengkak (baik dari sisi neraca barang/jasa maupun modal) sehingga menekan neraca pembayaran. Defisit neraca transaksi berjalan ini merupakan penyakit lama yang tak juga tersembuhkan hingga kini. Setelah itu, dua tahun terakhir keseimbangan primer APBN (pendapatan dikurangi belanja, di luar pembayaran utang) terganggu sehingga menjadi negatif karena lemahnya pendapatan dan melonjaknya belanja anggaran. Hal mendasar lainnya, tekanan inflasi yang tidak dapat dikelola pemerintah akibat buruknya manajemen pangan dan kenaikan harga BBM mendekati ramadhan lalu. Masih banyak persoalan lainnya, namun empat problem itu merupakan penyumbang krisis nilai tukar saat ini.
Dengan deskripsi masalah itu, maka memudahkan untuk mengaitkan dengan efektivitas paket kebijakan di atas. Kebijakan pertama memberikan sinyal yang bagus karena pemerintah secara serius akan menurunkan impor dan mendorong ekspor untuk mengatasi defisit neraca perdagangan. Penurunan impor dengan cara mengurangi impor minyak dan pajak barang mewah akan memiliki makna yang bagus jika benar-benar dapat dijalankan. Hanya saja, pengurangan impor minyak mungkin memerlukan waktu yang lebih lama dan pengurangan pajak barang mewah nilai impornya tidak terlalu besar. Oleh karena itu, kebijakan ini perlu dipertajam dengan mengarahkan penurunan impor bahan baku, yang selama ini menyumbang sekitar 70% dari total impor. Sementara itu, mendorong ekspor dalam situasi ekonomi luar negeri belum begitu cerah tidaklah mudah, sehingga insentif penurunan pajak ekspor jangan terlalu banyak diharapkan berjalan dalam jangka pendek.
Kebijakan Normatif
Bagaimana dengan memertahankan pertumbuhan dengan menjaga defisit fiskal sebesar 2,38% terhadap PDB dan pengurangan pajak industri pajak karya? Kebijakan ini juga terkait dengan problem defisit keseimbangan primer, namun tidak secara drastis dilakukan, padahal pemerintah memiliki kesempatan besar. Seharusnya defisit fiskal ditekan hingga di bawah 1,5% dengan jalan mengefisienkan belanja barang, memproyeksikan kembali penyerapan belanja modal, dan realokasi belanja. Saat ini pemerintah tak memiliki kemewahan untuk meraih pertumbuhan yang cukup tinggi (sesuai target 6,3%), karena akan berbenturan dengan kebijakan lainnya. Seperti diketahui, untuk meredam inflasi dan nilai tukar, BI menaikkan BI rate yang pasti akan mengerem investasi dan memperlemah pertumbuhan. Dalam situasi trade-off semacam ini, maka stabilisasi nilai tukar dan inflasi mesti didahulukan. Pemerintah jangan terlalu banyak memberi insentif pajak karena akan menekan penerimaan, lebih baik realokasi belanja ke sektor yang penyerapan tenaga kerjanya besar (pertanian).
Selanjutnya, kebijakan pengendalian inflasi dengan BI memang merupakan keharusan, tapi secara spesifik pemerintah tidak menunjukkan peta jalannya. Perbaikan tata niaga pangan penting diletakkan di sini bukan semata untuk menjaga daya beli masyarakat, namun dalam jangka pendek penting untuk menahan inflasi (dari sisi harga pangan). Masalahnya, ini persoalan klasik yang dari dulu tidak mampu diselesaikan pemerintah. Terakhir, kebijakan penyederhanaan investasi tidak tepat didesain untuk menyelesaikan krisis ini dalam jangka pendek. Ini merupakan program yang memang harus berjalan, meskipun krisis tidak terjadi. Seperti juga soal tata niaga pangan, perbaikan iklim investasi menghadapi kendala waktu dan kapasitas birokrasi yang lemah, sehingga dalam pendek jangan diharap menghasilkan perbaikan yang berarti. Paket kebijakan ini terlalu normatif dan kurang memiliki korelasi untuk mengatasi krisis nilai tukar saat ini.
Singkatnya, paket kebijakan ekonomi kali ini kurang tajam dan tidak langsung menohok akar persoalan. Semestinya, di luar pengendalian impor, kebijakan yang diharapkan adalah melakukan kontrol lalu lintas modal dan membatasi repatriasi laba PMA. Seperti diketahui, lalu lintas modal di Indonesia sangat terbuka dan longgar sehingga memudahkan capital flight terjadi. Bank Indonesia sudah memulai dengan memperpanjang masa pemegangan SBI (Sertifikat Ban Indonesia) sekurangnya 9 bulan, walaupun ini belum terlalu progresif. Mestinya langkah ini juga dilakukan di pasar saham, SUN (Surat Utang Negara), dan instrumen keuangan lainnya. Berikutnya, repatriasi profit PMA sangat mengganggu neraca transaksi berjalan karena jumlahnya sangat besar, bahkan melebihi nilai investasi PMA tiap tahunnya, khususnya pada 2012. Pembatasan repatriasi keuntungan PMA merupakan keharusan untuk menjaga neraca transaksi berjalan dan kedaulatan ekonomi nasional.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef