Sejak pembangunan ekonomi dijalankan secara normal mulai 1966, sebetulnya bisa dikatakan Indonesia telah berada dalam jalur pembangunan yang lurus. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi kian stabil dan menanjak, inflasi dapat dijinakkan, investasi swasta (domestik dan asing) terus bergerak, ekspor-impor berkembang dinamis, dan pendapatan per kapita makin membesar. Selama rentang waktu 45 tahun ini memang kadangkala diselingi dengan aneka kemerosotan ekonomi, seperti yang terjadi pada 1982, 1997, dan 2008. Namun, secara umum, perekonomian terus bergerak dengan laju yang cukup kencang. Sekurangnya, pertumbuhan ekonomi selalu menjadi kisah manis yang membuat bangsa ini dianggap sebagai salah satu dari emerging markets (dulunya termasuk negara yang ajaib di kawasan Asia Timur). Sayangnya, dalam soal pemerataan pendapatan (pembangunan), masalah yang terjadi tidak pernah mengalami perbaikan, bahkan akhir-akhir justru melaju ke arah yang memburuk.
Tipologi Ketimpangan
Sekadar merangkum kinerja pemerataan pendapatan dalam beberapa tahun terakhir, dapat dideskripsikan sebagai berikut. Pada 1999, Rasio Gini (yang mengukur ketimpangan pendapatan dari skala 0 – 1) masih cukup bagus, yakni 0,31. Setelah itu, Rasio Gini memburuk berturut-turut 0,32 (2002); 0,34 (2005); 0,35 (2006); 0,37 (2009); 0,36 (2008); dan 0,35 (2009). Pengukuran Rasio Gini ini masih menggunakan dasar pengeluaran, bukan pendapatan. Seandainya pengukuran Rasio Gini memakai dasar pendapatan, barangkali akan jauh lebih tinggi (timpang). Pemburukan ketimpangan itu terjadi pada saat pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan, misalnya pada 1999 pertumbuhan ekonomi 0,79%; 2002 (4,30%); 2005 (5,60%); 2006 (5,50%); 2007 (6,20%); 2008 (6,00%), 2009 (4,50% karena krisis ekonomi); dan 2010 (6,10%). Data tersebut dengan terang mengungkapkan pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan ketimpangan.
Ketimpangan lainnya bisa dilihat dari disaparitas antarsektor ekonomi. Dengan melihat rata-rata pertumbuhan sektor ekonomi (2004-2009), maka akan terlihat ketimpangan antara pertumbuhan sektor tradeable (riil) dan sektor non-tradeable. Pada periode itu sektor tradeable hanya tumbuh rata-rata 3,33%, sedangkan sektor non-tradeable tumbuh 8,80%. Secara lebih rinci, pertumbuhan rata-rata sektor tradeable dalan kurun waktu tersebut adalah: sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan (3,70%); pertambangan (2,38%); dan industri pengolahan (3,92%). Sementara itu, pertumbuhan rata-rata sektor non-tradeable dalan kurun waktu tersebut: sektor listrik, gas, dan air bersih (9,42%); konstruksi (7,79%); perdagangan, hotel dan restoran (6,33%); pengangkutan (14,62%); keuangan, real estate dan jasa perusahaan (6,69%); dan jasa-jasa (6,08%). Data tersebut memaklumatkan betapa makin terpinggirkannya sektor pertanian dan industri sebagai penopang pertumbuhan ekonomi.
Padahal, sektor pertanian dan industri yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional, khususnya dari sisi penyerapan tenaga kerja. Tercatat, pada 2010, sektor pertanian menyerap 38,34% dan sektor industri menampung 12,77% tenaga kerja. Ketimpangan itu bisa juga diperiksa dari sisi wilayah. Jamak dikatakan, pembangunan ekonomi di Indonesia sebetulnya hanya terjadi di Jawa dan Sumatera. Jika pernyataan itu dikonfirmasi dengan data, nyatanya tidaklah salah. Secara nasional, Pulau Jawa dan Sumatera menguasai lebih dari 80% dari PDB Indonesia. Pada 2008, misalnya, kontribusi Sumatera terhadap PDB sebesar 22,9%; Jawa 57,9%; Bali dan Nusa Tenggara 2,5%; Kalimantan 10,4%; Sulawesi 4,3%; dan Maluku dan Papua 2,0%. Jadi, pada 2008 Sumatera dan Jawa menyumbang 80,8%; namun pada 2010 meningkat menjadi 81,0%. Pada 2010, kontribusi Kalimantan bahkan merosot tinggal menjadi 9,1%.