KTT Asean yang digelar di Jakarta minggu lalu menerbitkan banyak ragam pandangan, khususnya mengenai terbentuknya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Pandangan tersebut secara umum terbelah menjadi dua kutub, yakni pihak yang optimis dan pesimis. Pihak yang optimis melihat Indonesia akan mendapatkan benefit yang besar dengan terjadinya basis produksi dan pasar tunggal Asean, utamanya jika melihat potensi sumber ekonomi dan jumlah penduduk. Sebaliknya, pihak yang pesimis yakin Indonesia akan makin tenggelam perekonomiannya karena direndam oleh banjir produk-produk negara tetangga. Hal ini bisa terjadi karena ketidaksiapan ekonomi domestik dalam menghadang serbuan ekonomi luar negeri, di samping kealpaan membangun ekonomi nasional secara sungguh-sungguh. Masing-masing pihak itu barangkali punya kontribusi kebenaran dalam menganalis persoalan ini, sehingga mengenali kedua sudt pandang tersebut menjadi sangat penting.
Tabulasi Masalah
Jika berbicara soal kompetisi perekonomian yang makin terbuka saat ini, sekurangnya terdapat dua level masalah yang harus dilihat, yakni situasi ekonomi domestik dan peluang yang bisa direbut. Dalam beberapa aspek, harus diakui perekonomian nasional telah mencapai hal-hal positif dalam beberapa tahun terakhir, seperti stabilitas makroekonomi, ekspor yang makin maju, dan sektor keuangan yang kian mapan. Namun, di balik itu terdapat soal-soal serius yang belum juga mengalami perbaikan berarti.
Pertama, perekonomian nasional makin menjauh dari sendi-sendi kegiatan produktif yang menjadi nafas hidup sebagian besar masyarakat. Peranan dan pertumbuhan sektor pertanian dan industri menuju lereng negatif dalam beberapa tahun terakhir, sehingga pondasi ekonomi nasional menjadi keropos. Dukungan sektor keuangan (bank) terhadap kedua sektor tersebut juga makin melorot. Bayangkan saja, pada 2000 sektor tradeable (pertanian, industri, pertambangan) masih menyerap 47,96% dari total kredit, tapi pada 2010 menjadi tinggal 24,22% (Indef, 2011).
Kedua, iklim investasi di Indonesia juga stagnan, apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara sekawasan. Dalam beberapa aspek memang terdapat perbaikan iklim investasi di Indonesia, seperti ditunjukkan biaya perizinan yang makin murah, jumlah prosedur yang terus berkurang, dan waktu pengurusan yang kian cepat. Namun, percepatan perbaikan itu kalah langkah ketimbang negara-negara tetangga sehingga tetap saja membuat iklim investasi dan daya saing tertinggal di bagian bawah. Misalnya saja, biaya memulai bisnis di Indonesia masih sebesar 26% dari pendapatan per kapita, sedangkan di Singapura dan Malaysia masing-masing 0,7% dan 11,9%. Hal yang sama juga dalam hal lama pengurusan izin usaha, di mana Indonesia hanya lebih bagus dari Filipina dan Laos pada level Asean (Bank Dunia, 2010). Jika soal-soal ini tidak segera ditangani secara sigap dan cepat, sulit bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara-negara Asean di masa depan.
Ketiga, masih berkaitan dengan iklim investasi dan daya saing ekonomi adalah ketersediaan infrastruktur. Serangkaian upaya sudah dilakukan pemerintah untuk memercepat pembangunan infrastruktur ini (jalan, pelabuhan, listrik, irigasi, jembatan, air minum, rel kereta api, bandara, dan lain-lain), misalnya mengadakan infrastructure summit, namun hasilnya sangat tidak memadai. Di luar masalah pendanaan yang kerap disebut sebagai soal utama, sebetulnya aspek yang jauh lebih jelas adalah ketidaksiapan pemerintah sendiri untuk menindaklanjuti persetujuan investasi infrastruktur. Hasilnya, ketersediaan infrastruktur di Indonesia jauh tertinggal daripada negara-negara sekawasan. Pada 2009, sekitar 101,2 juta penduduk di Indonesia hidup tanpa akses listrik. Sementara itu, jalan aspal di Indonesia baru 58%, lebih rendah dari Brunei dan Filipina sekalipun (masing-masing 78% dan 81%) [Indef, 2011]. Tentu banyak soal lain yang mesti diselesaikan, tapi tiga hal ini adalah yang paling pokok.