Pemerintah telah mengambil kebijakan tak populer pada awal kekuasaan, yakni penaikan harga minyak/BBM. Penaikan harga BBM sekitar 30% (premium dari Rp 6.500 ke Rp 8.500 dan solar dari Rp 5.500 ke Rp 7.500) telah memantik reaksi yang keras dari masyarakat, di mana sampai sekarang sebagian penolakan itu masih terus terjadi. Resistensi publik itu bersumber dari tiga hal: (i) harga minyak internasional sedang turun tajam; (ii) pemerintah yang baru belum memberikan layanan kepada publik karena baru berkuasa, sehingga terkesan ini kebijakan yang terburu-buru; dan (iii) penaikan itu pasti akan menjalarkan inflasi yang tinggi, khususnya sektor transportasi dan pangan. Pemerintah sendiri punya argumen yang kukuh: subsidi energi terlalu besar sehingga menekan anggaran pembangunan, misalnya alokasi belanja modal/infrastruktur.
Struktur Fiskal
Dalam jangka pendek ini pemerintah harus memastikan bisa memitigasi dampak dari penaikan harga BBM. Isu yang menonjol adalah: pengendalian harga (inflasi), proteksi sosial-ekonomi, dan perbaikan tata kelola migas. Pengendalian harga merupakan jejak rekam yang buruk dari pemerintah selama ini, karena inflasi sulit dijinakkan, terutama harga pangan. Tentu diharapkan pemerintah saat ini mampu menjalankan misi ini. Berikutnya, proteksi sosial-ekonomi (kartu sehat, kartu pintar, dana tunai, dan lain-lain) sayangnya tidak tergarap dengan baik sebab waktu yang mepet. Rasanya sampai Desember inipun belum akan sampai ke seluruh target kelompok rentan. Sementara itu, sekarang sudah dibentuk tim reformasi tata kelola migas, yang diketuai Faisal Basri, yang diharapkan sigap memberi rekomendasi perbaikan tata kelola.
Bagaimana dampak penaikan harga BBM terhadap fiskal di masa depan? Sebelum itu dijawab ada baiknya melihat peta alokasi fiskal selama ini. Jika dirunut dalam 10 tahun terakhir (2004-2013) dengan melihat empat alokasi belanja yang penting (belanja birokrasi, subsidi energi, modal, dan pembayaran utang), maka terdapat temuan penting. Belanja birokrasi (belanja pegawai dan barang) naik dari 16,2% (2004) ke 23,7% (2013) dari total APBN; subsidi energi naik dari 16,3% (2004) menjadi 18,1% (2013); belanja modal juga naik dari 6,4% (2005) menjadi 10,9% (2013); dan pembayaran utang turun dari 14,2% (2004) ke 6,8% (2013). Data itu menunjukkan berita bagus dari sisi belanja modal dan pembayaran utang, subsidi energi relatif stabil (naik tipis), namun yang menyedihkan belanja birokrasi melonjak tajam, yakni 7% dalam 10 tahun (LKPP, 2004-2013).
Mencermati data-data tersebut rasanya memang reformasi fiskal menyeluruh menjadi kebutuhan mendesak. Selama ini fokus pemerintah pada saat berbicara reformasi fiskal hanya melihat pos belanja subsidi energi. Dari sisi persentase terhadap total APBN memang cukup besar (sekitar 18% dalam beberapa tahun terakhir), tapi sebetulnya cukup stabil. Ini berbeda dengan porsi belanja birokrasi yang melonjak 7% selama satu dekade. Jika tahun dengan belanja birokrasi bisa diturunkan seperti kondisi 2004 (15-16% dari total APBN), maka akan ada penghematan sekitar Rp 140 triliun. Ini tentu jumlah yang luar biasa, setara dengan penghematan belanja subsidi akibat penaikan harga BBM (jika harga minyak internasional pada kisaran US$ 80). Bila skenario ini berjalan, maka alokasi belanja modal bisa mendapat amunisi dana yang besar.
Â
Reformasi Fiskal
Sementara itu, dari sisi penerimaan juga harus dilakukan reformasi secara besar-besaran. Pendapatan APBN sangat tergantung dari pajak, yakni 75-80% dari toal penerimaan, dan sisanya disumbang oleh PNBP (pendapatan negara bukan pajak). Celakanya, target penerimaan pajak belakangan ini kerap tak tercapai, termasuk tahun ini. Rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) justru turun dalam 10 tahun terakhir. Tahun lalu realisasi tax ratio hanya di kisaran 10,8%, padahal pada 2004 sudah di atas 12%. Dibandingkan dengan rata-rata negara lain tax ratio Indonesia sangat tertinggal. Malaysia dan Thailand sekarang sudah pada kisaran 18%. Sumber dari rendahnya tax ratio ini banyak, salah satunya berasal dari rendahnya ketaatan pajak. Pada 2014 pajak penghasilan pribadi yang melaporkan pajak hanya 35% dan pajak badan lebih rendah lagi (14%) [Ditjem Pajak, 2014].
Potensi peningkatan pajak dalam jangka pendek ini sungguh besar hanya dengan jalan menaikkan ketaatan pajak. Jika ketaatan pajak bisa naik menjadi masing-masing 65%, maka tambahan Rp 200 triliun tentu tidak terlalu berat dicapai. Jika nilai PDB sekitar Rp 10.000 triliun, maka tambahan itu meningkatkan tax ratio sebesar 2%. Langkah ini bila ditambah dengan memperbesar obyek pajak, yang potensinya sebesar 60 juta (sekarang yang terdaftar kurang dari 30 juta), maka tahun depan seharusnya bisa naik Rp 300 triliun penerimaan pajak. Sementara itu, potensi kenaikan dari PNBP juga sangat dimungkinkan karena kebocoran dan praktik ilegal ekonomi terus terjadi, misalnya di sektor kelautan, kehutanan, dan BUMN. Beberapa kementerian telah memasuki wilayah ini sehingga prospek optimalisasi penerimaan bisa segera tercapai pada tahun depan.
Deskripsi di atas bisa dipakai untuk membangun reformasi fiskal di masa mendatang, khususnya tahun depan. Pertama, alokasi birokrasi harus dirombak secara mendasar sehingga dapat dikurangi pada kisaran 15-16% dari total belanja APBN. Apabila ini ditambah dengan pengurangan subsidi energi, maka belanja modal bisa ditambah menjadi 20% dari total APBN. Kedua, dari sisi penerimaan tax ratio harus ditingkatkan karena potensinya yang besar sekali. Tahun depan tax ratio paling tidak bisa naik 2%, apalagi jabatan Dirjen Pajak sekarang dilelang sehingga bisa diberi target penerimaan yang ketat. Ketiga, inisiasi program baru berdasarkan platform dan prioritas pembangunan harus tampak. Alokasi belanja K/L mesti mencerminkan prioritas pembangunan. Ketiga poin ini juga sudah diikarkan sejak masa kampanye, sekarang saatnya pemerintah melunasi janji itu.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef