Pekerjaan Rumah Bank Sentral
Secara lebih lanjut, kasus pembobolan bank asing lewat modus private baking (yang melibatkan MD) dan kematian nasabah kartu kredit akibat ulah debt collector juga menerbitkan kecemasan yang lain, bahwa sesungguhnya sistem dan etika (code of conduct) yang dilakukan bank asing tidak sehebat yang dibayangkan. Tentu saya tidak ingin mengatakan semua bank asing memiliki perilaku dan sistem seperti itu, tapi hal ini perlu disampaikan sekadar memberi informasi yang seimbang bahwa lembaga yang mapan dan memiliki reputasi yang hebat sekalipun tidak kalis dari kemungkinan-kemungkinan praktik buruk semacam itu. Pada titik ini, review menyeluruh terhadap untung-rugi kehadiran bank asing laik dilakukan oleh bank sentral untuk memastikan keberadaannya tidak merugikan perekonomian nasional. Kasus-kasus yang terjadi belakangan di bank asing, ditambah keengganannya menyalurkan kredit, merupakan bagian kecil saja dari aspek yang mesti dianalisis. Selebihnya, masih terdapat aspek lain yang perlu ditelisik secara lebih mendalam.
Aspek lainnya yang patut ditelisik adalah soal efisiensi sektor perbankan. Salah satu instrumen untuk mengukur efisiensi sektor perbankan adalah dengan melihat BOPO (biaya operasional dibandingkan dengan pendapatan operasional). Sampai akhir 2010, BOPO perbankan berada pada level 86,14%. Tentu saja angka itu sangat tinggi, lebih-lebih apabila disandingkan dengan BOPO perbankan di negara lain. Perbankan di Malaysia BOPO nya saat ini berada pada level 40%, sehingga bisa dikatakan efisiensinya dua kali lipat ketimbang Indonesia. Hal ini tentu saja ironis, karena perbankan memeroleh laba yang besar di atas praktik inefisiensi. Artinya, profit tersebut diraih dengan jalan mengorbankan kepentingan pihak lain, salah satunya mengenakan tinggi suku bunga (kredit) dan NIM yang tinggi (yang merugikan masyarakat). Oleh karean itu, bank sentral mesti mengidentifikasi penyebab inefisiensi sektor perbankan tersebut agar ke depan bisa dicarikan formula penyelesaian yang lebih terarah.
Terakhir, sektor perbankan (domestik maupun asing) seharusnya terus berupaya mendukung munculnya pengusaha-pengusaha baru yang selama ini belum dijamah oleh akses lembaga keuangan. Selama ini kritik tajam yang diarahkan kepada sektor perbankan adalah kenyamanan mereka dalam memberikan kredit hanya kepada investor-investor yang telah mapan. Akibatnya, kredit untuk investasi kalah jauh ketimbang kredit modal kerja (KMK) atau konsumsi (proporsi kredit investasi pada 2010 sebesar 9,06%, KMK 37,50%, dan kredit konsumsi 53,45%). Realitas ini merupakan indikasi betapa perbankan kurang mendukung penciptaan wirausahawan baru yang sebetulnya tumbuh subur di masyarakat. Dalam situasi seperti sekarang, setiap pelaku ekonomi (termasuk sektor perbankan) dituntut kontribusinya dalam mendorong kualitas pembangunan ekonomi, bukan hanya menjadi “pencari rente†yang membuat perekonomian nasional tidak kunjung mengalami perbaikan.
Dengan begitu, sebetulnya ada dua hal penting yang perlu dilakukan bank sentral dalam membenahi sektor perbankan. Pertama, pada level makro, bank sentral perlu memberi arahan kepada sektor perbankan untuk mendukung prioritas pembangunan ekonomi nasional. Saat ini sektor pertanian, industri, infrastruktur, energi, dan lain-lain sangat mengharapkan dukungan finansial bagi pengembangannya. Oleh karena itu, gerak sektor perbankan di masa depan harus berjalan satu lini dengan prioritas tersebut. Kedua, bank sentral perlu menekan perbankan agar lebih efisien. Di sini harus dicari terlebih dulu dari mana sumber inefisiensi itu berasal: apakah gaji/bonus yang tidak wajar, hadiah yang tidak masuk akal, atau hal yang lain. Ketiga, secara mikro perlu dibuat regulasi yang lebih rinci untuk memastikan perilaku-perilaku moral hazard, seperti kasus MD dan debt collector, tidak terjadi lagi. Sistem pengawasan bank sentral perlu diperkuat lagi dan dilakukan secara intensif agar sistem pengawasan internal setiap bank benar-benar berjalan seperti yang seharusnya. Pelaku perbankan harus menerima seluruh keketatan regulasi ini semata agar keberadaannya tetap dipercaya oleh publik dan memiliki faedah bagi perbaikan perekonomian nasional.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef