Minggu lalu berita bisnis di media disesaki dengan warta kenaikan laba perbankan yang fantastis, di tengah situasi ekonomi dan bisnis yang tak terlalu cerah. Pada periode Januari – September 2012 bank-bank besar meraup profit yang mencengangkan. Tujuh bank terbesar di Indonesia memeroleh keuntungan bersih sekitar Rp 32,5 triliun, atau naik 20,4% ketimbang periode yang sama tahun lalu. Bank Mandiri mecatat laba terbesar, yakni Rp 11,1 triliun, diikuti BCA (Rp 8,2 triliun), BNI (Rp 5 triliun), CIMB Niaga (Rp 3,1 triliun), Bank Danamon (Rp 2,9 trilun), BTN (Rp 1 triliun), dan BII (Rp 922 miliar). Perolehan laba jumbo ini melanjutkan tradisi tahun-tahun sebelumnya, sehingga menempatkan sektor perbankan sebagai salah satu kegiatan bisnis yang paling menggiurkan. Hampir seluruh pengelola bank menyatakan keuntungan itu merupakan hasil dari ekspansi (pertumbuhan) kredit dan ditopang oleh pertumbuhan ekonomi yang baik, meski tahun ini pertumbuhan ekonomi sedikit lebih rendah ketimbang tahun lalu.
NIM dan Inefisiensi Bank
Alasan laba besar diperoleh dari ekspansi kredit dan pertumbuhan ekonomi sebagian bisa diterima. Pada Desember 2007 total kredit baru mencapai Rp 1.002 triliun dan melesat menjadi Rp 2.199 pada Desember 2011. Sampai April 2012 total kredit sudah meningkat lagi menjadi Rp 1.317 triliun, atau tumbuh 25,7% (yoy). Sementara itu, DPK (Dana Pihak Ketiga) yang berhasil dikumpulkan perbankan pada April 2012 juga meningkat lumayan tinggi, yaitu 21,4% (yoy). Rasio kredit terhadap deposito (loan to deposit ratio) juga membaik, yang sekarang berada di kisaran 81%. Artinya, perbankan telah memiliki komitmen untuk menyalurkan kredit atas tabungan yang diterima. Seluruh pencapaian itu berjalan linier dengan pertumbuhan ekonomi yang terus membaik, di mana tahun lalu sebesar 6,5%. Catatannya, persentase kredit bank yang diberikan ke UMKM hanya 21,6% dari total kredit, di bawah Malaysia (30%) dan Thailand (35%) [Siregar, 2012].
Sungguh pun begitu, di balik kisah sukses tersebut terdapat fakta lain yang membuat miris, yakni tingginya net interest margin/NIM (selisih antara bunga pendapatan dan bunga yang dibayarkan kepada pemberi dana, relatif terhadap jumlah aset). Sampai saat ini NIM perbankan masih sebesar 5,9% (NIM tertinggi adalah BPD 8% dan diikuti Bank Persero 6,6%). Margin bunga itu jauh lebih tinggi dari Malaysia sebesar 2,8%, Vietnam 3,1%, Thailand 3,4% dan Filipina 4,8%. Bahkan NIM di Singapura hanya 1,9% (Infobank, 2012). Sekadar contoh, DBS Group (Singapura) menyalurkan kredit pada 2011 sebesar Rp 1357,9 triliun dan memeroleh laba Rp 21,1 triliun. Sebaliknya, Bank Mandiri meraup laba Rp 12,6 triliun hanya dengan menyalurkan kredit sebesar Rp 314,3 triliun. Mengapa hal ini bisa terjadi? Sebab DBS Group NIM-nya cuma 1,84; sedangkan Bank Mandiri 5,29 (Investor, 2012). Oleh karena itu, kejujuran untuk melihat akar persoalan ini merupakan jalan terpenting yang harus dimiliki agar dapat ditemukan terapi yang manjur.
Pertama, BOPO (biaya operasional terhadap pendapatan operasional) sebagai indikator efisiensi perbankan luar biasa besar, yang berarti tidak efisien. Per akhir 2011, BOPO perbankan di Indonesia sebesar 85,4%. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga akan dijumpai data berikut: Malaysia sebesar 46%, Vietnam 46,9%, Thailand 49,3%, Â dan Filipina 79,6% (Infobank, 2012). Perbankan kerap menyatakan bahwa tingginya BOPO disebabkan karena ekspansi cabang dan area Indonesia yang begitu luas dengan infrastruktur yang terbatas. Tapi argumen ini tidak sepenuhnya tepat, karena sebagian besar cabang yang dibuka oleh bank hanya berkutat di wilayah-wilayah yang infrastrukturnya sudah mapan dan terkonsentrasi di Jawa. Oleh karena itu, patut dikaji secara lebih mendalam apa yang sebetulnya menjadi sumber inefisiensi tersebut agar mudah divarikan terapinya. Lepas dari mana sumbernya, tingginya BOPO itulah yang kemudian menyulitkan penurunan NIM.
Perebutan Nasabah Kakap
Kedua, jumlah rekening sampai 2011 sekitar 101 juta. Dari jumlah tersebut mayoritas (97%) adalah rekening dengan tabungan di bawah Rp 100 juta, sedangkan yang di atas Rp 5 miliar hanya 0,04% (49 ribu rekening). Meskipun jumlah rekening di atas Rp 5 miliar sangat kecil, tapi akumulasi tabungan mereka sekitar 50% dari total tabungan, sehingga persaingan memperebutkan nasabah kakap tersebut sangat sengit. Implikasinya, perbankan kerap kali memberi insentif bunga yang lebih tinggi agar mereka mau menabung di bank mereka dan ini memicu tingginya NIM. Ketiga, NIM yang tinggi juga terkait dengan besarnya kredit yang tidak direalisasikan (undisbursed loan). Sampai Semester I 2012 kredit yang disetujui tapi tidak diserap sekitar Rp 750 triliun, atau hampir 30% dari total kredit. Tentu saja ini menjadi beban biaya bagi bank tersebut karena bunga simpanan atas uang itu harus dibayar terus. Celakanya, bank tidak berdaya atas situasi ini karena kredit yang tak terserap tadi biasanya bersinggungan dengan faktor luar, misalnya perizinan investasi, infrastruktur, dan lain-lain.
Tentu masih banyak lagi faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab sulitnya NIM turun, misalnya struktur industri perbankan yang cenderung oligopoli (4 bank terbesar menguasai sekitar 44% DPK, kredit, dan aset) [BI, 2012], sehingga dalam banyak hal mereka merupakan “price leaderâ€. Pada titik ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Pertama, pemerintah dan Bank Indonesia berjuang terus menurunkan inflasi dan BI rate. Kedua, regulasi pembatasan rasio gaji dan bonus terhadap total biaya operasional (memakai patokan perbankan di negara lain). Ketiga, BI menindak tegas praktik pemberian bunga kepada perorangan ataupun korporasi di atas bunga pihak lain (penabung kecil). Keempat, Kementerian BUMN dan BI perlu berkoordinasi untuk menurunkan NIM bank BUMN, yang nanti pasti akan diikuti oleh bank yang lain. Kelima, pemerintah memerbaiki iklim investasi sehingga kredit yang tak direalisasikan menjadi menurun. Ini semua harus dilakukan serentak agar bank tidak jatuh pada praktik penghisapan ekonomi berbungkus industri perbankan.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef