Pemerintah sudah mengambil posisi lugas: memilih mengorbankan subsidi BBM dan memindahkannya untuk belanja modal. Pada tahun depan belanja modal akan ditambah sekitar Rp 200 triliun, setara dengan jumlah subsidi yang dikurangi. Belanja modal itu sebagian besar dipakai untuk membangun infrastruktur. Infrastruktur dalam tempo 10 tahun terakhir dituduh menjadi akar persoalan dan solusi ekonomi. Opini itu kita terima sebagai separuh kebenaran, sedangkan setengahnya lagi adalah “politik ekonomi infrastukturâ€, yang secara padat bisa dimaknai sebagai instrumen penopang pembangunan sesuai mandat konstitusi. Amanat konstitusi itu tak lain adalah pemerataan pembangunan, penciptaan lapangan kerja, pencerdasan kehidupan bangsa, dan lain sebagainya. Dengan bingkai inilah aneka perspektif harus dibuka demi pembangunan yang bermartabat.
Pertama, infrastruktur akan memicu pergerakan ekonomi sehingga kemunduran suatu daerah/sektor lekas diatasi. Tak ada yang bisa menyangkal realitas empiris tersebut. Negara maju akselerasi kegiatan ekonominya tinggi dan daya saingnya meningkat karena diungkit oleh infrastruktur yang mapan. Dalam kasus Indonesia, Pulau Jawa bergerak liat meninggalkan wilayah lain juga karena dukungan infrastruktur yang lebih lengkap. Namun, terdapat diktum lain yang tak boleh diingkari, yakni setelah infrastruktur dibangun siapa pihak yang lebih banyak mencecap: wilayah lain yang difasilitasi untuk menyedot sumber daya daerah terbelakang, atau wilayah yang belum berkembang tersebut lebih gampang melebarkan kepak sayap ekonominya. Banyak kasus menunjukkan, daerah yang kaya SDA ketika dibangun infrastruktur malah mengalami degradasi pembangunan.
Kedua, pembangunan infrastruktur dimaksudkan cuma sebagai instrumen fasilitasi investasi atau diperluas sebagai ikhtiar penguatan ekonomi lokal/daerah tertentu. Sekadar membangun infrastruktur sebagai fasilitasi investasi bisa menjadi petaka bagi perekonomian daerah/nasional. Teramat banyak infrastruktur yang didirikan selama ini tidak diabdikan untuk kepentingan yang semestinya. Pola serupa juga terjadi pada desain MP3EI. Kelembagaan investasi yang terkait dengan kepentingan negara lain jauh lebih menonjol ketimbang aturan main peningkatan kekuatan sosial-ekonomi domestik atau kelompok yang kurang berdaya. Akibatnya, ketika skenario itu berjalan, maka nisbah ekonomi lokal/nasional yang diperoleh tampak lebih kecil ketimbang pihak lain. Dengan aneka realitas pedih yang pernah dialami tentu kita tak ingin memperpanjang trauma buruk itu.
Ketiga, pemerintah mesti hati-hati dalam menyusun skema pembiayaan dan pengelolaan infrastruktur. Secara teori, infrastruktur adalah barang publik yang pelaku swasta tak tertarik masuk. Sebabnya sederhana, pihak yang membiayai tak bisa mengeksklusi pelaku yang hendak memanfaatkan. Namun, karakter semacam itu telah hilang sedikit demi sedikit. Akibat dana pemerintah yang cekak sektor privat dilibatkan, di mana fenomena ini kerap disebut dengan gejala “privatisasi infrastrukturâ€. Sektor swasta mesti diberi insentif agar mau partisipasi. Implikasinya, infrastruktur tak lagi gratis. Jika tak murah, maka akses penggunaan infrastruktur menjadi tak mudah bagi kelompok masyarakat tertentu (menengah ke bawah). Jadi, identifikasi infrastruktur yang hendak dikerjasamakan swasta harus dikaitkan dengan analisis soal “akses†itu.
Keempat, infastruktur terkoneksi dengan “representasiâ€. Keterwakilan terkait dengan banyak aspek, namun dalam kasus Indonesia representasi lebih banyak terhubung dengan ketimpangan antarwilayah (representasi wilayah). Implikasinya, representasi pembangunan infrastruktur mesti diarahkan untuk daerah tertinggal, meskipun barangkali efisiensi ekonomi sedikit dikorbankan. Sejak lama saya mengusulkan agar ada captive budget belanja modal, misalnya 75% untuk wilayah Indonesia bagian timur. Dengan dasar itulah pembangunan infrastruktur urutannya disesuaikan keadaan masing-masing daerah. Di wilayah yang belum berkembang, infrastruktur penunjang produksi rakyat didahulukan (misalnya irigasi), diikuti infrastruktur transaksi (pasar). Setelah itu mapan baru dilanjutkan dengan pembangunan infrastruktur yang terkait dengan konektivitas (jalan).
Berikutnya, infrastruktur yang memerkuat ekonomi daerah tentu wajib terhubung dengan potensi ekonomi wilayah yang bersangkutan, sekaligus pengembangan (pengolahan) potensi itu menjadi aktivitas yang bernilai tambah. Jika potensi daerah ialah sektor kelautan, maka yang dibangun bukan hanya infrastruktur tangkap, namun juga fasilitasi sektor manufaktur lokal (UKM) yang mengolah bahan baku. Jangan sampai diulang, ikan ditangkap di Pulau Sulawesi atau Papua tapi industri pengolahan berlokasi di Jawa. Sementara itu, menyangkut pembiayaan selaiknya infrastruktur dasar sepenuhnya ditanggung pemerintah (misalnya air bersih, sanitasi, kesehatan, pendidikan), sedangkan di luar itu BUMN diprioritaskan dan baru sektor swasta. Seluruh bangunan itu tentu butuh pondasi politik ekonomi infrastruktur yang dalam agar sejarah kelam bisa dikubur.
Â
*Ahmad Erani Yustika, Ekonom Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef
Â