Rakyat selalu tak sabar menilai pemerintah yang telah dipilihnya. Dengan berbagai ekspresi, mereka mencoba mengungkapkan seluruh imajinasi dan pengetahuan yang ada di kepala untuk mengukur kinerja pemerintah. Pengetahuan membantu penilaian itu agar menjadi obyektif, sedangkan imajinasi kadang terbelit menjadi subyektivitas. Apapun pernyataan yang disampaikan itu tak bisa diabaikan pemerintah, sebab mereka adalah konstituen inti di balik mandat yang diberikan kepada pemerintah (presiden dan wakil presiden). Ketika pemilihan langsung presiden dan wakil presiden dimulai pada 2004, tradisi penilaian 100 hari pertama menjadi jamak. Tak pelak, pemerintahan baru hasil pemilu mesti bergegas memenuhi ekspektasi publik tersebut. Tentu saja, rakyat memakai ukuran yang paling umum: jarak janji dan bukti.
Janji Nawacita
Tugas pertama terpenting pemerintahan baru adalah menyelesaikan “bungkus†pembangunan yang disebut dengan RPJMN 2014-2019 (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional). Dokumen ini menjadi panduan seluruh gerak pemerintah lima tahun mendatang, yang kemudian diturunkan menjadi rencana strategis dan kerja tahunan Kementerian/Lembaga. Secara vertikal, setiap RPJMN daerah (provinsi/kabupaten/kota) juga harus bertaut kepada RPJMN sehingga strategi dan kebijakan nasional-daerah tak saling menegasikan. Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla telah berhasil menyelesaikan dokumen perencanaan tersebut lebih cepat dari target (3 bulan). Pertengahan Januari 2015 naskah RPJMN telah disepakati bersama DPR dan siap dijalankan oleh pemerintah pusat dan daerah sepanjang lima tahun yang akan datang.
Bagaimana dengan isi RPJMN tersebut? Secara struktur berpikir dokumen itu telah berhasil memadukan antara janji yang diucapkan presiden dengan kebutuhan teknokratis untuk menjalankannya. Dokumen telah menuliskan urutan yang runtut: visi-misi, isu strategis dan tantangan pembangunan (domestik maupun global), penjabaran Nawacita, dan elaborasi strategi kebijakan dan program. Membaca naskah tersebut rasanya seluruh pokok pikiran Nawacita telah berhasil diderivasi menjadi kebijakan dan program teknokratis yang laik dikerjakan. Tentu saja kelemahan pasti ada. Kebijakan strategis tertentu, semisal sikap terhadap liberalisasi ekonomi, tak secara tegas dinyatakan padahal situasi kekinian dan semangat Nawacita menghendakinya. Berikutnya, target-target ekonomi tertentu, seperti pertumbuhan ekonomi dan swasembada, tak terproyeksi dengan baik sehingga berpotensi menjadi batu sandungan pemerintah.
Implikasi RPJMN 2014-2019 yang berubah secara mendasar tentu berimplikasi terhadap perubahan anggaran. Sebab, anggaran adalah sumber daya terpenting yang dipunyai pemerintah untuk merealisasikan janji. Di sini pemerintah juga harus dipuji. Pada saat menunggu pelantikan, waktu yang tersedia digunakan calon terpilih membentuk Tim Transisi untuk menggagas konsep pembangunan maupun operasionalisasi program, sehingga keduanya menjadi sumber terpenting penyusunan RPJMN dan APBNP. Tak heran apabila APBNP 2015 cepat diselesaikan dan hanya tersisa sedikit saja persetujuan dari DPR, seperti penyertaan modal negara (PMN) bagi BUMN. Selebihnya, APBNP 2015 memiliki struktur yang berbeda dengan sebelumnya karena berisi konsep dan prioritas baru pemerintah. Singkatnya, APBNP 2015 lebih bertenaga untuk mendorong pembangunan.
Bukti Nawacita
Pertanyaan lebih lanjut, apakah menteri-menteri (ekonomi) telah mewujudkan visi-misi itu ke dalam kebijakan dan operasionalisasi program lembaga? Ada beberapa yang telah melakukan aksi konkret dan memiliki harapan dalam jangka panjang. Tentu, yang pertama mesti disebut adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan. Benalu pencurian ikan langsung disikapi dengan keras sehingga menimbulkan efek jera. Penerimaan pendapatan dari operasi kapal juga didongkrak tinggi, meski penilaian jangka pendek belum memungkinkan dilakukan. Kementerian Tenaga Kerja juga sudah merangsek membenahi lembaga penyalur tenaga kerja yang selama ini bertindak menyimpang sehingga menempatkan TKI/TKW secara tak manusiawi. Penutupan terhadap lembaga yang tak taat aturan sebagian sudah dilakukan. Sinyal ini bagus bagi pembenahan selanjutnya.
Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Trasmigrasi sudah mencanangkan program unggulan “Desa Mandiri†yang sebagian porosnya bertumpu kepada BUMDes dan koperasi. Program itu akan dieksekusi tahun ini begitu dana desa turun. Nilai tambah dan kesejahteraan masyarakat (desa) diharapkan muncul dari inisiasi tersebut. Intinya, arah kerja dari kementerian ini telah dibuat dan siap dijalankan. Berikutnya, kementerian Keuangan berani membuat target pajak yang cukup tinggi (13,3%). Ini tentu masih harus diuji keberhasilannya, namun rencana itu sendiri sudah mulia. Juga, kementerian ini telah cukup bagus mengawal pembuatan postur baru APBNP 2015. Sungguh pun begitu, dalam isu yang strategis, seperti politik subsidi dan utang, kementerian ini tak berani menyatakan sikap untuk melindungi kepentingan nasional dalam jangka panjang.
Kementerian Bappenas juga sudah menjalankan mandat secara laik dengan mengawal pembuatan RPJMN, serta punya sikap tegas terhadap proyek yang memiliki dampak negatif, seperti Jembatan Selat Sunda dan eksplorasi batu bara. Selebihnya, tak banyak kementerian lain yang bisa diungkap. Kementerian Koordinator Perekonomian, Pertanian, Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan UMKM, dan lain-lain tak bersuara cukup jelas dalam menjelmakan Nawacita. Arah baru dalam wujud kebijakan tak diketahui publik, misalnya bagaimana cara Kementerian Pertanian mencapai swasembada gula/kedelai, atau sikap Kementerian Perdagangan terhadap liberalisasi perdagangan dan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean). Pendeknya, maklumat 100 hari belum seluruhnya mendengung di tiap kementerian. Tentu tak adil memberikan rapor saat ini, namun tak layak pula bila rakyat diminta menunggu lebih lama arah dan hasil kerja mereka.
*Ahmad Erani Yustika, Ekonom Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef