Krisis ekonomi saat ini secara perlahan menimbulkan perubahan-perubahan yang tidak terpikirkan sebelumnya. Pertama, krisis ekonomi telah menginisiasi nilai-nilai baru bahwa ekonomi tanpa pijakan moral hanya akan menimbulkan destruksi yang sulit diselesaikan. Itulah yang menjadi sebab Obama menginjeksi regulasi pembatasan gaji eksekutif korporasi. Baginya, bukanlah tindakan bermoral bila semua perusahaan bergelimpangan, tapi para eksekutif yang melumpuhkan korporasi itu meraup gaji yang tidak mengenal batas. Kedua, perekonomian hanya akan bergerak bila seluruh pelaku ekonomi berorientasi kepada pasar internasional (outward-looking). Keyakinan inilah yang melahirkan ide liberalisasi perdagangan dan keuangan, sehingga semua pelaku ekonomi seperti mengabaikan pentingnya pasar domestik. Akibatnya, negara semacam Malaysia dan Thailand nilai ekspornya setara atau bahkan melebihi PDB-nya, bahkan Singapura nilai ekspornya 250% dari PDB.
Menghidupkan Proteksi
Negara-negara maju selama ini berkibar karena ideologi pasar terbuka tersebut, di mana pasar internasional merupakan instrumen untuk memperbesar skala ekonominya. Orientasi ekspor itu tentu saja dianggap sahih sebab banyak bukti negara yang hanya mengejar pasar domestik cenderung stagnan ekonominya, khususnya negara yang menggunakan kebijakan substitusi impor (inward-looking). Dengan sangat mudah negara maju meraup keuntungan dari strategi tersebut karena didukung oleh dua faktor. Pertama, sejak lama negara maju telah memerkuat ekonomi domestik, terutama pada level korporasi, sehingga kesanggupan mereka untuk berkompetisi pada level internasional sangat tinggi. Perlu juga dipahami sebelum persaingan internasional dibuka, negara maju dulunya juga menerapkan proteksi secara eksesif. Kedua, pembesaran pasar itu mengakibatkan skala ekonomi perusahaan di negara maju kian besar sehingga menjadi lebih efisien.
Pola perdagangan itu telah berjalan puluhan tahun, bahkan semakin intensif dalam 20 tahun terakhir, sehingga menjadi kisah di balik ketimpangan perdagangan antara negara maju dan negara berkembang. Deskripsinya, 10% negara paling maju menguasai sekitar 80% perdagangan internasional. Sisa 20% kue pasar internasional diperebutkan 90% negara lainnya. Jadi, bisa dibayangkan ketimpangan yang diproduksi dari sistem perdagangan bebas tersebut. Tentu saja ada negara-negara tertentu, yang sebelumnya tergolong berkembang (seperti Korea Selatan), turut menikmati kebijakan pasar terbuka akibat kemampuannya keluar dari belitan dan etos kerja yang tangguh. Tapi, tetap saja negara-negara lain yang jumlahnya ratusan tidak mengalami kemajuan ekonomi akibat sistem perdagangan internasional yang secara sistematis didesain untuk mematikan mereka. Fakta inilah yang diteriakkan oleh ekonom kritis agar sistem perdagangan dunia direformasi secara radikal.
Rupanya, proses penyadaran terhadap bahaya sistem perdagangan yang terbuka tidak bermula dari kerendahatian negara maju, tapi dijebak oleh liberalisasi sektor keuangan yang diciptakan untuk menopang liberalisasi perdagangan. Krisis keuangan telah mengerutkan pasar internasional akibat seluruh korporasi runtuh dan daya beli masyarakat rontok. Negara-negara maju dan sebagian negara berkembang yang selama ini kemajuan ekonominya dihidupi dari pasar internasional, saat ini tidak mampu bertahan karena pasar ekonomi domestik telah dilalaikan sangat lama. Negara-negara itu memang sangat digdaya, tapi sebagian kebutuhan rakyatnya dicukupi dari komoditas negara lain. Begitu krisis menghantam, mereka tidak mampu lagi melakukan ekspor karena pasar internasional tenggelam. Sebaliknya, negara lain juga tidak sanggup memasok produk ke negara maju karena daya beli masyarakat negara maju juga punah. Akibatnya, negara seperti AS sampai harus mengampayekan â€Buy Americanâ€.
Gelombang Ketiga
Sesungguhnya pembalikan pola orientasi ekonomi saat ini diharapkan menjadi fase gelombang ketiga model perdagangan internasional. Pada era merkantilisme, sebagian negara yang saat ini dikenal sebagai negara maju mempromosikan proteksi pasar domestik, sambil pada saat yang bersamaan menganeksasi pasar negara lain, bila perlu dengan mencaplok negara tersebut (kolonialisme). Gelombang berikutnya, pola perdagangan seperti itu dianggap tidak cukup memuaskan negara maju untuk menguasai ekonomi, sehingga mereka menekan negara berkembang untuk membuka pasarnya, karena negara-negara berkembang itu juga melakukan paket kebijakan proteksi. Negara maju meminta pasar negara berkembang dibuka dengan kompensasi kemerdekaan politik. Hasilnya, kedaulatan politik diberikan, tetapi ekonominya dijajah dengan cara yang lebih eksesif, yang kemudian dikenal sebagai imperialisme. Jadi, dari dua model itu negara berkembang terus menjadi pecundang.
Periode sekarang merupakan momentum yang bagus bagi negara berkembang untuk mengoreksi model perdagangan internasional. Pertama, secara internal negara berkembang mulai menghidupkan ekonomi domestiknya sebagai pondasi kegiatan ekonomi. Kasus Indonesia merupakan contoh yang sempurna, betapa sektor pertanian dan sumber daya alam tidak diurus secara semestinya untuk kepentingan pasar domestik, sehingga sebagian produk pertanian penting harus diimpor (boros devisa). Kedua, negara berkembang bersekutu mendesak negara maju menggelar kembali daftar perjanjian perdagangan internasional, yang intinya proteksi dimungkinkan penerapannya berdasarkan kebutuhan setiap negara. Perdagangan internasional memang harus terjadi, tetapi bukan akibat penetrasi kebijakan yang tidak adil, melainkan secara alamiah memah harus terjadi karena tidak ada satupun negara yang sanggup mencukupi kebutuhannya sendiri. Indonesia harus mengambil prakarsa ini bagi pencapaian tata ekonomi dunia yang lebih menjanjikan. Carpe diem!
Seputar Indonesia, 24 Februari 2009
*Ahmad Erani Yustika,
Direktur Eksekutif Indef;
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Brawijaya