Sebagian besar ekonom terlambat menyadari betapa dahsyatnya dampak krisis keuangan global kali ini. Pada awal Oktober 2008 lalu, para ekonom menyatakan bahwa dampak krisis keuangan hanya akan terbatas pada pasar modal dan bersifat sementara. Bahkan, pemerintah hingga sekarang masih juga menganggap kondisi ini tidak terlalu mencemaskan sambil menambahkan informasi tentang kuatnya fundamental ekonomi. Tetapi, siapapun yang memahami situasi terkini pasti menyadari masalahnya tidak sesederhana itu. Krisis keuangan global telah menjelma menjadi krisis mata uang (uang) dan selanjutnya dengan cepat menyambar sektor riil. Semua negara, termasuk Indonesia, sekarang sibuk menyelamatkan mata uang masing-masing dengan harapan dapat mengisolasi krisis terhadap sektor riil. Tapi, kebijakan itu nampaknya sulit mengatasi persoalan nilai tukar yang muncul karena semua pemerintah di dunia tidak mau bergeser untuk mengubah rezim nilai tukar mengambang.
Dilema Sektor Industri
Di Indonesia, pemerintah telah gagal menunaikan dua tugas terpenting, yakni menyelamatkan pasar modal dan nilai tukar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjun ke titik paling rendah dalam 10 tahun terakhir, sementara nilai tukar juga merosot menyentuh ke level Rp 12.000/dolar AS. Terhadap penurunan IHSG kita masih bisa bersikap lunak, karena sebagian merupakan ”karma” dari pelaku pasar saham itu sendiri yang gemar ”menggoreng” saham untuk menafkahi kerakusan yang tanpa kenal batas. Namun, penurunan nilai tukar rupiah telah mengantarkan perekonomian ke jurang yang sebenarnya, yakni mengguncang sektor riil. Dengan rupiah yang terus merosot, dunia usaha menjadi sulit melakukan produksi karena biaya impor (bahan baku) menjadi kian mahal. Bila mereka mampu mengimpor, tidak mudah juga untuk meningkatkan jual harga barang/jasa. Ditambah dengan perlambatan ekonomi dunia yang menekan peluang ekspor, dunia usaha praktis mengalami masalah yang begitu dilematis.
Situasi pelik itulah yang dihadapi ekonomi nasional hari-hari ini dan (minimal) setahun mendatang. Salah satu sektor ekonomi yang paling terpukul dari krisis ekonomi ini adalah sektor industri. Sebelum krisis ekonomi terjadi, sejak empat tahun terakhir memang telah terjadi gejala ”penuaan dini” sektor industri. Pertumbuhan dan kontribusi sektor industri terhadap perekonomian nasional cenderung menurun (deindustrialisasi). Saya menyebut dengan istilah ”penuaan dini” karena mestinya sektor industri nasional belum waktunya menurun karena masih jauh dari level optimalnya. Data-data menunjukkan, pada 2006 pertumbuhan sektor industri mencapai 4,6%, 2007 turun menjadi 4,7%, dan Triwulan III 2008 diproyeksikan tumbuh 4,0% (Triwulan I dan II 2008 tumbuh 4,2% dan, 4,1%). Pada 2007, pertumbuhan sektor industri didorong oleh pertumbuhan pada Triwulan I dan II, masing-masing 5,2% dan 5,1%. Setelah itu, sejak Truwulan III 2007 pertumbuhan sektor industri mengalami penurunan (BI, 2008).
Dengan deskrispsi itu, bisa dibayangkan bagaimana komplikasi sektor industri pada Triwulan IV 2008 hingga beberapa tahun mendatang saat krisis ekonomi mengalami pendalaman. Sekurangnya sektor industri akan dikepung oleh dua situasi berikut. Pertama, industri (pengolahan) yang berorientasi ekspor pasti tergulung akibat perlambatan ekonomi dunia. Industri tekstil, kulit, garmen, kimia, dan kertas merupakan sebagian industri yang bakal menerima dampak paling besar dari krisis ekonomi. Saat ini beberapa industri tersebut sudah sulit melakukan ekspor karena adanya penundaan, pembatalan, atau penghentian ekspor sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. Kedua, industri (pengolahan) yang membutuhkan bahan baku impor dalam melakukan produksi. Dengan kurs rupiah yang terus merosot dan ketidakpastian lainnya mengakibatkan biaya produksi terus membengkak. Celakanya, sebagian besar industri di Indonesia sangat tergantung dari bahan baku impor tersebut.
Sumber Daya Domestik
Data yang tersedia menunjukkan level ketergantungan sektor industri terhadap bahan baku impor cukup tinggi, dari mulai sekitar 10 – 65%. Misalnya, industri peralatan telekomunikasi tergantung dari komponen impor sebesar 63,7%, peralatan rumah tangga dan kantor (56,7%), listrik (32,9%), peralatan lain-lain (31,2% ), kimia dasar (30,1%), metal (30,0%), kendaraan roda empat (28,3%), mesin dan peralatan berat (26,8%), produk metal (16,6%), alat angkut lainnya (14,9%), tekstil dan pakaian (14,5%), karet dan plastik (13,5%), pengolahan minyak dan batubara (13,4%), dan kertas dan produk kertas (10,9% ) [BPS diolah; dalam Indef, 2008). Mudah ditebak bila industri-industri tersebut pasti terkena dampak sangat serius dari krisis ekonomi sekarang. Semakin tinggi ketergantungan terhadap bahan baku impor membuat industri tersebut kian sulit bernapas, di mana sumbu yang menyebabkan itu adalah nilai tukar rupiah yang cenderung menurun terhadap dolar AS.
Jika dua sumber yang menghajar sektor industri ini tidak segera ditangani, maka gelombang PHK pasti akan terjadi. Bahkan, saat ini secara diam-diam sebetulnya proses itu tengah dilakukan. Sebagian perusahaan malah telah mendaftarkan rencana PHK ke pemerintah. Oleh karena itu, mencermati keadaan itu sebenarnya pemerintah sudah memiliki peta yang cukup untuk mendorong kembali pertumbuhan sektor industri. Tapi sebelum itu dilakukan, pemerintah harus membantu penyelesaian jangka pendek terlebih dahulu, yaitu menyelamatkan sektor industri dari hantaman gelombang krisis ekonomi. Di sini terdapat dua kebijakan yang perlu ditempuh. Pertama, bagi industri yang berorientasi ekspor pemerintah segera mencarikan pasar alternatif di luar negara-negara maju. Ini memang tidak gampang, tapi harus dilakukan. Kedua, bagi industri yang tergantung bahan baku impor, pemerintah membantu pendanaan selama pasar produk tersebut masih terbuka lebar, baik pasar domestik maupun internasional.
Sedangkan dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah harus memformulasikan pembangunan sektor industri yang berbasis bahan baku domestik. Kesalahan terpenting dari industrialisasi Indonesia adalah kecenderungannya untuk mengembangkan sektor industri (pengolahan) yang tidak bertumpu pada sumber daya ekonomi domestik. Implikasinya, ketergantungan terhadap impor menjadi keniscayaan sehingga komoditas sektor industri menjadi tidak kompetitif di pasar internasional dan kurang menyerap tenaga kerja. Krisis ekonomi sekarang (juga 10 tahun lalu) memberi pengetahuan betapa rapuhnya struktur industri nasional. Hal seperti ini tidak perlu terjadi bila orientasi pembangunan sektor industri bersandar kepada sumber daya ekonomi domestik. Memang sudah sangat terlambat, tapi selalu terdapat peluang bagi upaya memperbaiki keadaan. Sebaliknya, jika pemerintah tidak berbuat apa-apa, maka malapetaka benar-benar akan menghampiri sektor industri nasional.
Seputar Indonesia, 24 November 2008
*Ahmad Erani Yustika, Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi
Pascasarjana FE Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef