Proklamasi Kemerdekaan adalah deklarasi politik dan hajat ekonomi adalah ikrar di dalam tubuh konstitusi. Usia proklamasi saat ini mencapai 73 tahun dan arah pembangunan ekonomi telah dirumuskan. Demikian pula aneka kebijakan ekonomi diproduksi untuk mencapai tujuan tersebut.
Menjelang empat tahun usia pemerintahan ini (2014-2019), capaian-capaian ekonomi itu sebagian besar sudah bisa dilihat dan dievaluasi. Secara umum, sekurangnya terdapat lima maklumat kebijakan ekonomi yang disasar oleh pemerintah dan dikerjakan dengan baik. Pertama, menjaga stabilitas makroekonomi untuk memperbaiki kualitas pembangunan (kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan).
Kedua, mengarusutamakan agenda keadilan ekonomi yang selama ini rumit untuk dieksekusi. Ketiga, mempersiapkan dasar-dasar pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Keempat, menyantuni aspirasi kemandirian ekonomi yang tertunda begitu lama. Kelima, memperkuat tata kelola pembangunan untuk memastikan efisiensi dan efektivitas dapat dipenuhi.
Mengakhiri kutukan pertumbuhan
Sejak 2008 situasi ekonomi global memang tak begitu benderang akibat masalah subprime mortgage di AS dan kenaikan harga minyak (juga pangan) global. Ekonomi domestik mengalami perlambatan dan pertumbuhan ekonomi juga terus turun. Pada periode 2011-2015 pertumbuhan ekonomi berturut-turut adalah 6,17%; 6,03%; 5,56%; 5,01%; dan 4,88%.
Situasi yang sama juga dialami negara lain, termasuk China dan India yang selama ini merupakan negara dengan tingkat pertumbuhan amat tinggi. Dengan mitigasi kebijakan yang memadai, pada 2016 terjadi titik balik ketika pertumbuhan ekonomi naik menjadi 5,03%. Pada tahun itu â€kutukan pertumbuhan ekonomi yang makin menurun†bisa dihentikan. Berikutnya pada 2017 naik tipis menjadi 5,07% dan diproyeksikan pada 2018 ini pertumbuhan ekonomi sekitar 5,2%. Pada saat yang sama inflasi bisa ditekan di bawah 4% selama tiga tahun berturut-turut (2015-2017), yakni 3,35%; 3,02%; dan 3,61% (Kemenkeu, 2018).
Pertumbuhan ekonomi yang membaik itu diikuti mutu yang mengesankan karena sejak 2004 untuk pertama kali pertumbuhan ekonomi yang meningkat diiringi penurunan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sekaligus. Penurunan kemiskinan dan pengangguran merupakan peristiwa lazim sejak Orde Baru. Secara konsisten keduanya turun meski dalam beberapa periode diselingi kenaikan karena turbulensi ekonomi, seperti pada 1997/1998, 2009, dan 2013.
Namun, yang penting adalah pertumbuhan ekonomi kali ini diiringi dengan pengurangan ketimpangan pendapatan, yang sejak 2004 terus meningkat. Rasio gini sebagai alat ukur ketimpangan pendapatan mencatat pada 2013 merupakan puncak ketimpangan sebesar 0,41. Setelah masa itu ketimpangan terus turun hingga pada 2018 (Maret) menjadi 0,38. Oleh karena itu, agenda aksi keadilan ekonomi sudah menghasilkan capaian yang bagus dalam tiga tahun terakhir. Klimaksnya, situasi ini diperoleh bersamaan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi dan penyelesaian tiga problem utama ekonomi tersebut memiliki prospek jangka panjang. Sebab, pemerintah pada masa sekarang juga membangun infrastruktur secara masif (jalan tol, bandara, pelabuhan, rel kereta api, irigasi, bendungan, embung, listrik, dan lain sebagainya). Infrastruktur memiliki elastisitas tertinggi sebagai pengungkit investasi, yang pada gilirannya akan menyokong pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan infrastruktur saat ini memiliki efek sampai 25-30 tahun ke depan. Jadi, sampai periode itulah pertumbuhan dapat disangga sehingga bisa dikatakan pemerintah tak hanya berpikir dalam jangka pendek/menengah, tetapi juga memikirkan kepentingan jangka panjang. Ini bakal menjadi standar kerja suatu pemerintahan. Di luar itu, pembangunan infrastruktur dikerjakan secara eksesif pula di wilayah Indonesia bagian timur dan perdesaan. Implikasinya, infrastruktur tidak cuma menafkahi kebutuhan pertumbuhan, tetapi juga menyantuni mandat pemerataan (keadilan ekonomi).
Mendaki kemandirian ekonomi
Isu kemandirian merupakan topik abadi di negeri ini sejak puluhan tahun silam. Sisi yang kerap dikulik biasanya dilihat dari ketergantungan APBN terhadap utang, sumber daya alam (SDA) yang dikuasai oleh asing, dan kebutuhan produksi yang dicukupi oleh impor (khususnya pangan). Saya kira isu tersebut memang realistis disuarakan dan menjadi kritik terhadap pemerintah selama ini. Sejak dekade 1980-an pun Indonesia sudah terjebak dalam situasi debt trap, di mana utang baru yang diperoleh lebih kecil ketimbang cicilan pokok dan bunga utang luar negeri.
Demikian pula defisit keseimbangan primer (DKP) selalu terjadi pascakrisis ekonomi 1997/1998. Datanya hari ini, DKP itu masih terjadi, tetapi dalam skema penurunan yang terencana. Pada 2015 DKP mencapai Rp 142 triliun, pada 2016 sebesar Rp 125 triliun, dan pada 2017 sebanyak Rp 124 triliun. Pada 2018 ini diperkirakan DKP di kisaran Rp 60 triliun. Pada RAPBN 2019 diproyeksikan DKP itu sudah tak ada atau sekurangnya di bawah Rp 20 triliun. Artinya, seluruh belanja (di luar pembayaran utang) sudah bisa dicukupi dari penerimaan domestik. Pendakian kemandirian fiskal sedang berjalan.
Sementara itu, dalam isu pangan sebagian komoditas utama memang belum sepenuhnya bisa mencukupi ketahanan pangan nasional sehingga dalam jumlah terbatas masih dilakukan impor. Impor tersebut sebagian untuk kepentingan berjaga-jaga. Itu sebabnya Indeks Ketahanan Pangan mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Pada periode 2014-2017 berturut-turut angkanya 47,0; 48,3; 51,1; dan 51,3. Indeks keterjangkauan, ketersediaan, serta kualitas dan keamanan pangan juga terus meningkat tiap tahun (The Economic Intelligence, 2017). Hal yang sama juga bisa dilihat dari komitmen pemerintah untuk menguasai pengelolaan SDA sesuai mandat Pasal 33 UUD 1945. Pada Juli 2018, pemerintah menguasai 51% saham PT Freeport Indonesia dan Pertamina berhasil mengambil alih Chevron untuk eksplorasi Blok Rokan yang menguasai sekitar 26% dari total produksi minyak domestik. Dengan konfigurasi sekarang hampir 50% produksi minyak domestik sudah dikuasai oleh BUMN.
Pencapaian itu semua tentu ditopang oleh tata kelola pembangunan yang makin mapan. Pada aras tertinggi, pembangunan dijalankan dengan fokus yang jelas, yakni memastikan ekonomi makin sehat, adil, dan mandiri. Aneka kebijakan dan program diproduksi untuk menjamin agenda besar itu bisa dieksekusi. Berikutnya alokasi belanja membangun keseimbangan antara pembangunan manusia dan fisik. Pertama kalinya sejak 2015 APBN mengaloksikan anggaran kesehatan sekurangnya 5% (sesuai perintah UU No 36/2009). Pada tahun-tahun sebelumnya APBN pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi karena mengalokasikan anggaran kesehatan di bawah 3% dan dianggap menabrak ketentuan UU Kesehatan. Komitmen penyelenggara negara (K/L) juga makin bagus, di mana sebagian bisa dilihat dari hasil audit BPK yang menunjukkan jumlah K/L memperoleh predikat WTP kian meningkat. Hal sama juga dilakukan pemerintah daerah yang mengikuti jejak penerapan tata kelola pembangunan yang solid.
Pendalaman reformasi struktural
Di luar hal di atas masih banyak urusan lain yang mesti dipanggul pemerintah. Data mengabarkan neraca perdagangan, neraca transaksi berjalan, dan neraca pembayaran sebagian besar defisit sebelum 2014. Neraca perdagangan defisit 2012-2014, neraca pembayaran defisit 2013 (7,32 miliar dollar AS), dan neraca transaksi berjalan selalu defisit.
Sampai 2017 neraca transaksi berjalan tetap defisit (17,53 miliar dollar AS), tetapi sudah jauh menurun dibandingkan pada 2014 (27,51 miliar dollar AS). Neraca pembayaran pada 2017 surplus 11,59 miliar dollar AS) dan neraca perdagangan kinerjanya paling cemerlang karena sejak 2015 sudah surplus hingga 2017, masing-masing 7,67 miliar dollar AS; 8,78 miliar dollar AS; dan 11,84 miliar dollar AS [BI, 2018].
Pada semester I-2018 neraca perdagangan memang masih defisit, tetapi proyeksi sampai akhir tahun tetap surplus (meski tak akan sebesar 2017). Deskripsi ini menunjukkan bahwa manajemen ekspor-impor kian bagus, juga arus modal yang terkelola sehingga wajah neraca pembayaran tak lagi redup.
Tentu saja masih ada hal lain yang harus diurus dengan serius. Kritik terkait kesanggupan anggaran negara untuk menopang pembangunan infrastruktur, upah buruh petani yang perlu ditingkatkan, jumlah tenaga kerja di sektor informal yang mendesak diturunkan, penguatan investasi bagi pelaku domestik dan UMKM, nilai tukar yang stabil, diversifikasi produk ekspor, dan beberapa isu lainnya merupakan pekerjaan rumah yang harus dikawal untuk menggaransi keseluruhan perkara tertangani dengan layak.
Secara garis besar agenda ke depan yang mesti dibela adalah penguatan basis produksi dan pendalaman reformasi struktural untuk mempermulus transisi ekonomi dari semula bertumpu pada komoditas primer menuju ke produk sekunder dan jasa sehingga nilai tambah menjadi lebih besar. Ikhtiar ini tentu harus sinambung dengan strategi pembiayaan (sektor keuangan), penyediaan tenaga kerja terampil, infrastruktur logistik, inovasi berkelanjutan, dan penyiapan pasar (domestik ataupun internasional).
Di luar itu program-program papan atas pemerintah akan terus dijalankan dengan memperhatikan lanskap perubahan ekonomi global, kebutuhan domestik, dan kecakapan pengelolaan pembangunan. Industri kreatif dan era digital telah disambut dengan aneka program dan ruang sehingga kini banyak pelaku ekonomi yang terwadahi dalam ekosistem ekonomi dunia yang telah berubah. Kebutuhan domestik untuk merawat seluruh wilayah dan warga negara tanpa terkecuali menjadi pertempuran yang harus dimenangkan.
Oleh sebab itu, kebijakan pembangunan infrastruktur di wilayah IBT, dana desa, KUR (kredit usaha rakyat), RAPS (reforma agraria dan perhutanan sosial), dan banyak lagi terus dipertajam agar mimpi keadilan ekonomi bisa diwujudkan pada setiap rumah warga. Pengelolaan pembangunan diperlancip agar fokus kepada program prioritas dan efektivitas eksekusi (program tak boleh mangkrak). Intinya, sebagian kecil tampakan ekonomi memang belum purnama, tetapi menyatakan seluruhnya gerhana tentu bukan ucapan yang layak dicerna.
Proklamasi wajib dibela, Indonesia mesti dijaga!
Ahmad Erani Yustika Staf Khusus Presiden RI; Guru Besar FEB Universitas Brawijaya