Krisis ekonomi saat ini menjadi kian akrab dalam kehidupan masyarakat, karena intensitasnya yang makin sering datang. Jika dirunut dari 1997/1998 saat terjadi malapetaka ekonomi yang besar sehingga menumbangkan kekuasaan politik Orde Baru, maka tak kurang 4 krisis ekonomi lumayan besar telah hadir setelah itu. Misalnya, pada 2005 terjadi krisis kenaikan harga minyak internasional dan memaksa pemerintah menaikkan harga minyak domestik sehingga melambungkan inflasi. Tak lama usai itu, pada 2008 krisis harga pangan dan minyak terjadi berbarengan pada semester pertama, sehingga pemerintah kelimpungan menghadapi situasi buruk saat itu. Naasnya, belum sepenuhnya dampak krisis minyak dan pangan itu diatasi, datang malapetaka lain, yakni krisis ekonomi global yang dipicu oleh subprime mortgage. Implikasinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia jeblok pada 2009, meski masih lebih baik ketimbang negara-negara tetangga. Terakhir, pada 2011 terjadi krisis lagi di negara maju, seperti AS dan Eropa, yang belum usai hingga sekarang dengan pemicu utang pemerintah yang luar biasa besar.
Kinerja Ekonomi
Pada setiap krisis tersebut, pemburukan ekonomi yang terjadi di Indonesia tidak sampai melantakkan kegiatan ekonomi seperti saat krisis 1997/1998. Pada periode 1997/1998 lalu ekonomi betul-betul berada dalam kondisi sekarat, antara lain ditunjukkan oleh gambaran berikut: (1) nilai tukar rupiah meluncur hingga pernah menyentuh angka Rp 20.000/dolar AS, dari semula sekitar Rp 2400/dolar AS. Akibatnya, utang swasta maupun pemerintah menjadi melonjak sehingga banyak perusahaan gulung tikar; (2) pertumbuhan ekonomi anjlok menjadi minus 13,1% pada 1998, padahal sebelumnya rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 7% sebelum krisis terjadi; (3) bank swasta maupun pemerintah bangkrut karena terjadi rush (penarikan uang secara bersamaan) akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional; dan (4) pasar saham juga guncang sehingga indeks harga saham gabungan jatuh lebih dari 400% pada masa itu.
Pengalaman krisis ekonomi 1997/1998 tersebut nampaknya menjadi pembelajaran yang berharga buat pemerintah, sehingga setelah itu aneka paket kebijakan reformasi ekonomi dijalankan dan tata kelola perekonomian diperbaiki. Tercatat dua kebijakan yang paling penting adalah desentralisasi perekonomian dan regulasi persaingan usaha yang sehat. Menyangkut desentralisasi ekonomi, sebagian besar ekonom dan ahli politik bersepakat bahwa Indonesia yang teramat luas dan beragam tidak mungkin dikelola secara sentralistis, sehingga desentralisasi merupakan bagian dari upaya yang tak dapat dihindari. Berikutnya, persaingan usaha dianggap sebagai cara untuk keluar dari perangkap konsentrasi ekonomi yang tidak sehat akibat kebijakan ekonomi Orde Baru yang memberikan keistimewaan kepada segelintir pelaku ekonomi. Di sektor perbankan juga terdapat banyak perubahan, misalnya dalam hal penataan kepemilikan maupun tata kelola yang lebih baik.
Harus diakui serangkaian kebijakan reformasi ekonomi itu telah menghasilkan capaian yang lumayan bagus, meskipun aneka masalah ekonomi lainnya harus diakui juga belum tertangani secara meyakinkan. Itulah yang menyebabkan krisis ekonomi yang terjadi sesuai periode reformasi ekonomi tidak sampai mengguncang perekonomian nasional. Saat ini sektor perbankan jauh lebih solid ketimbang periode 1997/1998, misalnya dilihat dari CAR (capital adequacy ratio), NPL (non-performing loan), dan yang lain. Bank Indonesia saat ini memiliki cadangan devisa yang cukup besar, sekitar US$ 106 miliar, sehingga relatif mampu untuk mengamankan nilai tukar. Di luar itu, manajemen fiskal juga baik, antara lain ditunjukkan oleh defisit fiskal yang tak pernah di atas 3% dan rasio utang terhadap PDB pada angka 26%, di mana saat krisis 1998 sempat berada di kisaran 88%. Kinerja ekonomi seperti inilah yang menjadi modal Indonesia menghadapi krisis ekonomi global beberapa tahun ini.
Hikmah Krisis
Sungguhpun begitu, di tengah keberhasilan pada beberapa aspek di atas, terlihat ada sekian banyak masalah yang perlu mendapatkan penanganan segera. Pertama, krisis 2005 dan 2008 (juga pada awal 2012) memberi hikmah yang nyata bahwa ketahanan energi (minyak) sangat rentan, sehingga ketika terjadi kenaikan harga minyak internasional, maka pemrintah kalang kabut mengatasinya. Dilemanya, jika harga minyak domestik dinaikkan (mengurangi subsidi), maka akan menyengsarakan sebagian masyarakat, khususnya golongan pendapatan rendah, karena inflasi membumbung akibat kenaikan harga minyak. Sebaliknya, bila harga minyak dalam negeri tidak dinaikkan, maka subsidi energi (minyak dan listrik) yang ada di pos APBN akan membengkak. Oleh pemerintah pembengkakan subsidi itu dianggap tidak sehat karena pasti akan dibiayai oleh utang dan tidak proporsional terhadap alokasi untuk kepentingan sektor yang lain, seperti kesehatan.
Kedua, krisis 2008 dan 2011 juga memberi informasi yang menarik betapa bermasalahnya sektor pangan nasional. Hampir sama dengan situasi ketahanan energi, sektor pangan nasional sangat tergantung dari impor, seperti kedelai, jagung, daging, susu, bahkan juga garam. Implikasinya, ketika harga pangan internasional naik, maka juga akan tertransmisikan kepada kenaikan harga pangan domestik, seperti yang sekarang berlangsung. Ketiga, ekspor Indonesia sangat tergantung kepada komoditas primer, khususnya perkebunan dan SDA lainnya, sementara harga dan permintaan dunia sangat berfluktuasi. Sebaliknya, sektor industri sangat tergantung dari bahan baku impor, sehingga setiap kenaikan produksi juga diiringi dengan peningkatan impor (bahan baku). Saat krisis seperti sekarang dampaknya amat nyata, di mana neraca perdagangan menjadi defisit akibat jatuhnya ekspor (karena krisis) dan melambungnya impor karena kebutuhan bahan baku dan modal.
Dengan mencermati situasi tersebut, maka sebetulnya terdapat peluang yang bisa dipetik dari krisis yang terjadi beberapa kali belakangan ini. Pokok soal yang mesti segera dibenahi adalah aspek ketahanan energi dan pangan. Pada aspek ini, sebetulnya level Indonesia bukan hanya mencukupi kebutuhan domestik, tetapi menjadi eksportir penting di dunia. Pada sektor energi, Indonesia dikaruniai sumber daya energi terbarukan yang melimpah, baik energi yang bersumber dari panas bumi, air, angin, dan tumbuhan (biofuel). Namun, akibat dimanjakan oleh keberadaan sumber daya energi yang tak terbarukan, semacam minyak, gas, dan batu bara menjadikan pemerintah terlambat mengembangkan energi terbarukan. Pola yang sama juga terjadi di sektor pangan, di mana kebijakan liberalisasi perdagangan dan pengabaian sektor pertanian menjadikan sektor ini tidak punya insentif yang memadai sehingga ditinggalkan oleh para pelakunya, yang berakibat anjloknya produksi.
Ketahanan energi dan pangan tersebut akan bernilai lebih hebat lagi apabila segera ditransformasikan menjadi barang yang bernilai tambah lewat strategi industrialisasi yang benar. Sekarang sektor industri yang dikembangkan justru tidak berbasis sumber daya domestik sehingga menciptakan ketergantungan bahan baku impor, yang mengurangi nisbah nilai tambah ekonomi dalam negeri. Sebaliknya, kelimpahan bahan baku domestik malah tidak ditransformasikan menjadi barang olahan, misalnya di sektor perkebunan dan kelautan. Oleh karena itu, penguatan sektor industri berbasis pertanian (dalam pengertian luas) ini menjadi keniscayaan yang harus cepat ditangkap dan dikerjakan untuk mendongkrak ekspor, mengurangi impor, menciptakan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan penurunan ketimpangan pendapatan. Jika ini dikawinkan dengan strategi pemerataan pembangunan di Indonesia bagian timur, maka dampak sosial ekonominya akan jauh lebih dahsyat dalam jangka panjang. Indonesia punya kesempatan besar untuk meraih impian ini asalkan segera bergegas dan konsisten menjalankannya.
dimuat di: Tabloid Insipirasi, Vol. 3, No. 52, September 2012
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef