Kebijakan dan Kelembagaan
Dengan rincian data-data tersebut, sebetulnya kelompok yang tidak tersentuh, setidaknya kurang dintungkan, dari pertumbuhan ekonomi cukup mudah dipetakan. Sebagian besar adalah mereka yang bekerja di sektor pertanian (buruh tani dan petani lahan sempit) dan industri (buruh), penduduk di wilayah luar Jawa dan Sumatera, dan pelaku ekonomi yang bekerja di sektor informal (terpental dari sektor pertanian, tapi juga tidak dapat masuk ke sektor industri/jasa). Kelompok ekonomi itulah yang selama ini ditinggalkan oleh mesin pertumbuhan ekononi, yang terkonsentrasi di sektor non-tradeable dan berlokasi di Jawa (Sumatera). Dengan catatan ini sebenarnya tidak sulit mendesain strategi pembangunan yang menyatukan antara capaian pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan pendapatan. Secara garis besar ada dua hal yang mesti dilakukan: merombak kebijakan dan mendesain kelembagaan.
Pada level kebijakan, seperti yang sudah diulang ribuan kali, promosi pembangunan industri yang berbasis sektor pertanian masih merupakan pilihan terbaik bagi Indonesia. Pada posisi ini pemerintah telah menyia-nyiakan dua hal sekaligus: mengembangkan produksi hulu di sektor pertanian dan meninggalkan industri pengolahan (hilir). Sampai saat ini Indonesia masih menjadi pemain hebat dalam beberapa komoditas pertanian, seperti kelapa sawit, tetapi ini akan segera berlalu karena tidak diintegrasikan dengan sektor pengolahan. Bisa dibayangkan, jika industri pengolahan dibangun pada masing-masing komoditas pertanian yang memiliki potensi besar, berapa banyak donasi lapangan kerja, nilai tambah, dan peluang ekspor yang dapat diraih. Sampai hari ini pemerintah terus mewacanakan hal ini, tapi tanpa ada jejak realisasi di lapangan. Jika dua sektor ini bekerja dengan maksimal, bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang didapat, tapi juga kepastian terhadap pemerataan pendapatan masyarakat.
Berikutnya, pemerintah harus berani keluar dari zona kenyamanan. Saatnya pembangunan ekonomi di geser ke Indonesia timur, di mana konsekuensinya sebagian besar alokasi anggaran dan insentif ekonomi perlu dibelokkan ke sana. Salah satu yang terpenting adalah infrastruktur, seperti jalan, listrik, dan pelabuhan. Program pengembangan koridor ekonomi dan konektivitas mesti diletakkan dalam konteks pergeseran wilayah pembangunan ekonomi ini. Terakhir, kelembagaan ekonomi merupakan bagian yang harus disentuh, tidak boleh dialpakan. Kelembagaan ekonomi yang mesti dipersiapkan antara lain statuta upah minimum, hubungan kerja yang lebih memihak petani dan buruh, sertifikasi lahan yang intensif, legalisasi sektor informal dan usaha kecil, akses modal yang lebih ramah di pedesaan, dan regulasi persaingan usaha yang adil. Gabungan antara kebijakan yang solid dan kelembagaan yang utuh inilah yang akan mengantarkan kepada pencapaian pembangunan yang berkualitas.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef