Di tengah berita gembira mengenai perekonomian nasional yang tetap bekerja dengan lumayan bagus pada 2011 (pertumbuhan ekonomi sekitar 6,5%) dan status layak investasi oleh Moody’s Investor Service, kabar tidak sedap masih saja berdatangan seakan tidak berhenti. Di antara noda informasi yang tidak mengenakkan tersebut, yang paling menyesakkan adalah soal kredit yang tidak terpakai/terserap (undisbursed loan) dalam jumlah sangat besar, padahal kredit itu sudah disetujui oleh bank. Sampai akhir November 2011, kredit tidak terpakai/KTT mencapai Rp 661,87 triliun. Bisa jadi, sampai akhir 2011 KTT tersebut menembus Rp 700 triliun. Kecenderungan ini terus meningkat dari tahun ke tahun, di mana pada 2005 nilainya masih Rp 151,98, kemudian Rp 162,98 (2006), Rp 208,33 (2007), Rp 247,67 (2008), Rp 323,71 (2009), dan Rp 554,70 (2010, semua dalam triliun) [Jawa Pos, 28/1/2012]. Jika dilihat dari data tersebut, terlihat persentase KTT meningkat setiap tahunnya.
Masalah di Lapangan
Realitas di atas tentu sangat mengecewakan karena pergerakan ekonomi nasional sampai kini 80% sumber pembiayaannya masih ditopang oleh sektor perbankan. Jika intermediasi perbankan tidak berjalan, praktis ekonomi akan lumpuh. KTT juga menjadi sumber dari rendahnya rasio kredit terhadap PDB di Indonesia yang hanya sekitar 26%. Jika diandaikan seluruh KTT di atas bisa direalisasi, maka rasio kredit terhadap PDB dapat didongkrak ke level 35%. Bila dibandingkan dengan negara Asia lainnya akan terlihat betapa rendahnya rasio kredit terhadap PDB di Indonesia, misalnya China 114,5%; Malaysia 108,8%; Thailand 84,2%; dan India 47,4% (BI, 2010). Dengan komparasi data tersebut terlihat dengan terang betapa besar peran sektor perbankan di China, Malaysia, Thailand dan India dalam menggerakkan perekonomian, yang sebagian tentu disumbang oleh akses masyarakat yang cukup tinggi terhadap sektor keuangan (financial inclusion).
Berikutnya, keluhan mendasar yang disuarakan oleh pelaku ekonomi (khususnya investor/debitur) adalah tingginya tingkat suku bunga kredit perbankan sehingga biaya investasi menjadi mahal. Sampai Januari 2012, suku bunga kredit (nominal) berkisar 10,3-13,5% (tergantung sektor ekonomi), sehingga tingkat bunga tersebut tercatat sebagai salah satu yang tertinggi di Asia. Hal ini bisa terjadi karena dua sumber. Pertama, net interest margin (NIM) di Indonesia sangat tinggi, yakni 5,89%. Dengan kata lain, bank di Indonesia mengambil marjin laba yang begitu tinggi. Bandingkan dengan Filipina 3,92%; Vietnam 3,43%; Malaysia 3,03%, dan Singapura 1,79% (BI, diolah). Kedua, biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) juga sangat tinggi (boros). Jika dibuat rata-rata, BOPO perbankan per Oktober 2011 mencapai 85%, bahkan ada yang mencapai 95%. Padahal, perbankan di Asean rata-rata BOPO cuma di kisaran 60%. Dalam situasi ini sulit perbankan menurunkan tingkat bunga karena praktik itu dipakai untuk menutup biaya operasional yang boros.
Tentu saja persoalan KTT bukan hanya dari sisi perbankan, sebab jika dikuliti lebih detail sebagian besar KTT itu berasal dari kredit untuk pembangunan infrastruktur. Kendala yang dirasakan oleh investor untuk membangun infrastruktur adalah perizinan yang ruwet dan pembebasan lahan yang berbelit-belit. Persoalan yang dirasakan investor itu didukung oleh studi Bank Dunia mengenai “doing business 2012†yang menempatkan tiga aspek sebagai penyebab buruknya iklim investasi, yaitu inefisiensi birkorasi, korupsi, dan keterbatasan infrastruktur. Pemerintah memang telah melakukan perbaikan dalam menurunkan biaya dan prosedur investasi, tapi percepatannya kalah jauh dibanding negara tetangga. Dalam soal ini, Indonesia hanya lebih baik dari Timor Leste, Laos, dan Kamboja pada level Asean. Akibatnya, meskipun kredit investasi yang diajukan telah disetujui perbankan, investor tetap tidak dapat menyerap kredit karena terbentur masalah perizinan dan lahan tersebut.