Saat pemerintah merancang 15 prioritas, 45 program, dan 129 rencana aksi dalam masa 100 hari pemerintahannya, sebetulnya tidak dimaksudkan untuk bisa mencapai keseluruhan rancangan tersebut. Bahkan, secara obyektif, seluruh rancangan itu belum tentu dapat dicapai dalam masa 5 tahun pemerintahan sekarang. Tepat pada titik inilah terdapat selisih pandang antara program yang direncanakan pemerintah dengan yang dipersepsikan publik. Masyarakat menganggap bahwa seluruh rancangan itu mesti diselesaikan dalam masa 100 hari, sedangkan pemerintah menganggap 100 hari itu merupakan momentum untuk menciptakan landasan kebijakan pada masing-masing prioritas/ program/rencana aksi . Inilah yang menyebabkan hari-hari terakhir ini di media dipenuhi hiruk pikuk beragam penilaian terhadap kinerja pemerintah, tentu dari sudut pandangnya masing-masing.
Program dan Problem Komunikasi
Dari 15 prioritas yang diusung pemerintah tentu tidak ada yang menganggap salah, karena keseluruhannya memang menggambarkan problem pembangunan nasional, dari mulai soal terorisme, pertanahan, revitalisasi industri, pembangunan pertanian, perbaikan infrastruktur, dan pengembangan UMKM. Tetapi yang alpa dilakukan pemerintah setidaknya bersumber dari dua aspek. Pertama, pemerintah tidak merumuskan secara rinci dari sekian banyak prioritas/program/rencana aksi tersebut bagian mana yang diutamakan menjadi tindakan dalam 100 hari pertama, termasuk departemen/kementerian mana yang bertanggung jawab. Kedua, setelah jelas program, departemen yang bertanggung jawab, dan indikator pencapaiannya, maka pemerintah sejak awal seharusnya mengumumkan secara resmi dan mengkomunikasikan kepada publik (media cetak, elektronik, website, lain-lain) sebagai bahan informasi.
Sayangnya, dua proses itu tidak dilakukan secara cermat oleh pemerintah sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda. Sehingga, pada akhirnya yang dilakukan oleh masyarakat adalah penilaian berdasarkan apa yang dirasakan, bukan yang telah dilakukan pemerintah (karena memang tidak ada informasi). Model ini berlaku untuk semua bidang, termasuk ekonomi. Sekurangnya, dari 15 prioritas yang dibuat pemerintah, terdapat 7 prioritas yang berkaitan langsung dengan bidang ekonomi, yakni revitalisasi industri pertahanan, meningkatkan daya listrik, meningkatan produksi dan ketahanan pangan, revitalisasi pabrik pupuk dan gula, membangun infrastruktur, meningkatkan kewirausahaan dan pengembangan UMKM, mobilisasi sumber pembiayaan di luar APBN/APBD. Pada 7 prioritas ini tidak banyak informasi yang dapat dijelaskan oleh pemerintah sehingga sulit bagi publik memberikan penilaian secara jernih.
Sungguh pun begitu, dari keterbatasan informasi ini sekurangnya terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan dasar penilaian. Pertama, terdapat beberapa soal klise yang seharusnya bisa diselesaikan, namun sampai kini belum dapat diatasi, misalnya fluktuasi harga komoditas pertanian (beras, gula, minyak goreng, dan lain-lain). Kedua, perdagangan internasional yang makin terbuka, di antaranya ditandai berjalannya ACFTA (Asean – China Tree Trade Agreement), belum disikapi secara memadai dalam 100 hari pemerintahan, bahkan terdapat silang pendapat di antara kementerian menyikapi soal ini. Ketiga, sikap terhadap pengembangan sektor industri belum dapat dirumuskan dan disosialisasikan secara baik, padahal ini berkaitan dengan banyak bidang lainnya, seperti pembangunan infrastruktur dan sektor pertanian/pertambangan. Keempat, aspek fiskal juga bagian yang penting, baik menyangkut penerimaan maupun alokasi belanja/pengeluaran.
Rincian Kinerja
Dalam soal fluktuasi harga komoditas yang selalu berulang setiap tahun, misalnya gula, minimal merupakan tanggung jawab kementerian pertanian dan perdagangan. Dari sisi departemen pertanian, program swasembada gula yang sudah dicanangkan sejak 2002 tidak terealisasi hingga kini, padahal rencana awal sudah bisa dicapai pada 2007. Inilah yang menyebabkan jumlah pasokan selalu kurang ketimbang kebutuhan. Soal pasokan ini masalahnya dua, yaitu distribusi yang buruk (karena distribusi gula strukturnya oligopolis) dan mekanisme tata niaga impor yang tidak berjalan dengan baik. Kedua soal ini merupakan tanggung jawab departemen perdagangan. Masalah ini sebetulnya sudah sangat lama dan cukup mudah untuk melihat akar persoalannya (apalagi menteri perdagangan dijabat oleh orang yang sama), sehingga wajar bila publik sangat berharap soal ini dapat diselesaikan dalam 100 hari pertama pemerintahan.
Berikutnya, departemen perdagangan juga paling bertanggung jawab terhadap kegagalan negara ini dalam menghadapi ACFTA, karena departemen itu yang dulu melakukan perundingan. Semestinya mereka menginformasikan, mengkoordinasikan, dan mengawal hasil perundingan tersebut untuk dijalankan bersama departemen terkait. Sekarang situasinya lebih rumit lagi, karena departemen industri, misalnya, meminta menunda beberapa item produk yang dianggap belum siap, sementara departemen perdagangan tidak mau melakukan renegosiasi. Parahnya lagi, departemen perindustrian tidak segera membuat dan mengumumkan bingkai pengembangan industri ke depan sebagai upaya meningkatkan daya saing ekonomi nasional dan memenangi kompetisi internasional. Sampai kini belum dirumuskan secara pasti “industry champion†yang dipilih pemerintah sehingga seluruh kebijakan (investasi) akan mengikuti panduan tersebut.
Setelah itu, departemen keuangan belum menuntaskan tiga persoalan klasik yang harus diemban, yaitu cara memerbaiki penyerapan anggaran, diversifikasi penerimaan anggaran (di luar utang), dan alokasi anggaran yang mensejahterakan masyarakat. Ketiganya bukan perkara baru, tapi juga belum tersentuh dalam program 100 hari ini. Di luar ini, tentu masih banyak kinerja lain yang belum memuaskan, seperti regulasi ketenagakerjaan, strategi penguatan UMKM, dan percepatan pembangunan infrastruktur. Sungguh pun begitu, di luar kelemahan ini, ada beberapa keberhasilan yang layak disyukuri, misalnya implementasi National Single Window (NSW) untuk ekspor – impor, aliran investasi yang mulai masuk, dan pembuatan lembaga pendanaan infrastruktur yang telah berjalan. Kurang lebih inilah neraca kinerja kementerian ekonomi, yang mudah-mudahan dapat menjadi bahan perbaikan untuk menapaki kerja di hari depan.