Indonesia sejak lama diproyeksikan sebagai negara yang bakal menjadi poros ekonomi dunia, bersamaan dengan bangkitnya kekuatan ekonomi China, India, Brazil, Meksiko, dan lain-lain. Estimasi itu tentu tak mengada-ada karena Indonesia punya seluruh syarat menjadi kekuatan ekonomi dunia: sumber daya ekonomi, pasar yang besar, dan stabilitas politik. Ketiga hal itu merupakan kombinasi yang sempurna untuk mendongkrak pembangunan ekonomi ke level yang tinggi. Celakanya, aneka kesalahan kebijakan ekonomi, distorsi kekuasaan, dan kelemahan dalam menyusun prioritas pembangunan membuat prasyarat tersebut menguap begitu saja. Itu yang menyebabkan ekonomi Indonesia menjadi keropos karena kebijakan yang terlalu terbuka, mafia ekonomi merajalela, dan daya saing amat rendah akibat infrastruktur dan inovasi tak terbangun. Saat ini momentum tiba kembali untuk mendorong pembangunan ekonomi lebih cepat, yang tentu harus dimanfaatkan sebaik mungkin.
Komitmen Sektor Perbankan
Sejak dekade 1980-an Indonesia telah menggeser strategi ekonomi ke arah promosi ekspor (outward looking) untuk menambah daya dukung pertumbuhan ekonomi. Sekian langkah telah dilakukan dan hasilnya lumayan, bahkan pada 2006 surplus perdagangan nyaris menyentuh US$ 40 miliar. Tapi setelah itu kinerja ekspor merosot, puncaknya menjadi defisit perdagangan pada 2012 dan bertahan hingga kini. Kontribusi ekspor terhadap PDB juga terus turun, di mana pada 2010 masih sekitar 25% dan melemah menjadi 23% (2014). Sebaliknya, impor mengalami peningkatan kontribusi terhadap PDB. Pada 2010 kontribusi impor terhadap PDB sebesar 22,9% dan meningkat pada 2014 Triwulan III menjadi 24,77% (BPS, 2014). Dengan begitu, rasio impor lebih besar terhadap PDB daripada ekspor. Artinya, Indonesia lebih banyak melakukan impor daripada ekspor. Dengan begitu, variasi produk dan pendalaman sektor industri menjadi pekerjaan utama pemerintah di masa depan.
Daya saing ekonomi juga tak menggembirakan karena berbagai sebab yang sudah sama-sama diketahui. Pada periode 2013/2014, peringkat daya saing Indonesia mengalami kemajuan, meningkat ke posisi 38. Tapi negara tetangga juga melesat, seperti Thailand naik ke peringkat 37, Malaysia peringkat 24, dan Vietnam juga membaik dari posisi 75 menjadi peringkat 70 (World Economic Forum, 2014). Problem yang utama adalah infrastruktur dan logistik. Efisiensi biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan merupakan poin penting dalam mendongkrak daya saing. Sayangnya, biaya logistik yang harus dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia mencapai 17% dari total biaya produksi. Biaya logistik yang harus dikeluarkan oleh korporasi di AS sebesar 10%, Malaysia 8%, Filipina 7%, dan Singapura 6% dari total biaya produksi. Bahkan di Jepang biaya logistik yang dikeluarkan oleh perusahaan hanya sebesar 5% dari total biaya produksi (Kadin, 2011).
Daya saing ekonomi dan peningkatan ekspor tak bisa lepas dari peran sektor keuangan, khususnya perbankan. Sayangnya, kinerja perbankan belum optimal dalam menopang sektor riil. Bisnis perbankan lebih banyak menyantuni sektor non-tradeable dibanding sektor riil, sehingga menghambat roda perekonomian nasional. Di luar itu, Net Interest Margin (NIM) masih tinggi sekali, sekitar 4,1% (Juni 2014). NIM yang sangat besar itu membuat bunga kredit sangat tinggi sehingga membebani dunia usaha. Bandingkan dengan negara Asean lain yang NIM-nya di bawah 2%. Demikian pula, perbankan di Indonesia tidak efisien, yang ditunjukkan oleh BOPO yang tinggi (75,5% Â pada Juni 2014). Komitmen sektor perbankan membiayai UMKM juga rendah dibandingkan dengan negara lain. Saat ini kredit yang disalurkan ke UMKM hanya sekitar 21% dari total kredit perbankan. Malaysia dan Thailand persentasenya sudah di atas 30% (BI, 20143).
Agenda Pemerintah
APBNP 2015 yang dirancang pemerintahan baru saat ini sudah lebih bagus ketimbang periode sebelumnya, meski tetap ada kritik di baliknya. Porsi belanja modal sudah besar, demikian alokasi ke kementerian/lembaga sudah mencerminkan prioritas pembangunan. Pokok persoalan yang harus diantisipasi pemerintah adalah soal penyerapan, yang selama ini selalu terkonsentrasi pada semester kedua (bahkan Triwulan IV). Di samping itu, pemerintah mesti hati-hati dalam hal utang. Rasio utang terhadap PDB memang masih jauh dari konsensus internasional (60%). Tapi, data yang tersedia menunjukkan rasio utang itu terus melonjak, dari semula 26,41% (2011) menjadi 34,68% (Triwulan III – 2014). Peningkatan utang akan menggerogoti fiskal dan rentan terhadap gejolak (nilai tukar) karena sebagian besar tak terlindungi (hedging). Situasi lebih mencekam lagi karena rasio pembayaran utang terhadap ekspor yang telah mencapai 45% (DSR). Ini tentu berbahaya karena jauh di atas batas aman (30%).
Fakta lainnya adalah ketimpangan perekonomian dari sisi spasial, di mana perbandingan antara kontribusi Pulau Jawa dan Luar Jawa terhadap PDB tidak seimbang. Pada 2013 Pulau Jawa berkontribusi sebesar 57,53% pada PDB nasional dan Sumatera 23,81%. Sedangkan sisanya (sekitar 18%) berasal dari empat wilayah lainnya yaitu, Kalimantan (8,67%), Sulawesi (4,82%), Bali dan Nusa Tenggara (2,53%), dan paling rendah adalah wilayah Maluku dan Papua (2,14%) [BPS, 2014]. Situasi 2014 pasti juga tak banyak berubah (datanya belum keluar). Â Kondisi ini juga diikuti dengan ketimpangan antargolongan. Indeks gini yang melonjak menunjukkan terjadinya kenaikan ketimpangan pendapatan masyarakat. Realitasnya, kinerja perekonomian nasional yang cukup tinggi ternyata justru menjadi pemicu ketimpangan pendapatan. Pada 2011-2014 rasio gini mencapai 0,41%, padahal pada 2004 rasio gini hanya sebesar 0,33. Ini sinyal sosial-ekonomi yang harus diwaspadai.
Itulah faktor-faktor yang menjadi penyebab kapasitas untuk mendorong pembangunan ekonomi menjadi rendah, yang berakibat seretnya mengurai soal pengangguran dan kemiskinan. Dengan deskripsi tersebut, kurang lebih agenda yang harus dilakukan pemerintah bisa diringkas sebagai berikut: (i) pertumbuhan ekonomi diharapkan bertumpu kepada sektor riil dan UMKM; (ii) alokasi APBN sebagian besar diperuntukkan untuk mendukung sektor riil dan infrastruktur, khususnya pertanian dan Indonesia bagian timur; (iii) penerimaan pajak ditingkatkan untuk menekan utang, sekaligus agar postur anggaran dapat dibuat seimbang; (iv) menggerakkan komitmen perbankan membantu pembangunan sektor riil; dan (v) menyelenggarakan jaminan sosial secara utuh, khususnya untuk kelompok miskin, buruh, petani, nelayan, sektor informal, UMKM, dan lain-lain. Tentu masih banyak agenda lainnya, tapi jika ini saja bisa dijalankan selama 5 tahun, maka level ekonomi nasional akan cepat melesat.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
Majalah Warta Ekonomi, Edisi Tahun XXVII, Februari 2015