Masa kampanye dan pemilihan presiden sudah usai dan pemenangnya pun sudah bisa diprediksi (walaupun KPU secara resmi belum mengumumkan). Pasangan SBY – Boediono diperkirakan meraup sekitar 60% suara (dengan kemenangan pada sebagian besar provinsi) sehingga pilpres tidak perlu sampai dua putaran. Isu yang segera menyeruak adalah tentang strategi dan kebijakan ekonomi lima tahun mendatang, karena fokus ini yang paling diperhatikan oleh rakyat. Kebetulan pula, salah satu isu yang paling diperdebatkan dalam masa kampanye adalah di bidang pemerintah. Terlepas dari beberapa perbaikan indikator ekonomi yang telah dicapai, tidak dapat disangkal menyeruak pula beragam persoalan ekonomi yang membutuhkan penanganan segera. Sekurangnya lima paket soal yang menjadi pekerjaan pemerintah mendatang: kualitas pertumbuhan ekonomi, ketimpangan investasi, pembangunan pertanian, privatisasi dan pengelolaan sumber daya alam, serta kemiskinan dan pengangguran.
Pertumbuhan dan Ketimpangan
Kualitas pertumbuhan ekonomi dipersoalkan karena dalam beberapa tahun terakhir sumbangan sektor non-tradeable jauh lebih tinggi ketimbang sektor tradeable (pertanian, industri, dan jasa). Sektor terakhir inilah yang biasa disebut dengan sektor riil yang secara nyata menggerakkan kegiatan ekonomi akibat pertambahan barang/jasa dan penyerapan tenaga kerja (dalam jumlah yang besar). Jadi, pertumbuhan ekonomi dalam 4 tahun terakhir lumayan tinggi, setidaknya ketimbang bebera negara tetangga, tetapi dampaknya terhadap rakyat tidak terlalu banyak. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh pengurangan kemiskinan dan pengangguran yang amat lamban, padahal sekian ratus triliun rupiah sudah dihabiskan untuk mengatasi masalah itu. Lebih buruk lagi, pertumbuhan ekonomi tersebut disertasi dengan peningkatan intensitas ketimpangan pendapatan (yang dikur dengan Gini Ratio). Ini semua terjadi karena sektor ekonomi yang tumbuh adalah non-tradeable, bukan tradeable sector.
Selama 10 tahun ini pemerintah juga berjuang keras meningkatkan investasi. Saat ini, walaupun pertumbuhan investasi belum mencapai level sebelum krisis 1997/1998, namun tren peningkatan terus terjadi. Masalahnya, investasi tersebut tertumpu pada wilayah Jawa dan sektor sekunder. Data yang tersedia menunjukkan sekitar 90% investasi berada di Pulau Jawa, sisanya berada di Pulau Jawa. Hal yang sama apabila dibagi berdasarkan sektoral, di mana sektor sekunder memasok 90% dari total investasi. Jika pola ini tidak digseser, maka peningkatan investasi justru akan menjadi sumber terpenting ketimpangan pembangunan antara Indonesia bagian timur dan barat. Selebihnya, karakter investasi juga turut berubah secara drastis. Pada 1999, kontribusi portfolio investment masih sangat kecil (5%), sementara pada 2007 telah berkontribusi sebesar 14%. Sementara itu, PMA turun dari 87% (1999) menjadi 46% (2007), padahal PMA ini relatif menyerap tenaga kerja ketimbang investasi portfolio.
Selanjutnya, strategi pembangunan ekonomi harus dirombak dengan menempatkan sektor pertanian sebagasi basis pembangunan ekonomi (industrialisasi). Topik ini sudah diusung puluhan tahun lalu dan terus diulang hingga kini, tapi tidak pernah menjelma menjadi kebijakan. Letak suramnya sektor pertanian dapat dilihat dari beberapa indikasi. Pertama, terus berkurangnya investasi pada sektor hulu (on-farm), seperti yang telah dijelaskan di muka. Kedua, tidak berkembangnya industri pengolahan sektor pertanian, padahal banyak sekali potensi yang terbuka, misalnya dari komoditas kelapa sawit, coklat, kakao, kayu, ikan, dan lain sebagainya. Ketiga, nilai tukar petani (NTP) yang terus merosot dalam lima tahun terakhir. Ini mengindikasikan kesejahteraan petani yang terus turun. Oleh karena itu, peran sektor pertanian harus digerakkan kembali dan menjadi sumber pertumbuhan penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, dan pengurangan kemiskinan.
Afirmasi Kemandirian Ekonomi
Soal lain yang terus mengemuka adalah privatisasi dan pengelolaan sumber daya alam (minyak, gas, batu bara, emas, hutan, ikan, dan lain-lain). Privatisasi selalu menjadi masalah laten karena pemerintah tidak memiliki landasan regulasi, padahal konstitusi sudah mengamanatkan secara terang benderang. Oleh karena itu, penting segera disusun cetak biru privatisasi berdasarkan konstitusi. Jika dilihat secara saksama, tiga sektor ekonomi secara jelas tidak boleh dikuasai oleh sektor swasta, asing maupun domestik, yaitu usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak (misalnya listrik), usaha strategis (seperti pertahanan dan keamanan, pelabuhan, dan lain-lain), dan sumber daya alam (minyak, gas, dan sebagainya). Ketiga usaha itu harus dikuasasi oleh negara (BUMN), sehingga jika ada swasta yang telah menguasai maka harus dilakukan nasionalisasi. Sebaliknya, BUMN yang tidak masuk dalam ketiga karakteristik itu segera dijual saja kepada sektor swasta (khususnya domestik).
Last but not least, tidak boleh lagi pemerintah menanganai kemiskinan dan pengangguran secara karikatif, seperti BLT. Sebaiknya program BLT dimasukkan sebagai bagian dari “sistem jaminan sosial†bersama dengan program lainnya (misalnya tunjangan bagi orang cacat, jompo, dan lain-lain). Sebetulnya dengan mengubah struktur kebijakan ekonomi seperti yang diungkapkan di muka akan berpengaruh terhadap penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan, sehinggga secara otomatis kemiskinan dan pengangguran dapat diturunkan secara meyakinkan. Namun, apabila setelah kebijakan diubah masih banyak kemiskinan dan pengangguran, maka kebijakan pendamping diperlukan. Di sini yang diperlukan adalah desain pemberdayaan ekonomi yang lebih sistematis, seperti implementasi land reform, penataan persaingan usaha yang intensif, dan penciptaan statuta hubungan antarpelaku ekonomi yang lebih adil. Model ini jauh beradab ketimbang pendekatan karikatif yang dilakukan selama ini.
Tentu masih sangat banyak masalah ekonomi lain yang perlu diperhatikan pemerintah. Tetapi, harus disadari pula tidak mungkin membebani pemerintah dengan sekian banyak pekerjaan rumah hanya dalam kurun waktu lima tahun. Jika lima masalah tadi diselesaikan secara komprehensif, 5 tahun lagi kita akan mendapati Indonesia yang lebih menjanjikan. Tidak terlalu penting pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun yang lebih urgen adalah meningkatkan partisipasi kegiatan ekonomi, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan memastikan kemandirian ekonomi menjadi tujuan pembangunan nasional. Pemerintah tidak perlu banyak melakukan intervensi, tapi memastikan setiap campur tangan yang dilakukan bisa diimplementasikan secara efektif (strong but limited government), termasuk mengatasi praktik ekonomi illegal (seperti impor ilegal). Semoga pemerintah punya keberanian dan kebeningan sikap untuk memperjuangkan kemandirian ekonomi nasional.
Jurnal Nasional, 14 Juli 2009